Sistem Pelaporan Keuangan dan Pengukuran Kinerja





MAKALAH
GOVERNANCE & PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
(Sistem Pelaporan Keuangan dan Pengukuran Kinerja)


OLEH :

KELOMPOK 3
         Nur Farida                           1610247132
         Oetari Andri Prakoso         1610247134   
         Refinia Widiastuty             1610247135
         Yeni Sapridawati                1610247130
         Yutri Nurmalasari              1610247138


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan  kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan lancar.
Makalah ini merupakan bentuk tugas tentang Sistem Pelaporan Keuangan dan Pengukuran Kinerja mata kuliah Governance & Pengelolaan Keuangan Negara sebagai salah satu penilaian terhadap  proses pembelajaran semerter 3 di Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Riau.
Makalah ini membahas mengenai Sistem Pelaporan Keuangan dan Pengukuran Kinerja. Penulis telah berusaha dengan maksimal, namun penulis masih merasa memiliki kekurangan dalam makalah ini, maka dari itu penulis meminta kritik dan saran pembaca makalah ini.
Terimakasih juga kami sampaikan kepada Bapak, yang telah memberikan tugas tersebut sehingga kami menjadi semakin mengerti tentang mata kuliah “Governance & Pengelolaan Keuangan Negara”, khususnya pada materi “Sistem Pelaporan Keuangan dan Pengukuran Kinerja”. Selanjutnya, terimakasih kepada teman-teman dari kelompok lain yang telah berkenan mempelajari hasil dari tugas kami.
Sekian dari kami semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi semua orang umumnya.

  
                                                                                        (  Penulis  )

  


BAB I
PENDAHULUAN


1.1             Latar Belakang Penelitian
Setiap Instansi Pemerintah ­­diwajibkan  untuk melakukan pelaporan keuangan serta mempertanggung jawabkan pelaksanaan keuangannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang telah ditetapkan. Bentuk Pertanggung jawaban tersebut diperlukan penerapan system pelaporan keuangan yang tepat, jelas, dan terukur sesuai dengan prinsip tranparasi   dan akuntabilitas. Sehingga pengembangan system pelaporan akuntansi sangat diperlukan. Penyusunan laporan keuangan merupakan salah  satu kriteria dalam sistem reward dan punishment yang diterapkan Kementerian Keuangan kepada pemerintah daerah. Jadi, pemerintah daerah berkewajiban untuk menyusun laporan keuangan yang dapat menunjukkan kondisi sebenarnya.
Selain Masalah mengenai pelaporan keuangan, persoalan penting lainnya yaitu dalam pengelolaan sumber daya manusia (pegawai). Pengukuran kinerja dianggap sangat penting dikarenakan dengan melaksanakan pengukuran kinerja dapat mengetahi seberapa tepat pegawai telah melaksanakan fungsinya. Ketepatan pegawai dalam melaksanakan fungsinya akan sangat berpengaruh terhadap pencapaian kinerja organisasi secara keseluruhan. Selain itu juga, hasil dari pengukuran kinerja pegawai akan memberikan informasi penting dalam proses pengembangan pegawai yang akan bermanfaat dimasa yang akan datang sesuai perkembangan teknologi.
Kinerja adalah suatu hasil dari program yang dilakukan sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kualitas dan kuantitas yang terukut.  Pengukuran kinerja adalah suatu proses pengukuran yang dilaksanakan dengan tujuan mengetahui apakah kegiatan yang dilaksanakan tersebut telah mencapai visi dan misi dari organisasi tersebut.
Sebagaimana diatur dalam UU No.17/2003, pada rancangan undang-undang atau peraturan daerah tentang Laporan Keuangan pemerintah pusat/daerah disertakan informasi tambahan mengenai kinerja instansi pemerintah. Hal ini seiring dengan perubahan paradigma penganggaran pemerintah yang ditetapkan dengan mengidentifikasikan keluaran (output) dan hasil (outcome) dari setiap kegiatan/program dengan jelas.
Didalam pemerintahan pengukuran kinerja juga merupakan salah satu cara untuk mewujudkan akuntabilitas. Akuntabilitas bukan hanya soal pembelanjaan uang publik melainkan juga apakah uang publik tersebut telah digunakan secara ekonomis, efisien dan efektif.
Didalam penerapan implementasi pengukuran kinerja sering tidak sesuai disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu:
-ketidakjelasan makna kinerja yang diimplementasikan, 
-ketidakpahaman pegawai mengenai kinerja yang diharapkan, 
-ketidakakuratan instrumen pengukuran kinerja, 
-ketidak pedulian pimpinan organisasi dalam pengelolaan kinerja. 

Berdasarkan latar belakang diatas maka kelompok kami menyusun makalah mengenai “Sistem Pelaporan Keuangan dan Pengukuran Kinerja”.


1.2             Rumusan Masalah
a.        Bagaimana Sistem Pelaporan Keuangan dan Pengukuran Kinerja diterapkan?
b.        Apa tujuan Sistem Pelaporan Keuangan dan Pengukuran Kinerja diterapkan?
c.        Apa indikator dalam Sistem Pelaporan Keuangan dan Pengukuran Kinerja diterapkan?
d.       Apakah Sistem Pelaporan Keuangan dan Pengukuran Kinerja diterapkan telah diterapkan dengan baik di dalam pemerintahan?


