PAJAK INTERNASIONAL
(Penghasilan Orang Pribadi dan
penghasilan lainnya)
PENGHASILAN
ORANG PRIBADI DAN PENGHASILAN LAINYA
1.
Penghasilan
Orang Pribadi
Dari persektif model
perjanjian penghindaran pajak berganda, penghasilan dari orang pribadi (Personal Sevice)dapat diklasifikasikan
sebagai berikut ini :
1.
Penghasilan dari pekerjaan (income from employment) yang terdiri
atas :
a. Penghasilan
yang diperoleh oleh para artis (artistes)
termasuk olahragawan (sportsmen);
b. Penghasilan
direktur (directo
c. Penghasilan
yang diperoleh oleh pegawai pemerintah (government
services);
d. Penghasilan
yang diperoleh oleh para akademis;
e. Penghasilan
pelajar dan peserta magang (business
apprentices);
f. Penghasilan
yang diperoleh oleh para diplomat.
2.
Penghasilan dari kegiatan pekerjaan
bebas (independent personal services).
Terkait dengan penghasilan dari
pekerjaan, secara umum, dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1.1 Income
From Employment
Perpajakan
internasional atas penghasilan dari pekerjaan (penghasilan sebagai karyawan )
diatur dalam dalam pasal 15 OECD model dengan istilah “income from employment”. Sebelum tahun 2000, istilah yang
dipergunakan oleh OECD Model untuk pemajakan atas penghasilan dari pekerjaan
adalah “dependent personal service”.
Ketentuan perpajakan
internasional atas penghasilan dari pekerjaan sebagaimana yang diatur dalam
pasal 15 adalah bahwa penghasilan dari pekerjaan yang diperoleh oleh orang
pribadi hanya dikenakan pajak di negara domisilinya, kecuali orang pribadi
tersebut melakukan pekerjaan di negara lain.[2]
Akan tetapi, pasal 15 juga merumuskan kriteria yang memungkinkan negara sumber,
yaitu negara di mana seorang tersebut, untuk dapat mengenakan pajak. Hal ini
tercermin dalam rumusan Pasal 15 Ayat (!) OECD dan UN Model sebagai berikut :
“
Subject to the provisions of Articles 16,18 and 19, salaries, wages and other
similar remuneration Derived by a resident of a Contracting State [Country
Residence] in respect of an employment shall be taxable only in that state
[Country Residence] unless the employment is exercised in the other Contracting
State [Country Source]. If the employment is so exercised, such remuneration as
is derived therefore may be taxed in that other State [Country Source].”
Dengan mengacu kepada
rumusan di atas, hanya negara domisili yang boleh untuk mengenakan pajak,
kecuali jika pekerja dimaksud melakukan pekerjaan di negara sumber. Dengan kata
lain, negara sumber memiliki hak pemajakan jika pekerjaan itu dilakukan di
negara sumber, dengan tidak memperhatikan status subjek pajak pemberi kerja
sebagai subjek pajak dalam negeri mana, atau bahkan kita tidak perlu tahu siapa
pihak pemberi kerjanya.
Perlu diketahui bahwa
ketentuan umum (general rule) dalam
Pasal 15 ayat (1) penerapannya dibatasi dan tunduk (subordinate) terhadap Pasal lain yang lebih spesifik yaitu Pasal 16
(directors’ fee), pasal 18 (pesion), dan Pasal 19 (Government service).
Hal ini tercermin dari kalimat “subject
to the provisions of Articles 16, 18 and 19”
Meskipun negara sumber
memiliki hak pemajakan sesuai dengan pasal 15 ayat (!) OECD, akan tetapi pasal
15 ayat (2) OECD memberikan hak eksklusif pemajakan hanya kepada negara
domisili. Jika beberapa persyaratan seperti yang dinyatakan dalam rumus Pasal
15 ayat (2) OECDModel sebagai berikut terpenuhi :
“Notwithstanding the provisions of paragraf 1, remuneration derived by a
resident of a Contracting State [Country Residence] in respect of an employment
exercised in the other Contracting State [Country Source] Shall be taxable only
in the first mentioned State [Country Residence] if:
a)
The
recipient is present in the other state [country source] for a period or periods
not exceeding in the aggregate 183 days in any twelve month period commencing
or ending in the fiscal year concerned, and
b)
The
remuneration is paid by, or on behalf of, an employer who is not a resident of
other state [country Source], and
c)
The
remuneration is not borne by a permanent establishment which the employer has
in the other state [country Source]
(dengan penambahan penekanan)
Hal
yang perlu dicatat bahwa semua kondisi diatas (a), (b) dan (c) harus dipenuhi
semua agar penghasilan pekerja yang bersangkutan tidak dikenakan pajak di
negara sumber. Apabila salah satu persyaratan di atas tidak terpenuhi, maka
negara sumber memiliki hak pemajakan atas penghasilan pekerja tersebut.
Jika
negara sumber memiliki hak pemajakan sesuai dengan kriteria di atas maka
penghasilan yang diperoleh pekerja tersebut dikenakan tarif pajak penghasilan
sesuai dengan ketentuan domestik negara sumber dan tidak dibatasi oleh tarif
dalam perjanjian penghindaran pajak berganda.
Berikut
ini adalah beberapa kesalahan umum dalam melakukan interpretasi pasal 15
sebagai berikut :
1.
Karyawan tidak akan pernah dikenakan
pajak di negara sumber kecuali kehadiran karyawan itu paling sedikit 183 hari.
Hal yang benar adalah seseorang akan dikenakan pajak di negara sumber meski baru
satu hari kehadirannya di negara sumber jika pihak pemberi kerja(employer) yang memberikan penghasilan
adalah merupakan subjek pajak dalam negeri di negara sumber;
2.
Menyamakan aturan 183 hari dalam Pasal
15 dengan ketentyan perpajakan domestik terkait dengan status subjek pajak
dalam negeri yang juga memuat ketentuan 183 hari. Sebagao contoh, ketentuan
domestik negara sumber mengatur jika seseorang menjadi subjek dalam negeri jika
tinggal di negara sumber paling sedikit selama 183 hari. Hal ini berbeda dengan
ketentuan 183 hari yang diatur dalam Pasal 15.
Rumusan
batasan minimal 183 hari dalam Pasal 15 ayat (2) OECD model 2008 menggunakan
kata “183 Days in any twelve month period
commencing or ending in the fiscal year concerned” perubahan ini ditujukan
untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak dengan cara tinggal di suatu tahun
pajak kurang dari 183 hari dan selanjutnya tinggal kembali di negara yang sama
di tahun berikutnya dengan periode kurang dari 183 hari.
Kasus
untuk penentuan 183 hari (183 day-rule), terdapat
banyak pendapat yang berbeda. Paragraf (5) OECD Commentary Tahun 2008 atas pasal 15 menggunakan “days of physical presence method” untuk
menentukan perhitungan 183 hari. Berdasarkan metode ini, perhitungan 183 hari
harus memperhitungkan hal-hal sebagai berikut :
1.
Hari-hari berikut ini harus
diperhitungkan sebagai bagian dari satu hari (part of a day), yaitu:
-
Hari kedatangan (day of arrival);
-
Hari keberangkatan (day of departure);
-
Semua hari lainya yang dihabiskan di
negara sumber seperti hari Sabtu dan Minggu, libur nasional, liburan sebelum,
pada saat dan setelah pekerjaa, waktu jeda (short
breaks) di pekerjaan (training,
strikes,lock out,delay in suppliers), hari saat karyawan sakit (kecuali
karyawan yang bersangkutan meninggalkan
negara sumber).
2.
Hari yang dihabiskan untuk dua titik
perjalanan di luar negeri (twi points
outside the state)tidak diperhitungkan dalam perhitungan 183 hari. Prinsip
ini juga berlaku untuk hari yang dihabiskan untuk berlibur, perjalanan dinas
atau untuk kepentingan lain yang dilakukan di luar negeri.
3.
Selain itu, hari-hari dimana subjek
pajak sebagai subjek pajak dalam negeri di negara sumber juga tidak seharusnya
diperhitungkan dalam menghitung jangka waktu 183 hari (183-day rule)
4.
Berdasarkan poin 3 diatas, maka aturan
183 hari juga tidak berlaku bagi seseorang yang pindah kerja ke negara lain dan
bekerja kembali ke negara semula.
Berikut ini disajikan contoh untuk
menjelaskan penerapan perhitungan 183-day
rule yang terkait dengan poin 3 dan 4 diatas berdasarkan contoh yang
diberikan oleh OECD model
Contoh
dari awal bulan januari 2008 sampai
dengan akhir Desember 2008, Tuan Uun tinggal dan menjadi subjek pajak dalam
negeri di Negara A. Pada tanggal 1 Januari 2009, Tuan Uun direktur dan
diperkerjakan oleh suatu perusahaan, yaitu pihak pemberi kerja yang berdomisili
di Negara B. Tuan Uun pindak ke Negara B dan menjadi subjek pajak dalam negeri
negara B. Selanjutnya, Tuan Uun dikirim oleh perusahaannya kembali ke Negara A
untuk suatu pekerjaan yang dimulai dari tanggal 15 Maret sampai dengan 31 Maret 2009.
Pada
kasus di atas, Tuan Uun hadir di Negara A selama 292 hari yang dihitung dari
periode 1 April 2008 sampai dengan 31 maret 2009 (jangka waktu 12 bulan yang
dihirung maju dari saat terakhir kedatangan kembali di Negara A). Namun karena
Tuan Uun di sebelumnya telah tinggal di Negara A dalam periode 1 April 2008
sampai dengan 31 Desember 2008, maka periode itu tidak diperhitungkan dalam
menghitungkan 183 hari.
Misalkan dari periode tanggal 15 Oktober
2008 sampai dengan 30 Oktober 2008, Tuan Tobing, Subjek pajak dalam negara di
Negara A hadir din Negara B Untuk
memeprsiapkan ekspansi bisnis usaha perusahaan ACO, yang merupakan seubjek
pajak dalam negeri di Negara A. Pada tanggal 1 Mei 2009, Tuan Tobing pindah ke
Negara B dimana dia memilih menjadi subjek pajak dalam negeri di Negara B dan
menjadi manajer anak perusahaan ACO yang baru di Negara B. Pada kasus ini, Tuan
Tobing hadir di Negara B selama 184 hari dari periode 15 Oktober 2008 sampai
dengan 14 Oktober 2009 ( jangka waktu 12
bulan dihitung dari awal kedatangan di Negara A) Namun untuk penerapan 183- day rule, periode 1 Mei 2009 sampai
dengan 14 Oktober 2009 tidak diperhitungkan karena pada periode itu tuan Tobing
telah menjadi subjek pajak dalam negeri di Negara B.
1.2 Penghasilan
direktur
Paragraph 11 OECD atas pasal 16
menjelaskan konsep penghasilan yang diterima oleh direktur di beberapa Negara
dapat saja memasukkan bentuk benefit in kind sebagai bagian dari penghasilan
direktur. Perlakuan pajak atas gaji yang diterima tersebut mengikuti prinsip
umum, yaitu dikenai pajak dengan tarif umum (tarif Pasal 17 UU PPh)
NEGARA-NEGARA anggota
OECD maupun UN telah sepakat untuk membentuk suatu pasal tersendiri dalam P3B
yang mengatur mengenai penghasilan direktur, yaitu dalam Pasal 16 OECD Model
maupun UN Model. Hal ini menandakan bahwa penghasilan direktur mendapatkan
perhatian yang cukup besar bagi otoritas pajak di banyak negara. Lebih
spesifiknya, hal yang menjadi kekhawatiran banyak negara adalah bahwa pajak
berganda dapat saja mendistorsi tingkat keragaman komposisi dewan direksi yang
diperlukan oleh suatu perusahaan multinasional.
Alasan lain mengapa
ketentuan khusus untuk penghasilan direktur dibutuhkan adalah karena tedapat
kemungkinan terjadinya konflik interpretasi. Apakah penghasilan direktur masuk
dalam kategori penghasilan dari pekerjaan bebas (Pasal 14 UN Model) atau
penghasilan dari pekerjaan (Pasal 15 OECD atau UN Model) atau sama sekali tidak
termasuk dalam kedua kategori penghasilan tersebut.
Namun, perlu diperhatikan
bahwa dalam Commentary Draf 1963, Pasal 16 dijelaskan
sebagai ketentuan spesial (special provision) terhadap Pasal 15
dan bukan sebagai ketentuanpengecualian (exception). Oleh
karena itu, Pasal 16 OECD Model dan UN Model dapat dilihat sebagai lex
specialis terhadap Pasal 14 UN Model maupun Pasal 15 OECD Model dan
UN Model.
Terkait alokasi hak
pemajakan, Pasal 16 OECD Model dan UN Model memberikan hak pemajakan
kepada negara domisili dan negara
sumber atas penghasilan yang diterima oleh direktur. Adapun
berdasarkan rumusan Pasal 16, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan
pasal tersebut adalah mengenai pengertian istilah-istilah sebagai berikut: (i)
‘payments derived by a resident of a Contracting State ‘in his capacity’; (ii)
‘member of the board of director’; dan (iii) ‘company’.
Mengenai istilah ‘payments
derived by a resident of a Contracting State ‘in his capacity’’, OECD
Model menekankan pada penghasilan yang diterima seseorang dalam
kapasitasnya sebagai anggota dewan direksi. Paragraf 1.1
OECD Commentary menyatakan bahwa jenis-jenis penghasilan
direktur yang dicakup dalam Pasal 16 termasuk penghasilan dalam bentuk natura (benefit
in kind), seperti stock options, fasilitas kendaraan yang
diberikan oleh perusahaan, dan asuransi.
Dalam paragraf 1.1
OECD Commentary tersebut juga dijelaskan bahwa konsep
penghasilan yang diterima oleh direktur di beberapa negara dapat saja memasukan
bentuk ‘benefit in kind’ sebagai bagian dari penghasilan direktur.
Namun, untuk penghasilan pensiun yang diterima seorang dalam kapasitasnya
sebagai direktur bukan merupakan penghasilan yang dicakup oleh Pasal 16 OECD
Model, melainkan masuk dalam cakupan Pasal 18 OECD Model.
Selain itu, terkait
penghasilan dari pesangon (severance payment), hal yang kembali harus
dipertimbangkan adalah apakah pesangon tersebut diterima oleh seseorang dalam
kapasitasnya sebagai direktur atau tidak. Jika pesangon tersebut diterima
seseorang oleh karena pemberhentian kontrak employment maka
penghasilan pesangon tersebut tidak termasuk dalam cakupan Pasal 16.
Menurut OECD Commentary,
istilah ‘member of the board of director’ yang digunakan dalam rumusan
Pasal 16 dapat berupa seorang individu maupun badan. Walaupun misalnya dalam
beberapa ketentuan domestik suatu negara badan tidak dapat merangkap sebagai
direktur, ketentuan domestik tersebut seharusnya tidak berdampak pada penerapan
P3B. Sebab, menurut Pasal 3 ayat (1) huruf a OECD Model, istilah person diartikan
sebagai individu maupun badan.
Dengan demikian, jika
para negara pihak P3B menggunakan istilah ‘subjek pajak dalam negeri’ daripada
istilah ‘individual’ maka sangat jelas bahwa intensi para pihak negara P3B
adalah untuk mencakup juga perusahaan yang bertindak sebagai direktur.
Kemudian, istilah ‘company’
yang terdapat dalam Pasal 16, definisinya telah dijelaskan dalam Pasal 3 ayat
(1) huruf ‘b’ OECD Model. Berdasarkan pasal tersebut, jenis-jenis perusahaan
yang tercakup dalam Pasal 16 adalah badan hukum (body corporate) atau
suatu entitas dalam bentuk apapun (any entity) yang
diperlakukan sebagai badan hukum untuk tujuan pajak. Oleh karena
itu, pembayaran yang dilakukan oleh partnership yang
diperlakukan sebagai entitas transparan(entitas yang tidak
diperlakukan sebagai ‘taxable entity’), tidak termasuk
dalam cakupan Pasal 16.
1.3 Penghasilan
Artis dan Olahragawan
Pasal
17 ayat 1 OECD dan UN model memberikan hak pemajakan kepada Negara sumber
ketika para artis atau olahragawan melakukan pertunjukan ataupun pertandingan
dinegara sumber.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam interpretasi
rumusan pasal 17 OECD Model adalah sebagai berikut:
1.
Pasal 17 ayat 1
berlaku khusus atau meng-override pasal
7 (business profits) dan pasal 15 (income from employment). Artinya
pemajakan terhadap artis atau olahragawan tersebut tidak melalui permanent establishment seperti yang
diatur dalam pasal 7 maupun tidak dipandang sebagai karyawan seperti yang
diatur dalam pasal 15. Kondisi ini memberikan keuntungan yang lebih besar
kepada Negara sumber. Dengan demikian, Negara sumber mempunyai hak pemajakan
ketika artis atau olahragawan tersebut dating kenegara sumber untuk melakukan
aktivitas profesional mereka tanpa memperhatikan lama kedatangan.
2.
Siapakah artis
yang dimaksud dalam pasal 17 ayat 1 diatas? Paragraph 3 OECD commentary atas pasal 17 menjelaskan
sebagai berikut bahwa pengertian artis mencakup pihak-pihak yang menjalankan
pertunjukkan, actor film, actor televisi komersial. Penghasilan yang diterima
dari kegiatan-kegiatan politik, social, keagamaan, atau yang bersifat amal juga
tunduk kepada pasal 17. Akan tetapi, pengertian artis tidak diperluas terhadap
kegiatan ceramah atau bagian kegiatan dibidang pertunjukan yang sifatnya
administrative atau pemberian bantuan kepada para staf pertunjukan misalnya
kamerawan, produser, direktur film, koregrafi, staf teknik, kru dari
pertunjukan music.
3.
Terkait dengan
pengertian olahragawan, OECD Model tidak memberikan definisinya. Meskipun
istilah olahragawan tidak didefenisikan dalam rumusan OECD Model, tetapi
pengertian olahragawan mencakup juga olahraga mental seperti billiar, snooker,
catur, dan bridge.
4.
Apakah tambahan
penghasilan selain honor pertunjukan yang diterima oleh artis termasuk dalam
cakupan pasal 17? Adapun perlakuan perpajakan atas tambahan penghasilan selain
honor diatur sebagai berikut
a.
Penghasilan dari
iklan atau dari pihak sponsor yang berhubungan dengan pertunjukan ataupun
penampilan dinegara sumber termasuk dalam cakupan pasal 17
b.
Honor yang
diperoleh dari iklan umum dan komisi dari penjualan barang-barang cinderamata
tidak tercakup dalam pasal 17 tetapi masuk dalam pasal 7
c.
Untuk pembayaran
dari hak siar dan tayangan masuk dalam pengertian royalty seperti yang diatur
dalam pasal 12 OECD Model.
5.
Isu penting lain
yang harus diperhatikan adalah bagaimana jika artis melakukan pertujukan
dinegara sumber melalui suatu perusahaan tertentu misalnya perusahaan manajemen
artis? Dimana honor artis dibayarkan melalui suatu perusahaan tertentu. Untuk
mencegah upaya penghindaran pajak dengan menggunakan perusahaan tertentu
didirikan Negara tax haven, maka
rumusan pasal 17 ayat 2 OECD Model mengatur sebagai berikut: pasal 17 ayat 2
ini merupakan pasal yang dirancang untuk mengejar apa yang disebut dengan “star companies”. Latar belakang adanya
pasal 17 ayat 2 ini disebabkan karena banyak laporan yang ditujukan kepada OECD
bahwa artis dan olahragawan top dunia menjalankan kegiatan profesi mereka
melalui suatu perusahaan yang dimiliki sendiri oleh mereka. Dimana para artis
dan olahragawan tersebut berstatus sebagai pegawai perusahaan dan hanya
menerima gaji, dengan jumlah gaji yang kecil dari perusahaannya tersebut.