1.3             Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah yang berjudul Sistem Pelaporan Keuangan dan Pengukuran Kinerjaadalah sebgai berikut :
a.        menjelaskan konsep Sistem Pelaporan keuangan dan Pengukuran Kinerja yang diterapkan di pemerintahan;
b.        Mengetahui tujuan dari diterapkannya Sistem Pelaporan Keuangan dan Pengukuran Kinerja;
c.         dapat mengetahui indicator Sistem Pelaporan Keuangan dan Pengukuran Kinerja;
d.        dapat mengetahui apakah Sistem Pelaporan Keuangan dan Pengukuran Kinerja telah diterapkan dengan baik di pemerintahan,


BAB II
PEMBAHASAN


1.             SISTEM PELAPORAN KEUANGAN
1.1          DEFINISI
Sistem Pelaporan Keuangan adalah laporan keuangan yang ditambah dengan informasi-informasi lain yang berhubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan informasi yang disediakan oleh system akuntansi keuangan, seperti informasi tentang sumberdaya perusahaan. Earnings, current cost, informasi tentang prospek perusahaan merupakan bagian integral dengan tujuan untuk memenuhi tingkat pengungkapan yang cukup


1.2          TUJUAN SISTEM PELAPORAN KEUANGAN
Tujuannya dari system pelaporan keuangan:
1)      Menyediakan informasi yang berguna bagi investor, kreditor, dan pengguna potensial lainnya dalam membantu proses pengambilan keputusan yang rasional atas investasi, kredit dan keputusan lain yang sejenis.
2)      Untuk membantu dalam menilai jumlah, waktu, dan ketidakpastian prospek penerimaan kas dividen atau bunga dan pendapatan dari penjualan
3)      Memberikan informasi tentang sumber daya ekonomi, klaim atas sumber daya tersebut dan perubahannya.


1.3          DASAR HUKUM
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU 17/2003) menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas antara lain menyusun Laporan Keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pasal 9 UU 17/2003 menyatakan bahwa Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai Pengguna Anggaran/Pengguna Barang Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas antara lain menyusun dan menyampaikan Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya.
Pasal 30 ayat (2) UU 17/2003 menyatakan bahwa Presiden menyampaikan Rancangan Undang-Undang tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN kepada DPR berupa Laporan Keuangan yang meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan Laporan Keuangan perusahaan negara dan badan lainnya.
Pasal 7 ayat (2) huruf o Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004) menyatakan bahwa Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang menetapkan Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan dan Pelaporan Keuangan Negara.
Pasal 51 ayat (1) UU 1/2004 menyatakan bahwa Menteri Keuangan/Pejabat Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Negara/Daerah menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pembiayaan dan perhitungannya.
Pasal 51 ayat (2) UU 1/2004 menyatakan bahwa Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku Pengguna Anggaran menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pendapatan dan belanja yang berada dalam tanggung jawabnya.
Dalam Pasal 55 ayat (1) UU 1/2004 menjelaskan bahwa Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat untuk disampaikan kepada Presiden dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
Didalam Pasal 55 ayat (2) UU 1/2004 menjelaskan bahwa dalam menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang menyusun dan menyampaikan laporan keuangan yang meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan dilampiri Laporan Keuangan Badan Layanan Umum pada Kementerian Negara/Lembaga masing-masing.
Didalam Pasal 36 ayat (1) UU 17/2003 menjelaskan bahwa ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual dilaksanakan selambatlambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas.
dalam Pasal 70 ayat (2) UU 1/2004 menjelaskan bahwa ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual dilaksanakan selambatlambatnya pada tahun 2008 dan selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas.


1.4          SISTEM AKUNTANSI PEMERINTAH PUSAT (SAPP)
Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) adalah sistem akuntansi yang mengolah semua transaksi keuangan, aset, kewajiban, dan ekuitas dana pemerintah pusat, yang menghasilkan informasi akuntansi dan laporan keuangan yang tepat waktu dengan mutu yang dapat diandalkan, baik yang diperlukan oleh badan-badan di luar pemerintah pusat seperti DPR, maupun oleh berbagai tingkat manajemen pada pemerintah pusat. Menurut PMK nomor 213/2013, SAPP merupakan rangkaian sistematik dari prosedur, penyelenggara, peralatan,  dan  elemen  lain  untuk  mewujudkan  fungsi  akuntansi  sejak pengumpulan  data, pencatatan,  pengikhtisaran  sampai dengan  pelaporan posisi  keuangan  dan  operasi  keuangan  pada  Pemerintah  Pusat.
Penerapan sistem akuntansi pemerintahan dari suatu negara akan sangat bergantung kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku pada negara yang bersangkutan. Ciri-ciri terpenting atau persyaratan dari sistem akuntansi pemerintah menurut PBB dalam bukunya A Manual for Government Accounting, antara lain disebutkan bahwa:
1)     Sistem akuntansi pemerintah harus dirancang sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada suatu negara.
2)     Sistem akuntansi pemerintah harus dapat menyediakan informasi yang akuntabel dan auditabel (artinya dapat dipertanggungjawabkan dan di¬audit).
3)     Sistem akuntansi pemerintah harus mampu menyediakan informasi ke¬uangan yang diperlukan untuk penyusunan rencana/program dan evaluasi pelaksanaan secara fisik dan keuangan.