Perusahaan tersebut sebagian besar didirikan di Negara tax haven, yang tidak mengenakan pajak atas penghasilan dari
perusahaan. Dengan skema ini, para artis dan olahragawan tersebut dapat
meminimalkan beban pajak mereka atas penghasilan yang diperoleh mereka dari
pertunjukan atau dari hasil pertandingan. Hal ini disebabkan Negara sumber,
Negara tempat pertunjukan atau pertandingan dilakukan, tidak dapat mengenakan
pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada perusahaan mereka karena tidak membentuk
PE di Negara sumber (tidak memenuhi criteria pasal 7 (business profits)).
Akan tetapi, dengan mengacu kepada rumusan pasal 17
ayat 2 diatas, Negara sumber tetap dapat mengenakan pajak atas penghasilan yang
diterima oleh artis dan olahragawan yang dibayarkan melalui pihak lain melalui
pengaturan pasal 17, dan bukan melalui pasal 7 , dan pasal 15. Pasal 17 ayat 2
diatas secara tegas menyatakan bahwa Negara sumber dari penghasilan artis atau
olahragawan adalah Negara tempat dilakukannya aktivitas professional yang
dilakukan oleh artis atau olahragawan tersebut, terlepas dari bentuk legal
kontrak siapa yang menerima penghasilan tersebut. Dengan demikian pasal 17 ayat
2 ini merupakan pasal anti penghindaran pajak.
AJAK internasional atas
penghasilan entertainer dan olahragawan diatur dalam Pasal 17 OECD Model dan UN
Model. Pasal 17 ini mengatur pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh
entertainer dan olahragawan yang merupakan subjek pajak dalam
negeri suatu
negara(individu atau
badan usaha) dari kegiatan
hiburan dan olahraga yang dilakukannya di negara lainnya, baik
yang diterima dalam bentuk penghasilan atas kegiatan usaha (business income)
maupun penghasilan sebagai karyawan (employment income).
Perlu diperhatikan, bahwa
berlakunya ketentuan dalam Pasal 17 OECD Model ini tidak
memperhatikan apakah
penghasilan tersebut diterima secara langsung oleh entertainer dan olahragawan
tersebut atau diterima oleh pihak ketiga (direct or indirectly).
Selain penghasilan yang diterima atas kegiatan hiburan dan olahraga, Pasal 17
ini juga mencakup ketentuan pemajakan atas penghasilan yang memiliki
keterkaitan erat dengan penghasilan atas pertunjukan seperti penghasilan dari
hak penyiaran, merchandise, iklan, sponsor, dan hak cipta yang
diterima oleh entertainer dan olahragawan.
Ketentuan dalam Pasal 17
OECD Model dan UN Model merupakan pasal yang berlaku khusus atau meng-‘override’
Pasal 7 tentang Laba Usaha dan Pasal 15 tentang Penghasilan dari Pekerjaan.
Artinya, meskipun penghasilan entertainer dan olahragawan tersebut diterima
dalam bentuk laba usaha (business profit), pemajakan terhadap
entertainer dan olahragawan tersebut tidak melalui mekanisme BUT seperti yang
diatur dalam Pasal 7.
Hal yang sama juga
berlaku untuk Pasal 15. Meskipun penghasilan yang diterima oleh entertainer dan
olahragawan tersebut merupakan penghasilan sebagai karyawan, namun entertainer
dan olahragawan tersebut tidak pula dipandang sebagai karyawan seperti yang
diatur dalam Pasal 15.
Terkait alokasi hak
pemajakan atas penghasilan entertainer dan olahragawan, Pasal 17 ayat (1) OECD
Model dan UN Model memberikan hak pemajakan utama (the primary right to tax)
atas penghasilan entertainer dan olahragawan kepada negara di mana
tempat kegiatan hiburan dan olahraga tersebut dilakukan (negara
sumber). Adapun tata cara pengenaan atas penghasilan entertainer dan
olahragawan ini mengacu pada ketentuan domestik dari negara sumber tersebut.
Perlu diketahui bahwa
pemberian hak pemajakan kepada negara sumber berdasarkan Pasal 17 ayat (1) ini
dilakukan tanpa memperhatikan berapa lama waktu yang dihabiskan oleh
entertainer dan olahragawan untuk melakukan pertunjukan ataupun pertandingan di
negara sumber tersebut.
Dengan adanya hal ini,
negara sumber tetap dapat mengenakan pajak atas penghasilan entertainer dan
olahraga dari kegiatan hiburan dan olahraga yang mereka lakukan, meskipun
kegiatan hiburan dan olahraga tersebut dilakukan dalam waktu yang singkat (no
time test requirement).
Dalam Pasal 17, terdapat
ketentuan yang digunakan untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak berganda
dalam pemajakan atas penghasilan entertainer dan olahragawan yang dibayarkan
melalui suatu perusahaan tertentu (ketentuan anti avoidance).
Yaitu, ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 ayat (2).
Adanya Pasal 17 ayat (2)
ini dilatarbelakangi dengan banyaknya laporan yang ditujukan kepada OECD bahwa
banyak entertainer dan olahragawan dunia yang menjalankan kegiatan profesi
mereka melalui suatu perusahaan yang dimiliki oleh mereka sendiri dan sebagian
besar didirikan di negara tax haven. Hal ini menyebabkan negara
di mana tempat pertunjukan atau pertandingan berlangsung (negara sumber), tidak
dapat mengenakan pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada perusahaan yang
dimiliki oleh entertainer dan olahragawan tersebut karena perusahaan tersebut
tidak membentuk BUT di negara sumber (tidak memenuhi kriteria Pasal 7).
Namun, dengan mengacu
pada rumusan Pasal 17 ayat (2) OECD Model, negara sumber tetap
dapat mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh entertainer dan
olahragawan, meskipun penghasilan tersebut dibayarkan melalui pihak lain selain
daripada entertainer atau olahragawan itu sendiri.
1.4 Penghasilan
Pensiun
Terkait dengan penghasilan pensiun, pasal 18 OECD
Model hanya memberikan hak pemajakan kepada Negara di mana penerima pensiun
berdomisili (Negara domisili) sebgai berikut ini:
Alasan yang mendasari hak pemajakan hanya diberikan
kepada Negara domisi atas penghasilan pensiun dikarenakan subjek pajak yang
menerima pensiun tersebut mendapatkan manfaat pelayanan di Negara dimana dia
berdomisili (Negara domisili).
Berbeda dengan pasal 18 OECD Model, pasal 18 UN
Model memberikan dua alternative, yang disebut sebagai alternative A dan
alternative B untuk memberikan hak pemajakan kepada Negara sumber atas
pembayaran pensiun jika memenuhi persyaratan tertentu.
Adapun masing-masing alternative tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Alternative A
pasal 18 UN Model memberikan hak pemajakan kepada Negara sumber apabila
memenuhi kondisi sebagai berikut:
Negara sumber memiliki hak pamajakan atas pembayaran
pensiun dan pembayaran jaminan social lainnya kepada penerima pensiun jika
pembayaran itu didasarkan pada skema public yang merupakan bagian dari system
jaminan social Negara sumber.
2.
Sedangkan dalam
alternative B, memberikan hak pemajakan atas penghasilan pensiun dan sejenisnya
kepada Negara sumber jika yang melakukan pembayaran pensiun itu adalah subjek
pajak dalam negeri dari Negara sumber atau PE yang terdapat di Negara sumber.
ASPEK pajak internasional
atas penghasilan pensiun diatur dalam Pasal 18 OECD Model dan UN Model serta
dalam Pasal 17 US Model. Berdasarkan Pasal 18 OECD Model, hak pemajakan atas
penghasilan pensiun hanya berada pada negara di mana penerima penghasilan
pensiun berdomisil (negara domisili). Artinya, negara sumber tidak dapat
mengenakan pajak atas penghasilan pensiun, meskipun pihak yang membayarkan
penghasilan pensiun berdomisili di negara tersebut.
Berbeda dengan OECD Model
yang secara eksklusif memberikan hak pemajakan atas penghasilan pensiun hanya
kepada negara domisili. UN Model mempunyai dua alternatif dalam menentukan
alokasi hak pemajakan atas penghasilan pensiun, yang mana kedua alternatif ini
memberikan hak pemajakan kepada negara sumber apabila kondisi yang dipersyaratkan
dalam alternatif tersebut terpenuhi.
Sedangkan ketentuan
alokasi hak pemajakan yang diatur dalam US Model memiliki ketentuan yang
sedikit berbeda dengan yang diatur dalam OECD Model dan UN Model. Meskipun
ketentuan mengenai prinsip umumnya sama, yaitu hak pemajakan hanya diberikan
kepada negara domisili, namun dalam US Model ketentuan alokasi hak pemajakan
dibedakan menurut jenis penghasilannya.
Dalam OECD Model, tidak
terdapat ketentuan yang menjelaskan secara eksplisit pengertian dari istilah
‘penghasilan pensiun’. Dengan demikian, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat
(2) OECD Model, pengertian dari istilah pensiun ini harus ditetapkan dengan
mengacu pada ketentuan domestik dari masing-masing negara.
Pada umumnya, istilah
pensiun identik dengan pembayaran yang diterima oleh karyawan setelah
terjadinya terminasi hubungan kerja karena karyawan tersebut sudah memasuki
masa pensiun. Namun, perlu untuk menentukan apakah pembayaran yang diterima
karyawan setelah terjadinya terminasi hubungan kerja memang merupakan cakupan
penghasilan pensiun sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 OECD Model dan UN
Model atau tidak.
Terkait dengan cakupan
subjektif, ketentuan mengenai hak pemajakan yang terkait dengan
penghasilan pensiun atau remunerasi sejenis lainnya sebagaimana diatur dalam
Pasal 18 OECD Model dan UN Model adalah terbatas pada penghasilan pensiun atau
remunerasi yang dibayarkan kepada subjek pajak dalam negeri dari negara yang
mengadakan perjanjian.
Dalam hal ini,
sebagaimana dikutip oleh Santini dari Vogel (2010), cakupan subjektif dari
ketentuan dalam Pasal 18 OECD Model, hanya berlaku untuk ‘person’
berupa individu yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara yang
mengadakan perjanjian. Selain itu, paragraf 3 OECD Commentary atas
Pasal 18 menjelaskan bahwa cakupan subjektif dari penghasilan pensiun tidak
hanya terbatas pada mantan karyawan, namun juga meliputi penerima manfaat lain
(other beneficiaries).
Penerima manfaat lainnya,
diantaranya adalah pasangan hidup (surviving spouses), pendamping
(companions), atau anak dari para karyawan (children of the
employees). Perlu diketahui bahwa cakupan subjektif dari
Pasal 18 UN Model yang mengatur mengenai pemajakan atas penghasilan pensiun
tidak memiliki perbedaan dengan cakupan subjektif dari Pasal 18 OECD Model.
Cakupan objektif pemajakan
atas pembayaran penghasilan pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 OECD
Model adalah penghasilan pensiun yang berkaitan dengan pekerjaan di masa lalu (in
consideration of past employment). Pekerja yang dimaksud dalam Pasal 18
tersebut hanya mencakup hubungan pekerjaan untuk karyawan yang bekerja pada
pemberi kerja swasta (private) sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 OECD
Model. Oleh karenanya, ketentuan dalam Pasal 18 OECD Model ini tidak mencakup
penghasilan pensiun sehubungan dengan pekerjaan bebas (independent personal
services).
Cakupan objektif dari
ketentuan pemajakan atas penghasilan pensiun dalam OECD Model memiliki
perbedaan yang signifikan UN Model. Salah satu perbedaannya adalah ketentuan
atas penghasilan dari pensiun dalam UN Model juga mencakup ketentuan tentang ‘social
security payment’ atau ‘pembayaran jaminan sosial’, di mana hal ini tidak
terdapat dalam OECD Model.
1.5
Penghasilam Pegawai Pemerintah ( Government Service )
Aturan
umum terkait perpajakan atas penghasilan yang dibayarkan kepada pegawai
pemerintah satu Negara domisili yag melakukan perkejaan di Negara sumber maka
hak pemajakan sepenuhnya diberikan kepada Negara di mana pegawai pemerintah
tersebut menjadi subjek pajak dalam negeri ( Negara domisili ). Hal ini
merupakan praktik internasional dan sesuai dengan “Vienna Convention on Diplomatic and Consulate Relation.”
Perpajakan
international atas penghasilan dari pegawai pemerintah diatur dalam pasal 19
ayat (1) OECD sebagai berikut ini :
Salaries, wages and
other similar remuneration paid by a constracting State ( Country Residence) or
a political subdivision or a local authority there to an individual in respect
of services rendered to that state [ Country Source ] or subdivision or
authority shall be taxable only in that State [ Country Source ].”
Namun
perlu dipahami bahwa pasal 19 ayat (1) (b) OECD Model memungkinkan Negara
sumber untuk memiliki hak pemajakan, jika kondisi berikut terpenuhi :
However, such salaries, wages and
other similar remueation shall be taxable only in the other Constracting
State [ Country Source ] if the services
are rendered in that state [ Country
Source ] and the individual is a resident of the state [ country source ] who :
I: is a national of that State [
Country Source ]: or
Ii : did not become a resident of
that State [ Country source ] solely for the purpose of rendering the
services.”
Untuk perlakuan yang konsisten, maka
pasal 19 ayat (2) OECD memuat ketentuan yang sama atas penghasilan pension yang
diterima oleh pegawai pemerintah.
KETENTUAN
pemajakan atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi dari pekerjaan sebagai
pegawai pemerintah (government services) diatur dalam Pasal 19 OECD
Model dan UN Model. Rumusan ketentuan pemajakan atas pegawai pemerintah dalam
kedua model P3B ini, tidak memiliki perbedaan. Namun, perlu diperhatikan bahwa
ketentuan Pasal 19 OECD Model dan UN Model ini tidak berlaku apabila pekerjaan
yang diberikan oleh pegawai pemerintah tersebut terkait dengan aktivitas bisnis
yang dilakukan oleh pemerintah dari negara pihak dalam P3B.
Kebijakan
pemajakan dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a OECD Model dan UN Model adalah
pemberian hak pemajakan eksklusif atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi
dari pekerjaan sebagai pegawai pemerintah kepada ‘state of funds’ atau ‘the
paying state’. Dengan demikian, penghasilan tersebut dibebaskan dari
pengenaan pajak penghasilan di negara lainnya (negara tempat pekerjaan
dilakukan atau negara domisili penerima penghasilan, sesuai dengan konteksnya).
Prinsip state of funds atau the paying state ini
berlaku terlepas di negara mana pekerjaan dilakukan, kecuali pada
situasi-situasi tertentu.
Terdapat
dua pengecualian atas prinsip state of funds atau the
paying state, yaitu: (i) ketentuan tentang pekerja lokal dan pensiun; dan
(ii) pekerjaan yang berhubungan dengan aktivitas bisnis yang dilakukan oleh
pemerintah. Atas penghasilan pekerja lokal sebagai pegawai pemerintah dari
negara pembayar penghasilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1)
huruf b OECD Model dan UN Model maka negara lain (other contracting
state) memperoleh hak pemajakan eksklusif jika pekerja lokal tersebut
memiliki keterkaitan personal yang erat dengan negara lain tersebut.
Adanya
keterkaitan personal tersebut dapat terjadi jika memenuhi persyaratan tertentu,
yaitu:
1. Jasa dilakukan di negara lain dalam
P3B; dan
2. Orang pribadi penerima penghasilan
selain harus merupakan subjek pajak dalam negeri di negara lain dalam P3B, juga
merupakan warga negara dari negara lain tersebut atau tidak menjadi subjek
pajak dalam negeri dari negara lain untuk tujuan semata-mata melakukan
pekerjaan sebagai pegawai pemerintah negara pembayar penghasilan.
Ruang
lingkup terminologi ‘salaries, wages, and other similar remuneration’
dalam Pasal 19 ayat (1) OECD Model dan UN Model mencakup segala bentuk
remunerasi yang diperoleh orang pribadi dari pekerjaannya sebagai pegawai
pemerintah suatu negara. Sementara institusi pemerintah yang masuk dalam
cakupan Pasal 19 ayat (1) OECD dan UN Model diartikan sebagai setiap institusi
pemerintah yang mencakup institusi pemerintah pusat dan sub-divisi-nya termasuk
institusi pemerintah daerah serta sub-divisi-nya.
Pasal
19 ayat (1) OECD Model dan UN Model tidak dapat diterapkan terhadap penghasilan
yang diterima atau diperoleh oleh orang pribadi yang merupakan pegawai atau
dibayar oleh badan usaha milik negara.
Terkait
dengan pemajakan atas penghasilan pensiun yang berkaitan dengan hubungan kerja
dengan pemerintah, Pasal 19 ayat (2) huruf a OECD Model dan UN Model mengatur
bahwa negara pembayar penghasilan pensiun memiliki hak pemajakan eksklusif atas
penghasilan pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi sehubungan dengan
pensiunan sebagai pegawai pemerintah di negara pembayar penghasilan tersebut.
Sedangkan
Pasal 19 ayat (2) huruf b OECD Model dan UN Model memberikan hak pemajakan
eksklusif kepada negara lain dalam P3B jika orang pribadi penerima penghasilan
pensiun merupakan subjek pajak dalam negeri dan warga negara dari negara lain
dalam P3B tersebut.
Sementara
dalam Pasal 19 ayat (3) OECD Model dan UN Model diatur bahwa apabila
penghasilan bersumber dari pekerjaan yang dilakukan orang pribadi yang
berhubungan dengan aktivitas bisnis yang dilakukan oleh pemerintah suatu negara
maka Pasal 19 tidak dapat diterapkan. Adapun menurut Blank dan Ismer (2015),
aktivitas bisnis yang dimaksud dalam pasal ini adalah setiap aktivitas
pemerintah yang sama dengan yang dilakukan oleh sektor swasta dalam aktivitas
komersialnya. Dalam hal demikian, Pasal 15, 16, 17, dan 18 diterapkan sesuai
dengan ruang lingkup masing-masing pasal.
1.6 Penghasilan Akademisi ( Professor
ataau Guru )
Meskipun tidak dimuat dalam OECD Model
dan UN Model, tetapi di beberapa perjanjian penghindaran pajak berganda yang dirumuskan
oleh beberapa Negara memuat aspek perpajakan atas penghasilan yang diterima
oleh professor atau guru untuk kegiatan yang dilakukan dinegara sumber. Sebagai
contoh adalah pasal 20 perjanjian penghindaran pajak berganda antara Indonesia
dan Jepang sebagai berikut ini :
“A
professor or teacher who makes a temporary visit to a Contracting State [
Country Source ] for a period not exceeding two years for the purpose of
teaching or conducting research at a university, college, school or other
accrediated educational institution, and who is immediately before such visit
was a resident of the other Contracting State [ Country Residence ] shali be
taxable only in that other Contracting State [ Country Residence ] in respect
of remuneration for such teaching or research.”
Berdasarkan rumusan Pasal 20 di atas,
imbalan jasa yang diterima oleh seorang professor atau guru terkait dengan
kegiatan pengajaran atau riset hanya berlaku untuk maksimum 2 tahun sejka
tanggal kedatangan professor atau guru tersebut di Negara sumber. Pelu juga
diperhatikan bahwa institusi tempat dilakukannya kegiatan tersebut tidak untuk
mencari penghasilan.