SAPP terdiri dari
1)        Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Bendahara Umum Negara (SABUN) yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dan Sistem Akuntansi dan
2)        Pelaporan Keuangan Instansi (SAI) yang dilaksanakan oleh Kementerian Negara/Lembaga.


1.5          PERKEMBANGAN SISTEM AKUNTANSI PEMERINTAH PUSAT
Modernisasi akuntansi keuangan di sektor pemerintah dimulai tahun 1982. Studi ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan akuntabilitas keunagan negara oleh Badan Akuntansi Negara (BAKUN), yang merupakan unit eselon 1 Departemen Keuangan, melalui Proyek Penyempurnaan Sistem Akuntansi dan Pengembangan Akuntansi (PPSAPA) dengan bantuan pembiayaan dari Bank Dunia. latar belakang proyek ini bermula dari kondisi sistem akuntansi dan pencatatan yang masih menggunakan single entry, sehingga terdapat beberapa kelemahan yaitu:
1)        Proses penyusunan lambat karena disusun dari sub sistem yang terpisah-pisah dan tidak terpadu
2)        Sistem single entry tidak lagi memadai menampung kompleksitas transaksi keuangan pemerintah     
3)        Sulit dilakukan rekonsiliasi
4)        Tidak mendasarkan pada Standar akuntansi Keuangan Pemerintah  
5)        Tidak dapat menghasilkan neraca pemerintah
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 476/KMK.O1/1991 tentang Sistem Akuntansi Pemerintah, sistem akuntansi pemerintah pusat telah dikembangkan dan diimplementasikan secara bertahap.Tahap pertama dilak¬sanakan mulai tahun anggaran 1993/1994, dan diikuti dengan tahap-tahap berikutnya, dan yang pada tahun anggaran 1999/2000, implementasi SAPP telah mencakup seluruh Departemen/Lembaga di seluruh propinsi.
Walaupun target jangka waktu bagi penerapan sistem ini adalah empat tahun, dimulai untuk Anggaran 1993/1994, hingga tahun 2001 belum ada departemen/non-departemen yang menerapkan SAPP secara penuh. Rendahnya penerapan sistem ini pada tingkat daerah disebabkan, antara lain oleh kurangnya sosialisasi yang terencana, kurangnya sumber daya manussia, resistensi dari pengguna sistem terhadap perubahan, kurang koordinasi antarlembaga terkait, hingga UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor  25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, yang memberikan keleluasaan daerah untuk mengelola keuangannya. Belum adanya Standar Akuntansi Pemerintah untuk menyamakan persepai para penyusun neraca juga menjadi kendala bagi penerapannya, sehingga penyusunan neraca pusat dan proses konsolidasi dengan pemerintah pusat belum dapat dilakukan.
Berbagai perubahan dan penyempurnaan terus dilakukan oleh pernerintah dalam rangka pengembangan sistem akuntansi pernerintah pusat. Pada tahun 2005, pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan No 59/PMK.06/2005 tcntang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf o Undang-undang Nomor l Tahun 2004; tentang Perbendaharaan Negara. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang menetapkan sistem akutansi dan pelaporan keuangan negara sehingga perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat.


1.6          KERANGKA UMUM SISTEM AKUNTANSI PEMERINTAH PUSAT
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat disampaikan kepada DPR sebagai pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN.Sebelum disampaikan kepada DPR, laporan keuangan pemerintah pusat tersebut diaudit terlebih dahulu oleh pihak BPK. Laporan keuangan pemerintah pusat terdiri dari:
1)      Laporan Realisasi Anggaran.
Konsolidasi Laporan Realisasi Anggaran dari seluruh Kementerian Negara/Lembaga yang telah direkonsiliasi.Laporan ini menyajikan informasi realisasi pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit dan pembiayaan, sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran yang masing-masing diperbandingkan dengan anggaran dalam satu periode.
2)      Neraca Pemerintah
Neraca Pemerintah Pusat merupakan konsolidasi Neraca SAI dan Neraca SAKUN (Sistem Akuntansi Kas Umum Negara). Laporan in menyajikan informasi posisi keuangan pemerintah pusat berkaitan dengan aset, utang dan ekuitas dana pada tanggal/tahun anggaran tertentu.
3)      Laporan Arus Kas
Laporan Arus Kas Pemerintah Pusat merupakan konsolidasi Laporan Arus Kas dari seluruh Kanwil Ditjen PBN.Laporan ini menyajikan informasi arus masuk dan keluar kas selama periode tertentu yang diklasifikasikan berdasarkan aktivitas operasi, investasi aset non keuangan, pembiayaan dan non anggaran.
4)      Catatan atas Laporan Keuangan
Merupakan penjelasan atau perincian atau analisis atas nilai suatu pos yang tersaji di dalam Laporan Realisasi Anggaran, Neraca Pemerintah dan Laporan Arus Kas dalam rangka pengungkapan yang memadai.