Sebagai perbandingan perjanjian
penghindaran pajak berganda Jepang – US terkait dengan perpjakan tasa
penghasilan akademis adalah sebagai berikut :
- An individual who visit [ Japan ] temporily for the purpose of teaching or conducting research at a university, college, school or other educational institution in [ Japan ], and who continues to be resident, within the meaning of paragraph I of Aricle 4, of the [US], shall be exempt from tax in [Japan] on any remuneration for such teaching or research for a period not exceeding two years from the date of this arrival.
- The provisions of paragraph I shall not apply income from research if such a research is undertaken primarily for the private benefit of one more specific persons.
Kriteria yang harus dipenuhi dalam
rumusan di atas agar penghasilan akademis tidak dikenakan pajak di Negara
sumber adalah sebagai berikut :
- Kedatangan di Negara sumber bersifat temporer
- Kegiatan penelitian ini tidak dilakukan untuk kepentingan orang pribadi atau ke[entingan orang – orang pribadi tertentu. Kan tetapi untuk kegiatan pengajaran tidak menjadi masalah apabila dilakukan untuk kepentingan pribadi.
PADA
DASARNYA, ketentuan mengenai pemajakan atas penghasilan akademisi tidak
terdapat dalam dalam OECD Model dan UN Model. Namun, berbeda dengan OECD Model
dan UN Model, ASEAN Model telah memiliki pasal yang secara khusus mengatur
pemajakan atas penghasilan yang diterima dosen dan peneliti, yaitu melalui
Pasal 21.
Berdasarkan
rumusan Pasal 21 ASEAN Model, ketentuan pemajakan penghasilan dosen dan
peneliti dalam pasal ini berlaku apabila beberapa persyaratan berikut
terpenuhi, yaitu:
1. Sebelum melakukan kunjungan ke negara
sumber sehubungan dengan adanya undangan dari universitas, sekolah atau
institusi pendidikan yang sejenis, individu tersebut merupakan subjek pajak
dalam negeri di negara asalnya;
2. Individu tersebut hadir di negara
tempat bekerja (negara sumber) tidak lebih dari periode 2 tahun; dan
3. Individu tersebut hadir di negara
tempat bekerja (negara sumber) semata-mata untuk tujuan mengajar dan/atau
penelitian.
Dalam
hal ketiga syarat di atas telah terpenuhi maka pembayaran atas kegiatan
mengajar dan/atau penelitian dibebaskan pajak di negara tempat bekerja (negara
sumber) dan dipajaki di negara asalnya (negara domisili). Adapun pasal tentang
akademisi tidak berlaku terhadap penghasilan dari penelitian yang sesungguhnya
dilakukan untuk memberikan manfaat kepada pihak swasta atau orang pribadi.
Terlepas
dari rumusan Pasal 21 ASEAN Model, menurut Luc De Broe (2015) walaupun dalam
OECD Model dan UN Model tidak terdapat pasal yang mengatur pemajakan atas
penghasilan akademisi, namun secara umum penghasilan yang diterima sehubungan
dengan kegiatan akademis yang dilakukan hanya untuk sementara waktu (temporary
period) serta tidak lebih dari dua tahun, dibebaskan dari pengenaan pajak
di negara di mana aktivitas tersebut dilakukan (disebut juga dengan istilah ‘host
state’ atau negara tempat bekerja).
Selain
itu, dengan tidak adanya pasal yang secara khusus mengatur mengenai hal ini
maka beberapa pasal dalam OECD Model dan UN Model dapat diterapkan. Hal ini
sebagaimana juga disebutkan dalam literatur akademis yang menyatakan bahwa
ketika suatu P3B tidak memiliki pasal yang mengatur mengenai dosen tamu dan
guru maka ketentuan yang mungkin berlaku adalah Pasal 15 dalam hal akademisi
melakukan pekerjaan di sektor swasta dan Pasal 19 dalam hal akademisi bekerja
di sektor pemerintahan.
Selain
Pasal 15 dan Pasal 19, pasal lainnya dalam OECD Model atau UN Model juga dapat
diterapkan dalam menentukan pemajakan atas akademisi. Misal, Pasal 7 OECD Model
dan Pasal 14 UN Model dapat diterapkan kepada peneliti yang melakukan pekerjaan
bebas.
Apabila
dibandingkan dengan pasal substantif lainnya dalam model P3B, yaitu Pasal 6
sampai Pasal 21, pasal tentang akademisi memiliki perbedaan yang cukup
signifikan. Dalam Pasal 6 sampai Pasal 21 beberapa model P3B (OECD Model dan UN
Model), secara tegas menetapkan alokasi hak pemajakan kepada suatu negara atas
penghasilan tertentu.
Sedangkan
dalam pasal tentang akademisi, tidak tampak disebutkan negara mana yang berhak
memajaki atas pembayaran yang diterima oleh akademisi. Dengan kata lain, pasal
tentang akademisi ini tidak memiliki alokasi hak pemajakan sebagaimana terdapat
dalam Pasal 6 sampai Pasal 21 Model P3B. Pasal tentang akademisi tersebut lebih
kepada pemberian fasilitas pembebasan (exemption) dari pengenaan pajak
di negara tempat bekerja sepanjang persyaratan dalam pasal tersebut terpenuhi.
Kemudian,
tidak seperti pasal tentang pemajakan atas pelajar atau mahasiswa, pasal
mengenai pemajakan atas penghasilan akademisi tidak memerlukan syarat bahwa
sumber pembayaran harus berada di luar negara di mana kegiatan mengajar atau
penelitian dilakukan. Alasannya, pasal ini dirancang agar mengajar di luar
negeri lebih menarik, sehingga tujuan pasal tentang akademisi ini adalah
mendorong pertukaran akademik.
1.7 Penghasilan Pelajar (Students) dan Peserta Magang ( Business Apprentices )
Atas penghasilan yang diperoleh oleh
pelajar dan peserta magang diatur dalam pasal 20 OECD Model. Pasal tersebut
memberikan hak pemajakan hanya kepada Negara domsili. Namun ketentuan itu hanya
berlaku jika pembayaran yag diterima oleh para pelajar dan peserta magang itu
berasal dari luar Negara tempat pelajar dan peserta magang berada. Hal ini
tercermin dalam rumusan sebagai berikut :
Payements which a student or
business apprentice who is or was immediately. Before visiting a Constracting
State [ country Source ] a resident of the other Consrtacting State [ Country
Residence ] and who is present in the first – mentioned State [ Country Source
] solely for the purpose of his education or training shall not be taxed In
that State [ Country Source ], provided that such payments arise from sources
outside that State [ Country Source ]
Kata “immediately”
menunjukkan bahwa rumusan ini tidak
berlaku untuk seseorang yang sebelumnya telah menjadi subjek pajak dalam negeri
(resident) di suatu Negara (misalnya Negara A) yang selanjutnya pindah status
subjek pajak dalam negeri ke Negara lainnya ( misalnya Negara B ) dan kemudian
kembali ke Negara yang disebut pertama ( Negara A ).
BANYAKNYA arus pertukaran
pelajar dan peserta magang antarnegara, menjadikan ketentuan khusus pemajakan
atas penghasilan yang diterima para pelajar dan peserta magang sehubungan
dengan kegiatan pendidikan atau pelatihan, menjadi bagian yang penting untuk
diatur lebih lanjut dalam ketentuan P3B.
Dalam OECD Model dan UN
Model, ketentuan mengenai pelajar dan peserta magang terdapat dalam Pasal 20.
Bisa dikatakan pasal ini adalah pasal yang cukup sederhana karena hanya terdiri
dari satu kalimat yang panjang dan Commentary dari pasal ini
pun hanya memuat dua paragraf.
Pasal 20 OECD Model dan
UN Model berisi ketentuan mengenai hak pemajakan atas penghasilan yang diterima
oleh pelajar dan peserta magang, yang mana pasal ini memberikan pembebasan
pajak (exemption) atas penghasilan tersebut di negara di mana pelajar
dan peserta magang tersebut hadir. Namun, ketentuan ini hanya berlaku jika
pembayaran yang diterima oleh pelajar dan peserta magang tersebut berasal dari
luar negara tempat pelajar dan peserta magang berada (host state).
Perlu diperhatikan bahwa
Pasal 20 berbeda dari ketentuan pasal substantif lainnya karena pasal ini tidak
mengatribusikan hak pemajakan, melainkan hanya memberikan pembebasan pajak
kepada pelajar dan peserta magang di negara di mana pelajar dan peserta magang
tersebut hadir. Apakah selanjutnya ia akan dipajaki di negara lainnya, hal
tersebut akan tergantung kepada apakah ia tetap mempertahankan status subjek
pajak dalam negeri-nya pada negara domisili.
Perbedaan lainnya antara
Pasal 20 dengan pasal substantif lainnya adalah pasal ini tidak secara
eksplisit mensyaratkan bahwa pelajar atau peserta magang tersebut adalah subjek
pajak dalam negeri dari salah satu negara atau kedua negara dalam P3B. Artinya,
pelajar dan peserta magang tersebut tidak perlu menjadi subjek pajak dalam negeri
di negara di mana ia hadir ketika ia menerima pembayaran.
Selain itu, menurut
ketentuan ini, negara di mana pelajar dan peserta magang tersebut hadir,
dikecualikan hak pemajakannya sekalipun di kemudian hari ia menjadi subjek
pajak dalam negeri di negara tersebut. Hal ini memungkinkan pelajar yang
sebelumnya menempati Negara A, kemudian memutuskan untuk menempuh studi di
Negara B (di mana ia hadir dan mengikuti program studi) dan menjadi subjek
pajak dalam negeri Negara B, tetap mendapatkan pembebasan pajak di Negara B
atas penghasilan yang diterimanya terkait dengan kegiatan studinya. Pembebasan
ini diberikan sepanjang penghasilan yang diterima pelajar tersebut berasal dari
luar Negara B.
Permasalahan yang mungkin
timbul atas penerapan Pasal 20 ini adalah mengenai definisi dari ‘business
or business apprentice’ yang mana tidak didefinisikan dalam bunyi pasal
itu sendiri atau dalam Commentary. Banyak negara yang
memodifikasi mengenai definisi ini, misalnya saja Amerika Serikat yang
mendefinisikan bahwa karyawan yang dikirim oleh perusahaannya untuk mendapatkan
pelatihan tertentu tidak dikategorikan sebagai pelajar atau peserta magang.
Apabila ditelaah lebih jauh, bunyi ketentuan Pasal 20 OECD Model dan UN Model
ini mengacu pada pelajar dan peserta magang yang mengunjungi (visiting)
suatu negara untuk tujuan studi atau pelatihan.
1.8 Pejabat Diplomatik Konsulat
Terkait dengan pejabat diplomatic dan
kosnulat, diatur dalam Pasal 28 OECD Model atau Pasal 27 UN Model. Pengaturan
dalam OECD Model dan UN Model hanya untuk memastikan bahwa tidak ada ketentuan
yang terdapat dalam perjanjian penghindaran pajak berganda yang akan
mempengaruhi hak – hak istimewa di bidang perpajakn dari pejabat diplomatic dan
knsulat sebagaimana diatur dalam ketentuan umum dari hokum interntional yang
bersifat khusus. Dengan kata lain, ketentuan – ketentuan yang terdapat dalam
OECD Model maupun UN Model kedudukannya berada di bawah (subordinate) ketentuan dan perlakuan khusus yang diberikan kepada
para pjabat diplomatik dan konsulat.
Dalam rangka pengakuan hak – hak
istimewa di bidang perpajakan yang didapat oleh pejabat diplomatik dan
konsulat, Paragraf 2 OECD Commentary atas
Pasal 23 menyarankan kepada pihak – pihak yang akan mengadakan perjanjian
penghindaran pajak berganda membuat ketentuan sebagai berikut :
Insofar as, due to fiscal privileges granted
to mmbers of diplomatic mission and consular posts under the general rules of
international agreement, income or capital are not subject to tax in the
receiving State, the right to tax shall be reserved to the sending State.”
Berdasarkan rumusan tersebut, hak
pemajakan atas oenghasilan pejabat diplomatic dan konsulat berada di Negara
yang mengirimkan pejabat diplomatik dan konsulat tersebut.
DI
ANTARA pasal yang terdapat dalam model P3B, terdapat ketentuan internasional
yang berlaku khusus, yaitu ketentuan mengenai pajak atas penghasilan pejabat
diplomatik dan konsulat. Adapun dalam OECD Model ketentuan mengenai hal ini
terdapat dalam Pasal 28, sedangkan dalam UN Model terdapat dalam Pasal 27.
Pasal
28 OECD Model dan Pasal 27 UN Model diatur hal yang sama, yaitu dalam hal suatu
negara masih mempertahankan hak untuk mengenakan pajak, hak tersebut menjadi
tidak berlaku apabila Konvensi Wina atau aturan lain dari hukum internasional
menegaskan bahwa penghasilan atau keuntungan yang diterima pejabat diplomatik
dan konsulat tidak dikenakan pajak di negara yang menerima pejabat diplomatik
atau konsulat tersebut.
Dalam
hal ini, negara yang menerima pejabat diplomatik atau konsulat tersebut (negara
penerima) memberikan pembebasan atas semua jenis pungutan dan pajak, baik
personal, nasional, lokal atau kota, kecuali atas:
1. Pajak tidak langsung, di mana secara
normal dimasukkan dalam harga barang atau jasa;
2. Pungutan atau pajak atas harta tidak
bergerak yang dimiliki secara pribadi yang terletak di wilayah negara penerima,
kecuali kepemilikan harta tersebut untuk tujuan dari suatu misi diplomatik;
3. Pajak atas perumahan, penggantian
atau warisan dikenakan di negara penerima;
4. Pungutan atau pajak atas penghasilan
pribadi yang diperoleh dari negara penerima dan pajak atas modal yang
diinvestasikan dalam usaha komersil di negara penerima;
5. Tagihan yang dikenakan untuk
penyerahan jasa tertentu; (vi) Biaya pendaftaran, pengadilan atau catatan,
hutang hipotik dan materai, yang berkaitan dengan harta tidak bergerak.
Pembebasan
pajak atas penghasilan atau keuntungan yang diterima pejabat diplomatik dan
konsulat di negara penerima ini, terkait dengan adanya ‘fiscal privileges’
atau keistimewaan fiskal yang dimiliki pejabat diplomatik atau konsulat
tersebut. Menurut Vogel (1997), pengertian dari istilah ‘fiscal privileges’
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Keistimewaan fiskal disebut juga
sebagai kekebalan fiskal (fiscal immunity), yaitu keistimewaan yang dinikmati
oleh anggota misi diplomatik (member of diplomatic missions) atau
konsulat (consular post), yang bersifat insidental dan
digunakan untuk membebaskan pengenaan pajak bagi perwakilan asing di negara di
mana perwakilan asing tersebut diterima.
2. Bentuk dan lingkup dari keistimewaan
tersebut berdasarkan dua instrumen internasional, yaitu Vienna
Convention on Diplomatic Relation (VCDR) atau Konvensi Wina untuk
Hubungan Diplomatik dan Vienna Convention on Consular Relation (VCCR)
atau Konvensi Wina untuk Hubungan Konsulat.
Pada
dasarnya, ketentuan mengenai pajak atas penghasilan pejabat diplomatik dan
konsulat yang terdapat dalam OECD Model dan UN Model ini hanya untuk memastikan
bahwa tidak ada ketentuan yang terdapat dalam P3B yang akan mempengaruhi hak-hak
istimewa di bidang pajak dari pejabat diplomatik dan konsulat sebagaimana
diatur dalam ketentuan umum dari hukum internasional atau ketentuan dari
perjanjian internasional yang bersifat khusus. Atau dengan kata lain, secara
prinsip Pasal 28 OECD Model dan Pasal 27 UN Model merupakan ketentuan tentang
kekebalan fiskal pemerintah (fiscal immunity of government) yang
berkaitan dengan urusan luar negeri mereka.
2.
Penghasilan dari Pekerjaan Bebas
(Independent Personal Service)
Dalam suatu perjanjian penghindaran
pajak berganda , aspek perpajakan internasional atas laba usaha yang di
jalankan oleh subjek pajak orang pribadi
dinamakan sebagai penghasilan dari independent personal services. Penghasilan
dari independent personal services saat ini hanya terdapat dalam UN Model yaitu
di atur dalam pasal 14 ayat (1).
Penghasilan yang diperoleh oleh
orang pribadi ( individu )dari pemberian jasa profesional atau pekerjaan bebas
lainnya hanya dapat di kenakan pajak dinegeri atau di Negara domisili.
Adapun ketentuan yang harus dipenuhi
agar Negara sumber dapat mengenakan pajak adalah sebagai berikut :
a. Apabila
orang pribadi tersebut mempunyai suatu tempat
tetap yang tersedia secara teratur baginya untuk menjalankan kegiatan-
kegiatan di negara sumber.
b. Apabila
orang pribadi tersebut tinggal di Negara sumber dalam suatu periode atau
periode – periode yang jumlahnya melebihi 183 hari dalam masa 12 bulan yang
mulai atau berakhir pada satu tahun pajak yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan
penghasilan dari pemberian jasa profesional adalah :
a. Kegiatan kegiatan dibiddang ilmu pengetahuan
b. Kesusasteraan
c. Pekerjaan
– pekerjaan bebas yang dilakukan oleh para dokter, ahli teknik, ahli hukum,
dokter gigi, arsitek dan akuntan.
Sedangkan
yang dimaksud dengan tempat usaha tetap, pasal 14 UN Model tidak memberikan
definisinya tetapi dapat di maknai istilah tempat usaha tetap tersebut dapat
berupa suatu ruangan kantor atau tempat untuk melakukan praktik seperti praktik
dokter, ahli hokum, maupun akuntan.
Pasal
14 yang mengatur mengenai independent personal services, dlam OECD Model, telah
dihapuskan dan diasimilasikan ke dalam
pasal 7 yang mengatur tentang permanent establishment. Alasan dihapusnya
pasal 14 adalah bahwa tidak ada perbedaan yang mendasar antara karakterisasi
pengahasilan yang di terima atau di peroleh oleh subjek pajak orang pribadi
seperti yang di atur dalam pasal 14 OECD Model.
MENGINGAT
semakin meningkatnya transaksi lintas batas negara atas sektor jasa yang
dilakukan oleh individu profesional, perlu untuk mengetahui aspek pajak
internasional atas kegiatan usaha yang dijalankan oleh individu tersebut
(disebut juga dengan penghasilan dari pekerjaan bebas (independent personal
services). Ketentuan mengenai pemajakan atas penghasilan dari pekerjaan
bebas saat ini hanya terdapat dalam UN Model, yaitu diatur dalam Pasal 14.
Sedangkan
dalam OECD Model, ketentuan ini telah dihapus pada tahun 2000 dan
diasimilasikan ke dalam Pasal 7 yang mengatur tentang laba usaha (business
profit). Walaupun Pasal 14 OECD Model telah dihapus, namun menurut suatu
penelitian pada tahun 2013, diketahui bahwa 77% P3B di seluruh dunia masih
memuat ketentuan mengenai pemajakan atas penghasilan dari pekerjaan bebas.
Dalam
Pasal 14 ayat (1) UN Model diatur mengenai prinsip umum pemajakan atas penghasilan
dari pekerjaan bebas. Berdasarkan pasal ini, penghasilan yang diperoleh oleh
orang pribadi (individu) dari pemberian jasa profesional (professional
services) atau pekerjaan bebas lainnya hanya dapat dikenakan pajak
(‘shall be taxable only’) di negara di mana orang pribadi
tersebut menjadi subjek pajak dalam negeri atau di negara domisili.