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) disampaikan kepada DPR sebagai pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN. Sebelum disampaikan kepada    DPR  RI, LKPP tersebut terlebih dahulu direviu oleh Aparat Pengawasan Intern dan diaudit oleh BPK.
LKPP terdiri dari:
1)        Laporan Realisasi Anggaran;
2)        Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih;
3)        Neraca;
4)        Laporan Operasional;
5)        Laporan Arus Kas;
6)        Laporan Perubahan Ekuitas; dan
7)        Catatan atas Laporan Keuangan.

Dasar Hukum Penyelenggaraan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 8 menyatakan bahwa ”dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas antara lain menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.” Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 9 menyatakan bahwa ”Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai pengguna anggaran/pengguna barang Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas antara lain menyusun dan menyampaikan laporan keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya.”
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 30 ayat (2) menyatakan bahwa ”Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya.”
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 7 ayat (20) menyatakan bahwa “Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang menetapkan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan Negara.”
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 51 ayat (1) menyatakan bahwa “Menteri Keuangan/Pejabat Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Negara/Daerah menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pembiayaan dan perhitungannya.”
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 51 ayat (2) menyatakan bahwa “Menteri/pimpinan lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah selaku Pengguna Anggaran menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pendapatan dan belanja yang berada dalam tanggung jawabnya.”
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 55 ayat (1) menyatakan bahwa “Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat untuk disampaikan kepada Presiden dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.”
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 55 ayat (2) menyatakan bahwa “dalam menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang menyusun dan menyampaikan laporan keuangan yang meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan dilampiri laporan keuangan Badan Layanan Umum pada kementerian negara/Lembaga masing-masing.”
Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, menyatakan bahwa “agar informasi yang disampaikan dalam laporan keuangan pemerintah dapat memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas, perlu diselenggarakan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) yang terdiri dari Sistem Akuntansi Pusat (SiAP) yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) yang dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga.”
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Tahun Anggaran 2005 Pasal 17 ayat (1) menyatakan bahwa “setelah Tahun Anggaran 2005 berakhir, Pemerintah menyusun Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005 berupa Laporan Keuangan.”
Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada Pasal 60 ayat (1) menyatakan bahwa “Menteri/Pimpinan Lembaga wajib menyelenggarakan pertanggungjawaban penggunaan dana bagian anggaran yang dikuasainya berupa laporan realisasi anggaran dan neraca Kementerian Negara/Lembaga bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Keuangan. Keputusan Presiden tersebut telah diubah dengan Keputusan Presiden No. 72 tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.”

1.7          Pedoman Pelaksanaan Sistem Akuntansi Pemeintah Pusat
Tujuan Pedoman Pelaksanaan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat adalah untuk memberi petunjuk umum dalam menyelenggarakan:
1)      Akuntansi Bendahara Umum Negara
Atas transaksi penerimaan dan pengeluaran negara pada KPPN, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat Pengelolaan Kas Negara, Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, transaksi penerusan pinjaman, penerimaan pengembalian penerusan pinjaman, dan posisi aset dari penerusan pinjaman pada Direktorat Pengelolaan Penerusan Pinjaman, transaksi penerimaan dan pengeluaran investasi dan posisi investasi pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, transaksi penerimaan, pengeluaran dan posisi utang serta hibah pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, transaksi khusus (Pembayaran Subsidi, Pengeluaran Kerjasama nternasional, Pengeluaran Perjanjian Hukum Internasional, Pengeluaran Koreksi dan Pengembalian, Pembayaran Jasa Perbendaharaan, Pembayaran PFK, Pendapatan Jasa Perbendaharaan dan Perbankan) pada unit-unit eselon I, dan transaksi transfer ke daerah pada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, serta posisi aset/utang pada Badan Lainnya;
2)      Akuntansi Instansi atas transaksi pendapatan, belanja, dan posisi aset/utang pada tingkat Satuan Kerja, Wilayah, Eselon-I, Kantor Pusat Kementerian Negara/Lembaga, dan Satuan Kerja Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan, serta Koordinator Wilayah Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan termasuk transaksi Badan Layanan Umum dan BAPP.
Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) bertujuan untuk :
1)      Menjaga aset Pemerintah Pusat dan instansi-instansinya melalui pencatatan, pemrosesan, dan pelaporan transaksi keuangan yang konsisten sesuai dengan standar dan praktik akuntansi yang diterima secara umum;
2)      Menyediakan informasi yang akurat dan tepat waktu tentang anggaran dan kegiatan keuangan Pemerintah Pusat, baik secara nasional maupun instansi yang berguna sebagai dasar penilaian kinerja, untuk menentukan ketaatan  terhadap otorisasi anggaran dan untuk tujuan akuntabilitas;
3)      Menyediakan informasi yang dapat dipercaya tentang posisi keuangan suatu instansi dan Pemerintah Pusat secara keseluruhan;
4)      Menyediakan informasi keuangan yang berguna untuk perencanaan, pengelolaan dan pengendalian kegiatan dan keuangan pemerintah secara efisien.
Kerangka Umum SAPP dapat digambarkan sebagai berikut:



1.8          SISTEM AKUNTANSI BENDAHARA UMUM NEGARA (BUN)
Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) terdiri dari 2 (dua) subsistem yaitu:
Sistem Akuntansi Instansi (SAI) dan Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara (SA-BUN). Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara (SA-BUN) terdiri dari:
1.   Sistem Akuntansi Pusat (SiAP);
2.   Sistem Akuntansi Utang Pemerintah dan Hibah (SA-UP&H);
3.   Sistem Akuntansi Investasi Pemerintah (SA-IP);
4.   Sistem Akuntansi Penerusan Pinjaman (SA-PP);
5.   Sistem Akuntansi Transfer ke Daerah (SA-TD);
6.   Sistem Akuntansi Belanja Subsidi dan Belanja Lain-lain (SA-BSBL);
7.   Sistem Akuntansi Transaksi Khusus; dan
8.   Sistem Akuntansi Badan Lainnya (SA-BL).


SA-BUN menghasilkan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara danl aporan manajerial. Laporankeuangan BUN terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca dan laporan arus kas. Laporan manajerial terdiri atas laporan posisi kas, laporan posisi utang, laporan posisi penerusan pinjaman, ikhtisar laporan keuangan badan lainnya, dan laporan posisi investasi pemerintah secara detail.
Dalam pelaksanaan SABUN, Menteri Keuangan selaku BUN membentuk Unit Akuntansi Bendahara Umum Negara (UABUN) yang terdiri dari:
1)      UAPBUN AP, dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPBN) c.q. Direktorat Pengelolaan Kas Negara (Dit PKN);
2)      UAPBUN Pengelolaan         Penerusan       Pinjaman,     dilaksanakan oleh DJPBN          cq. Direktorat Sistem Manajemen Investasi (Dit SMI);
3)      UAPBUN Pengelolaan Investasi Pemerintah, dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN);
4)      UAPBUN Pengelolaan Utang, dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU);
5)      UAPBUN Pengelolaan Hibah, dilaksanakan oleh DJPU;
6)      UAPBUN Pengelolaan Transfer ke Daerah, dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK);
7)      UAPBUN Pengelolaan Belanja Subsidi, dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Anggaran (DJA);
8)      UAPBUN Pengelolaan Belanja Lain-lain, dilaksanakan oleh DJA;
9)      UAPBUN-TK, dilaksanakan antara lain oleh:
a.      Badan Kebijakan Fiskal (BKF) selaku UAPBUN TK Pengelola Pengeluaran Hubungan Internasional dan Dukungan Kelayakan;
b.      DJA selaku UAPBUN TK Pengelola PNBP yang dikelola DJA;
c.      DJKN selaku UAPBUN Pengelola Aset yang berada dalam pengelolaan DJKN; dan
d.     DJPBN selaku UAPBUN TK Pengelola Pembayaran Belanja Pensiun, Belanja Asuransi Kesehatan, Belanja Program Tunjangan Hari Tua, dan Pendapatan/Belanja terkait dengan Pengelolaan Kas Negara;
10)  UAPBUN-Badan Lainnya, dilaksanakan oleh DJPBN; dan
11)  UABUN untuk melakukan konsolidasi Laporan Keuangan BUN yang dilaksanakan oleh Menteri Keuangan c.q DJPBN c.q Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan (Dit APK).
Pelaksanaan SiAP melibatkan unit pemroses data sebagai berikut:
1.   KPPN;
2.   Kanwil DJPBN;
3.   Direktorat Pengelolaan Kas Negara
4.   Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan (Dit. APK).
Prosedur pemrosesan data akuntansi pada sistem akuntansi pusat dilakukan secara berjenjang, dimulai dari:
1.   KPPN selaku UAKBUN-D KPPN memproses dokumen sumber untuk menghasilkan Laporan Keuangan berupa Laporan Arus Kas, Neraca KUN, dan  Laporan Realisasi Anggaran termasuk penerimaan dan pengeluaran non   anggaran yang melalui rekening KPPN. KPPN selaku UAKBUN-D KPPN  melakukan rekonsiliasi Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca SAU beserta data transaksi dengan seluruh satuan kerja di wilayah kerjanya. KPPN menyusun Laporan Keuangan tingkat KPPN dan menyampaikannya beserta data akuntansi berupa ADK ke Kanwil Ditjen PBN selaku UAKBUN-Kanwil.   Khusus KPPN yang memproses data pengeluaran Bantuan Luar Negeri (BLN) yang membebani Rekening Khusus menyampaikan Laporan Keuangan besertaADK-nya ke Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan (Dit. APK).
2.   Kanwil Ditjen PBN selaku UAKKBUN-Kanwil melakukan penyusunan Laporan Keuangan berupa Laporan Arus Kas, Neraca KUN, Laporan Realisasi Anggaran, dan Neraca SAU berdasarkan konsolidasi Laporan Keuangan dari seluruh KPPN di wilayah kerjanya dan data dari unit khusus. Kanwil Ditjen PBN selaku UAKKBUN-KPPN melakukan rekonsiliasi Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca SAU beserta data transaksi dengan UAPPA-W di wilayah kerjanya. Kanwil Ditjen PBN mengirimkan Laporan Keuangan tingkat Kanwil beserta ADKnya ke Dit. APK.