Namun,
terdapat pengecualian atas ketentuan di atas dalam hal salah satu ketentuan
yang akan dijelaskan di bawah ini terpenuhi. Dengan demikian, negara sumber
dapat mengenakan pajak atas penghasilan dari pemberian jasa profesional yang
dilakukan oleh orang pribadi. Adapun ketentuan yang harus dipenuhi agar negara
sumber dapat mengenakan pajak adalah sebagai berikut:
1. Apabila orang pribadi tersebut
mempunyai suatu tempat tetap yang tersedia secara teratur baginya untuk
menjalankan kegiatan-kegiatan di negara sumber; atau
2. Apabila orang pribadi tersebut
tinggal di negara sumber dalam suatu periode atau periode-periode yang
jumlahnya melebihi 183 hari dalam masa 12 bulan yang mulai atau berakhir pada
satu tahun pajak yang bersangkutan.
Cakupan
penghasilan dari pekerjaan bebas dalam Pasal 14 UN Model terdiri atas
penghasilan dari jasa profesional dan penghasilan dari kegiatan dengan karakter
independen lainnya (other activities of an independent character).
Pasal
14 ayat (2) UN Model menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan jasa profesional
terutama termasuk:
1. Kegiatan-kegiatan di bidang ilmu
pengetahuan;
2. Kesusasteraan;
3. Pekerjaan-pekerjaan bebas yang
dilakukan oleh para dokter, ahli teknik, ahli hukum, dokter gigi, arsitek, dan
akuntan. Namun, cakupan penghasilan dari pekerjaan bebas tidak terbatas pada
contoh-contoh yang disebutkan dalam Pasal 14 ayat (2). Hal ini dikarenakan
kalimat “other activities of an independent character” yang terdapat
dalam rumusan Pasal 14 ayat (1) menunjukkan bahwa terdapat pemberian jasa-jasa
lainnya yang dapat saja masuk dalam cakupan pekerjaan bebas.
Berbeda
dengan istilah jasa profesional, istilah ‘tempat tetap’ (fixed base)
yang juga digunakan dalam rumusan Pasal 14 UN Model tidak diberikan
definisinya. Akan tetapi, istilah ini dapat dimaknai bahwa tempat tetap
tersebut dapat berupa suatu ruangan kantor atau tempat untuk melakukan praktik
seperti praktik dokter, ahli hukum, maupun akuntan.
Sedangkan
terkait dengan perhitungan time test terbentuknya ‘tempat
tetap’, dalam beberapa P3B Indonesia hal ini ditentukan dari adanya kehadiran
pemberi jasa yang melampaui jangka waktu tertentu (time test), umumnya
selama 90 hari atau 120 hari atau 183 hari.
Perlu
diperhatikan bahwa sebagaimana dijelaskan dalam UN Commentary Pasal
14 hanya dapat diterapkan jika pemberi jasa profesional merupakan orang
pribadi. Sedangkan jika pemberi jasa merupakan suatu perusahaan atau bentuk
badan hukum lainnya maka Pasal 7 yang seharusnya diterapkan.
Selain
itu, terkait dengan alokasi laba usaha, UN Commentary atas
Pasal 14 secara jelas juga menyebutkan bahwa prinsip-prinsip alokasi laba
sebagaimana diterapkan dalam Pasal 7, berlaku juga untuk Pasal 14. Salah satu
prinsip alokasi laba tersebut menyebutkan bahwa alokasi laba kepada suatu BUT
harus memperhitungkan biaya-biaya yang dapat dibebankan (net-basis). Hal
yang sama juga berlaku bagi tempat tetap. Atau, dengan kata lain, pengenaan
pajak berdasarkan gross-basis terhadap suatu tempat tetap
tidak diperbolehkan oleh P3B.
3.
Pengahasilan Lainnya (other income)
Pasal 6 sampai
dengan pasal 20 OECD Model mengatur hak pemajakan suatu Negara atas suatu
penghasilan yang secara spesifik sudah diidentifikasi. Sedangkan pasal 21 OECD
dan UN Model berkaitan dengan pengahasilan lainnya, yaitu penghasilan yang
secara spesifik tidak di atur dalam pasal 6 sampai dengan pasal 20 tersebut.
Pasal ini meruapakan pasal pamungkas
untuk mengalokasikan hak pemajakan atas penghasilan yabg belum jelas dirumuskan
dalam pasal lainnya dalam perjanjian penghindaran pajak berganda. Contoh :
Pembayaran pensiun yang disebabkan karena suatu cacat yang diderita oleh
seseorang dan undian berhadiah.
Pasal 21 ayat
(1) OECD Model menegaskan bahwa suatu penghasilan yang di peroleh oleh subjek
pajak dalam negeri dari negara yang mengadakan perjanjian penghindaran pajak,
dari manapun penghasilan tersebut berasal , dimanapun penghasilan tersebut
tidak di cakup oleh pasal – pasal dalam perjanjian penghindaran pajak beganda
(pasal 6 s/d pasal 20 OECD Model), hanya di kenakan pajak di negara domisili.
Dalam paragraph
1 OECD Commentary tahun 2008 atas pasal 21 di jelaskan bahwa dalam rumusan
pasal 21 ayat (1) OECD Model tidak hanya mengatur atas penghasilan yang tidak
dicakup dalam pasal – pasal perjanjian penghindaran pajak berganda tetapi juga
mencakup penghasilan yang di peroleh oleh subjek pajak dalam negeri dari negara
yang mengadakan perjanjian penghindaran pajak berganda yang bersumber dari
Negara manapun.
Apabila masing –
masing Negara yang mengadakan perjanjian penghindaran pajak berganda saling
mengklaim sebagai Negara domisili atas penghasilan yang bersumber dari Negara
ketiga maka untuk memecahkan permasalahan tersebut diselesaikan melalui pasal
4.
MENGINGAT
semakin meningkatnya transaksi lintas batas negara atas sektor jasa yang
dilakukan oleh individu profesional, perlu untuk mengetahui aspek pajak
internasional atas kegiatan usaha yang dijalankan oleh individu tersebut
(disebut juga dengan penghasilan dari pekerjaan bebas (independent personal
services). Ketentuan mengenai pemajakan atas penghasilan dari pekerjaan
bebas saat ini hanya terdapat dalam UN Model, yaitu diatur dalam Pasal 14.
Sedangkan
dalam OECD Model, ketentuan ini telah dihapus pada tahun 2000 dan
diasimilasikan ke dalam Pasal 7 yang mengatur tentang laba usaha (business
profit). Walaupun Pasal 14 OECD Model telah dihapus, namun menurut suatu
penelitian pada tahun 2013, diketahui bahwa 77% P3B di seluruh dunia masih
memuat ketentuan mengenai pemajakan atas penghasilan dari pekerjaan bebas.
Dalam
Pasal 14 ayat (1) UN Model diatur mengenai prinsip umum pemajakan atas
penghasilan dari pekerjaan bebas. Berdasarkan pasal ini, penghasilan yang
diperoleh oleh orang pribadi (individu) dari pemberian jasa profesional (professional
services) atau pekerjaan bebas lainnya hanya dapat dikenakan pajak
(‘shall be taxable only’) di negara di mana orang pribadi
tersebut menjadi subjek pajak dalam negeri atau di negara domisili.
Namun,
terdapat pengecualian atas ketentuan di atas dalam hal salah satu ketentuan
yang akan dijelaskan di bawah ini terpenuhi. Dengan demikian, negara sumber
dapat mengenakan pajak atas penghasilan dari pemberian jasa profesional yang
dilakukan oleh orang pribadi. Adapun ketentuan yang harus dipenuhi agar negara
sumber dapat mengenakan pajak adalah sebagai berikut:
1. Apabila orang pribadi tersebut
mempunyai suatu tempat tetap yang tersedia secara teratur baginya untuk
menjalankan kegiatan-kegiatan di negara sumber; atau
2. Apabila orang pribadi tersebut
tinggal di negara sumber dalam suatu periode atau periode-periode yang
jumlahnya melebihi 183 hari dalam masa 12 bulan yang mulai atau berakhir pada
satu tahun pajak yang bersangkutan.
Cakupan
penghasilan dari pekerjaan bebas dalam Pasal 14 UN Model terdiri atas
penghasilan dari jasa profesional dan penghasilan dari kegiatan dengan karakter
independen lainnya (other activities of an independent character).
Pasal
14 ayat (2) UN Model menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan jasa profesional
terutama termasuk:
1. Kegiatan-kegiatan di bidang ilmu
pengetahuan;
2. Kesusasteraan;
3. Pekerjaan-pekerjaan bebas yang
dilakukan oleh para dokter, ahli teknik, ahli hukum, dokter gigi, arsitek, dan
akuntan. Namun, cakupan penghasilan dari pekerjaan bebas tidak terbatas pada
contoh-contoh yang disebutkan dalam Pasal 14 ayat (2). Hal ini dikarenakan
kalimat “other activities of an independent character” yang terdapat
dalam rumusan Pasal 14 ayat (1) menunjukkan bahwa terdapat pemberian jasa-jasa
lainnya yang dapat saja masuk dalam cakupan pekerjaan bebas.
Berbeda
dengan istilah jasa profesional, istilah ‘tempat tetap’ (fixed base)
yang juga digunakan dalam rumusan Pasal 14 UN Model tidak diberikan
definisinya. Akan tetapi, istilah ini dapat dimaknai bahwa tempat tetap
tersebut dapat berupa suatu ruangan kantor atau tempat untuk melakukan praktik
seperti praktik dokter, ahli hukum, maupun akuntan.
Sedangkan
terkait dengan perhitungan time test terbentuknya ‘tempat
tetap’, dalam beberapa P3B Indonesia hal ini ditentukan dari adanya kehadiran
pemberi jasa yang melampaui jangka waktu tertentu (time test), umumnya
selama 90 hari atau 120 hari atau 183 hari.
Perlu
diperhatikan bahwa sebagaimana dijelaskan dalam UN Commentary Pasal
14 hanya dapat diterapkan jika pemberi jasa profesional merupakan orang
pribadi. Sedangkan jika pemberi jasa merupakan suatu perusahaan atau bentuk
badan hukum lainnya maka Pasal 7 yang seharusnya diterapkan.
Selain
itu, terkait dengan alokasi laba usaha, UN Commentary atas
Pasal 14 secara jelas juga menyebutkan bahwa prinsip-prinsip alokasi laba
sebagaimana diterapkan dalam Pasal 7, berlaku juga untuk Pasal 14. Salah satu
prinsip alokasi laba tersebut menyebutkan bahwa alokasi laba kepada suatu BUT
harus memperhitungkan biaya-biaya yang dapat dibebankan (net-basis). Hal
yang sama juga berlaku bagi tempat tetap. Atau, dengan kata lain, pengenaan
pajak berdasarkan gross-basis terhadap suatu tempat tetap
tidak diperbolehkan oleh P3B.
3.2 Penghasilan
Lainnya yang terkait dengan PE
Pasal 21 ayat
(2) OECD Model merupakan ketentuan pengecualian atas pasal 21 ayat (1) OECD Model. Pasal 21 ayat (2) mengatur bahwa
apabila penghasilan lain tersebut mempunyai hubungan efektif dengan suatu PE
maka pasal 7 yang diberlakukan. Artinya hak pemajakan atas penghasilan lain
tersebut diberikan kepada Negara dimana PE tersebut berada . Akan tetapi,
ketentuan pasal 21 ayat (2) tidak di berlakukan
terhadap penghasilan yang terkait dengan harta tak bergerak seperti yang
diatur dalam pasal 6 ayat (2) karena atas penghasilan dari harta tak bergerak
hak pemajakannya selalu berada di Negara sumber sebagaimana dinyatakan dalam
pasal 21 ayat (2) OECD Model.
DALAM OECD Model dan UN
Model, terdapat pasal khusus yang mengatur tentang pemajakan atas penghasilan
yang secara spesifik tidak diatur oleh pasal lainnya dalam P3B (income not
dealt with in the foregoing articles of the convention). Pasal yang
dimaksud adalah Pasal 21 mengenai Penghasilan Lain. Pasal 21 ini merupakan
pasal pamungkas (catch all provision) untuk mengalokasikan hak
pemajakan atas penghasilan yang belum jelas diatur dalam pasal substantif
lainnya dalam P3B.
Ruang lingkup yang diatur
dalam oleh Pasal 21 ini tidak hanya mencakup penghasilan yang bersumber di
negara yang mengadakan P3B. Tetapi, juga memperluas penghasilan yang bersumber
dari luar negara yang mengadakan P3B (negara ketiga).
Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa ruang lingkup Pasal 21 tidak hanya mencakup penghasilan yang
tidak secara tegas diatur (income not expressly dealt with) dalam
pasal-pasal substantif lainnya (Pasal 6 sampai Pasal 20), tetapi juga
penghasilan dari sumber yang tidak secara tegas disebutkan (income from
sources not expressly mentioned).
Dengan demikian, apabila
terdapat penghasilan tertentu, yang menurut identifikasi penghasilan tersebut
diterima oleh subjek pajak dalam negeri dari negara domisili dan penghasilan
itu tidak diketahui sumbernya dari mana, ketentuan yang berlaku dalam
menentukan pemajakan atas penghasilan tersebut adalah Pasal 21 OECD Model dan
UN Model.
Pada Pasal 21 ayat (1)
OECD Model dan UN Model ditegaskan bahwa suatu penghasilan (item of income)
yang diperoleh oleh subjek pajak dalam negeri dari negara yang mengadakan P3B
dari manapun penghasilan tersebut berasal, di mana penghasilan tersebut tidak
dicakup oleh pasal-pasal dalam P3B (Pasal 6 sampai dengan Pasal 20), hanya
dikenakan pajak (shall be taxable only) di
negara domisili dari penerima penghasilan.
Hal tersebut tercermin
dari kata ‘shall be taxable only’ yang digunakan dalam rumusan
Pasal 21 ayat (1) OECD Model yang mengandung arti bahwa hanya negara domisili
yang memiliki hak pemajakan atas penghasilan lain. Sedangkan negara lainnya,
tidak diperbolehkan mengenakan pajak atas penghasilan lain. Pada dasarnya,
Pasal 21 OECD Model dan UN Model tidak mengatur mengenai penghasilan seperti
apa yang dapat digolongkan sebagai item of income’. Namun,
hal tersebut dapat ditentukan berdasarkan kasus per kasus.
Pasal 21 ayat (2) OECD
Model dan UN Model berisi ketentuan pengecualian dari ketentuan Pasal 21 ayat
(1) OECD Model dan UN Model. Pasal 21 ayat (2) OECD Model mengatur bahwa
apabila penghasilan lain tersebut mempunyai hubungan efektif (effectively
connected) dengan suatu BUT maka Pasal 7 yang diberlakukan.
Artinya, hak pemajakan
atas penghasilan lain tersebut diberikan kepada negara di mana BUT tersebut
berada. Adapun dalam Pasal 21 ayat (2) UN Model, tidak hanya Pasal 7 UN Model
yang dapat diterapkan, tetapi juga Pasal 14 UN Model. OECD telah menghapus
keberadaan Pasal 14 OECD Model karena memiliki konsekuensi pajak yang sama
dengan Pasal 7 OECD Model.
Ketentuan Pasal 21 ayat
(2) ini tidak dapat diberlakukan dalam hal penghasilan tersebut diperoleh dari
harta tak bergerak. Hal ini dikarenakan atas penghasilan dari harta tak
bergerak hak pemajakannya selalu berada di negara sumber.
Pengecualian di Pasal 21
ayat (2) OECD Model juga berlaku dalam kasus di mana pihak yang membayarkan
penghasilan dan penerima penghasilan yang sebenarnya (beneficiary of the
income) adalah subjek pajak dalam negeri dari negara yang sama dan
penghasilan tersebut diatribusikan kepada BUT yang dimiliki oleh penerima
penghasilan di negara lainnya.
Lebih lanjut, tidak
seperti OECD Model, UN Model memiliki Pasal 21 ayat (3) yang mengatur mengenai
hak pemajakan oleh negara sumber. Pasal 21 ayat (3) UN Model memuat ketentuan
yang menyimpang dari Pasal 21 ayat (1) dan (2) UN Model. Sebab, ketentuan ini
mengatur bahwa hak pemajakan atas penghasilan yang tidak diatur dalam
pasal-pasal sebelumnya dan muncul di negara sumber tidak hanya berada di negara
domisili, tetapi juga di negara sumber.
Jenis-jenis
Penghasilan yang Dapat Dikenakan Pajak di Negara Sumber (Maybe Taxed in..)
Pasal 14
|
Penghasilan Profesi
|
Dapat dikenakan pajak
di negara sumber apabila individu yang menjalankan kegiatan profesi tersebut
mempunyai tempat tetap (fixed base) di negara sumber.
|
Pasal 15
|
Gaji Pegawai/ Gaji
Karyawan
|
Dapat dikenakan pajak
di negara sumber sepanjang: Pegawai tersebut hadir di negara sumber dalam
periode yang melebihi 183 hari dalam periode waktu 12 bulan yang dimulai dan
berakhir di tahun fiskal yang bersangkutan, atau Imbalan tersebut dibayar
oleh pemberi kerja yang subjek pajak dalam negeri dari negara sumber
penghasilan, atau Imbalan tersebut dibiayakan di negara sumber oleh BUT dari
si pemberi kerja.
|
Pasal 16
|
Gaji Direktur
|
Dapat dikenakan pajak
di negara sumber
|
Pasal 17
|
Artis dan Olahragawan
|
Dapat dikenakan pajak
di negara sumber atas penghasilan yang diterima oleh artis terkait dengan
penghasilan dari pertunjukannya maupun penghasilan olahragawan yang terkait
dengan penghasilan dari pertandingannya.
|
Jenis-jenis
Penghasilan yang Hanya Dikenakan Pajak di Negara Domisili (Shall be Taxable
Only in..)
Pasal 14
|
Penghasilan Profesi
|
Hanya dikenakan pajak
di negara domisili, kecuali apabila individu yang menjalankan kegiatan
profesi tersebut mempunyai tempat tetap (fixed base) di negara sumber.
|
Pasal 15
|
Gaji Pegawai
|
Hanya dikenakan pajak
di negara domisili sepanjang: Pegawai tersebut tidak hadir di negara lainnya
(negara sumber) dalam periode yang tidak melebihi 183 hari dalam periode
waktu 12 bulan yang dimulai dan berakhir di tahun fiskal yang bersangkutan,
dan Imbalan tersebut dibayar oleh pemberi kerja yang bukan subjek pajak dalam
negeri dari negara sumber penghasilan, dan Imbalan tersebut tidak dibiayakan
di negara sumber oleh BUT dari si pemberi kerja.
|
Pasal 18
|
Pensiun
|
Hanya dikenakan pajak
di negara domisili
|
Pasal 19
|
Gaji Pegawai Negeri
Sipil
|
Hanya dikenakan pajak
di negara domisili
|
Pasal 21
|
Penghasilan Lainnya
|
Hanya dikenakan pajak di negara domisili
|
DAFTAR PUSTAKA
http://news.ddtc.co.id/#openModal
Ned Shelton, Interpretation and
Application of Tax Treaties, Tottke Publishing 2006, Hal.384
Kevin Holmes, International Tax
Policy and Double Tax Treaties: An Introduction to Principles and Application,
IBFD, 2007, hal.313
Ned Shelton, Interpretation and
Application of Tax Treaties, Tottle Publishing, 2006, hal. 384
Uraian ini mengadaptasi contoh
pada Commentary on article 15 OECD Model Tax Convention On Income and on
Capital, Condensed Version 2008, hal . 211
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. jangan lupa klik suka ya