3.   Direktorat Pengelolaan Kas Negara (Dit. PKN) selaku UAKBUN-P DPKN memproses transaksi penerimaan dan pengeluaran BUN melalui Kantor Pusat termasuk penerimaan dan pengeluaran non anggaran yang melalui rekeningKUN, serta menyampaikan laporan beserta ADK kepada Dit. APK.
4.   Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan (Dit. APK) selaku UAPBUN memproses data APBN, data dari Unit Khusus serta menerima data dari unit- unitterkait dalam rangka menyusun laporan keuangan pemerintah pusat.
SA-UP&H diterapkan untuk menangani transaksi Pengelolaan Utang yang terdiri dari:
1.   Pembayaran Bunga Utang Dalam dan Luar Negeri;
2.   Pembayaran Cicilan Utang Luar Negeri;
3.   Pembayaran Cicilan Utang Dalam Negeri;
4.   Penerimaan Utang Luar Negeri;
5.   Penerimaan Utang Dalam Negeri;
6.   Penerimaan Hibah.
SAUP dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang. DJPU memproses data transaksi utang, hibah, penerimaan dan pengeluaran pembiayaan serta menyampaikan laporan beserta ADK kepada Dit. APK.
SA-IP diterapkan untuk menangani transaksi investasi pemerintah jangka panjang. Investasi pemerintah Jangka Panjang terdiri dari Investasi Non Permanen dan Investasi Permanen.SA-IP dilaksanakan oleh unit yang menjalankan penatausahaan dan pelaporan investasi pemerintah (Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN)).
Sistem Akuntansi Penerusan Pinjaman (SA-PP) diterapkan untuk menangani transaksi penerusan pinjaman dan pengembalian penerusan pinjaman termasuk biaya atas penerusan pinjaman. Mekanisme penerusan pinjaman dapat dilakukan melalui subsidiary loan agreement (SLA) dan dana bergulir. SLA atau perjanjian penerusan pinjaman adalah perjanjian penerusan pinjaman yang dananya bersumber dari pinjaman/hibah luar negeri oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, BUMN/BUMD dan unit organisasi non pemerintah. SA-PP dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. DirektoratSistem Manajemen Investasi.
Sistem Akuntansi Transfer ke Daerah (SA-TD) diterapkan untuk menangani transaksi transfer kepada pemerintah daerah berupa:Dana perimbangan; dan Dana otonomi khusus dan penyeimbang. Dana perimbangan adalah belanja pembiayaan pemerintah dalam kerangka negara kesatuan yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah. Dana perimbangan terdiri dari: Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).Dana otonomi khusus dan penyesuaian adalah belanja pembiayaan pemerintah dalam kerangka pelaksanaan daerah otonomi khusus dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. SA-TD dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK).
SA-BSBL merupakan subsistem dari SA-BUN.SA-BSBL menghasilkan LRA, Neraca, danCatatanatasLaporanKeuangan.SA-BSBL dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Anggaran selaku unit eselon I yang melaksanakan kewenangan Menteri Keuangan selaku Pengguna Anggaran Belanja Subsidi dan Belanja Lain-Lain.
SA-TK merupakan subsistem dari SA-BUN. SA-TK tersebut menghasilkan Laporan Keuangan yang terdiri dari LRA, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan. 
UAP BUN TK dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 
SAPBL adalah subsistem dari SA-BUN.SAPBL menghasilkan Neraca dan Ikhtisar Laporan Keuangan badan lainnya. SAPBL dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan selaku UAPBUN-PBL.Direktorat Jenderal Perbendaharaan selaku UAPBUN-PBL memproses data transaksi dari Unit-unit Badan Lainnya.


1.9          SISTEM AKUNTANSI INSTANSI (SAI)
Sistem Akuntansi Instansi (SAI) dilaksanakan olehKementerian Negara/Lembaga. Kementerian Negara/Lembaga melakukan pemrosesan data untuk menghasilkan Laporan Keuangan. Dalam pelaksanaan SAI, Kementerian Negara/Lembaga membentuk unit akuntansi keuangan (Sistem Akuntansi Keuangan (SAK))  dan unit akuntansi barang (Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK-BMN)).
Unit akuntansi keuangan terdiri dari:
a.   Unit Akuntansi Pengguna Anggaran (UAPA);
b.   Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran - Eselon1 (UAPPA-E1);
c.    Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran - Wilayah (UAPPA-W);
d.   Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA).
Unit akuntansi barang terdiri dari:
a.   Unit Akuntansi Pengguna Barang (UAPB);
b.   Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang - Eselon1 (UAPPB-E1);
c.    Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang - Wilayah (UAPPB-W);
d.   Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Barang (UAKPB).



1.10          HUBUNGAN UNIT AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN KEUANGAN DENGAN UNIT  AKUNTANSI  DAN  PELAPORAN  KEUANGAN  BARANG  PADA STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA


Mengingat pentingnya pembentukan unit akuntansi dan pelaporan, maka kementerian negara/lembaga wajib menetapkan Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan serta Unit Akuntansi dan Pelaporan Barang pada level unit akuntansi dan pelaporan instansi. Hal ini bertujuan agar dalam pelaksanaan akuntansi dapat berjalan lebih tertib dan masing-masing Unit Akuntansi dan Pelaporan bertanggung jawab sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Pembentukan Unit Akuntansi dan Pelaporan akan terkait dengan sumber daya manusia yang akan melaksanakannya. Pengendalian internal akan berjalan maksimal apabila Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan-
Unit  Akuntansi  dan  Pelaporan  Barang  dilaksanakan  oleh  pelaksana yang berbeda.  Namun  demikian,  apabila  dalam  Unit  Akuntansi  dan  Pelaporan mengalami  kendala  dalam  jumlah  sumber  daya  manusia,  maka  apabila terjadi        rangkap          tugas   harus dilakukan  supervisi  dengan  ketat            untuk menghindari kecurangan dan kesalahan penyajian laporan keuangan.
Berikut diilustrasikan hubungan antara Unit Akuntansi dan Pelaporan Instansi yang ada pada struktur organisasi kementerian negara/lembaga. Pembentukan struktur organisasi Unit Akuntansi dan Pelaporan disesuaikan dengan struktur organisasi pada kementerian negara/lembaga


2.             SISTEM PENGUKURAN KINERJA PEMERINTAH
1.1.      DEFENISI
Kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi.
Sedangkan pengukuran kinerja (performance measurement) menurut Robertson (2002)  adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk informasi atas: efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa; kualitas barang dan jasa (seberapa baik barang dan jasa diserahkan kepada pelanggan dan sampai seberapa jauh pelanggan terpuaskan); hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan; dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan.
Sementara menurut Lohman (2003) pengukuran kinerja merupakan suatu aktivitas penilaian pencapaian target-target tertentu  yang diderivasi dari tujuan strategis organisasi. Whittaker (dalam BPKP, 2000) menjelaskan bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Simons (dalam BPKP, 2000) menyebutkan bahwa pengukuran kinerja membantu manajer dalam memonitor implementasi strategi bisnis dengan cara membandingkan antara hasil aktual dengan sasaran dan tujuan strategis.
Dapat diartikan bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu metode yang digunakan untuk mencatat serta menilai pencapaian pelaksanaan dari kegiatan berdasarkan tujuan, sasaran, dan strategi sehingga diketahui kemajuan organisasi serta meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. 
Pusat pertanggungjawaban berperan untuk menciptakan indicator kinerja sebagai dasar untuk menilai kinerja. Dipergunakannya system pengukuran kinerja yang handal (reliable) merupakan salah satu factor kunci suksesnya organisasi.
Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan non-finansial. Sistem pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai alat pengendalian organisasi, karena pengukuran kinerja diperkuat dengan menetapkan kompensasi dan sanksi (reward and punishment system).
Sistem pengukuran kinerja di Indonesia dikenal dengan nama sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP). Instruksi Presiden RI Nomor 7 Tahun 1999 merupakan peraturan perundangan pertama yang mengatur sistem pelaporan kinerja pemerintahan di Indonesia. Dalam Peraturan ini, Presiden mengintruksikan kepada para Menteri, Panglima TNI, Gubernur BI, Jaksa Agung, Kepala Polri, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Sekretariat Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, Gubernur, dan Bupati/Walikota antara lain untuk melaksanakan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah sebagai wujud pertanggungjawaban instansi pemerintah dalam mencapai misi dan tujuan organisasi. Bentuk akuntabilitas kinerja instansi pemerintah tersebut diwujudkan dengan menyampaikan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) kepada Presiden
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah atau disingkat dengan SAKIP tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang mana didalamnya menyebutkan SAKIP merupakan rangkaian sistematik dari berbagai aktivitas, alat dan prosedur yang dirancang untuk tujuan penetapan dan pengukuran, pengumpulan data, pengklarifikasian, pengikhtisaran, dan pelaporan kinerja pada instansi pemerintah, dalam rangka pertanggungjawaban dan peningkatan kinerja instansi pemerintah.

1.2.      FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA
Kinerja tidak terjadi dengan sendirinya. Dengan kata lain, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja. Adapun faktor-faktor tersebut menurut Armstrong (1998 : 16-17) adalah sebagai berikut:
1)      Faktor individu (personal factors). Faktor individu berkaitan dengan keahlian, motivasi, komitmen, dll.
2)      Faktor kepemimpinan (leadership factors). Faktor kepemimpinan berkaitan dengan kualitas dukungan dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan, manajer, atau ketua kelompok kerja.
3)      Faktor kelompok/rekan kerja (team factors). Faktor kelompok/rekan kerja berkaitan dengan kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan kerja.
4)      Faktor sistem (system factors). Faktor sistem berkaitan dengan sistem/metode kerja yang ada dan fasilitas yang disediakan oleh organisasi.
5)      Faktor situasi (contextual/situational factors). Faktor situasi berkaitan dengan tekanan dan perubahan lingkungan, baik lingkungan internal maupun eksternal.

Dari uraian yang disampaikan oleh Armstrong, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kinerja seorang pegawai. Faktor-faktor ini perlu mendapat perhatian serius dari pimpinan organisasi jika pegawai diharapkan dapat memberikan kontribusi yang optimal.
Motivasi kerja dan kemampuan kerja merupakan dimensi yang cukup penting dalam penentuan kinerja. Motivasi sebagai sebuah dorongan dalam diri pegawai akan menentukan kinerja yang dihasilkan. Begitu juga dengan kemampuan kerja pegawai, dimana mampu tidaknya karyawan dalam melaksanakan tugas akan berpengaruh terhadap kinerja yang dihasilkan. Semakin tinggi kemampuan yang dimiliki karyawan semakin menentukan kinerja yang dihasilkan.

1.3.      TUJUAN

Berikut tujuan penilaian kinerja disektor publik (Mahmudi, 2007)
1.      Mengetahui tingkat ketercapaian tujuan organisasi
Pengukuran kinerja pada organisasi sektor publik digunakan untuk mengetahui ketercapaian tujuan organisasi. Penilaina organisasi bertujuan sebagai tonggak (milestone) yang menunjukkan tingkat ketercapaian tujuan ndan juga menunjukkan apakah organisasi berjalan sesuai arah menyimpang dari tujuan yang ditetapkan. Jika terjadi penyimpangan dari arah yang semestinya, pimpinan dapat melakakukan tindakan koreksi dan perbaikan dengan cepat.
2.      Menyediakan sarana pembelajaran pegawai
Pengukuran kinerja merupakan pendekatan sistematik dan terintegrasi untuk memperbaiki kinerja organisasi dalam rangka mencapai tujuan strategik organisasi serta mewujudkan visi dan misinya. Sistem pengukuran kinerja bertujuan memperbaiki hasil dari usaha yang dilakukan oleh pegawai dengan mengaitkannya terhadap tujuan organisasi. Pengukuran kinerja merupakan saran untuk pembelajaran pegawai tentang cara meereka seharusnya bertindak, serta memberikan dasar dalam perubahan perilaku, sikap, skill, atau pengetahuan kerja yang harus dimiliki pegawai untuk mencapai hasil kerja terbaik.
3.      Memperbaiki  kinerja periode-periode berikutnya
Pengukuran kinerja dilakukan sebagai sarana pembelajaran untuk perbaikan kinerja di masa mendatang. Penerapan sistem pengukuran kinerja dalam jangka panjang bertujuan membentuk budaya berprestasi (achivement culture) di dalam organisasi. Budaya kinerja atau budaya berprestasi dapat diciptakan apabila sistem pengukuran kinerja mampu menciptakan atmosfir organisasi sehinggasetiap orang dalam organisasi dituntut untuk berprestasi. Untuk menciptakan atmosfir itu, diperlukan perbaikan kinerja secara terus-menerus. Saat ini, kinerja harus lebih baik dari kinerja sebelumnya, dan kinerja mendatang harus lebih baik dari pada sekarang.
4.      Memberikan pertimbangna yang sistematik dalam pembuatan keputusan pemberian penghargaan (reward) dan hukuman (punishment)
Pengukuran kinerja bertujuan memberikan dasar sistemantik bagi manajer untuk memberikan reward (misalnya: kenaikan gaji, tunjangan, dan promosi) atau punishment (misalnya: pemutusan kerja, penundaan promosi, dan teguran).
Sistem manajemen kinerja modern diperlukan untuk mendukung sistem gaji berdasarkan kinerja (permormance based pay) atau disebut juga pembayaran yang berorientasi hasil. Untuk mengimplementasikan sistem penggajian berbasis kinerja/hasil, organisasi sektor publik harus memiliki sistem manajemen kinerja yang modern, efektif, dan valid. Organisasi yang berkinerja tinggi berusaha menciptakan sistem reward, insentif, dan gaji yang memiliki  hubungan yang jelas dengan pengetahuan, kemampuan, dan kontribusi individu terhadap kinerja organisasi.
5.      Memotivasi pegawai
Pengukuran kinerja bertujuan meningkatkan motivasi pegawai. Dengan pengukuran kinerja yang dihubungkan dengan manajemen kompensasi, pegawai yang berkinerja tinggi akan memperoleh reward. Reward tersebut memberikan motivasi pegawai untuk berkinerja lebih tinggi dengan harapan kinerja yang tinggi akan memperoleh kompensasi yang tinggi. Hal itu hanya akan berjalan dengan baik apabila organisasi menggunakan manajemen kompensasi berbasis kinerja. Pengukuran kinerja juga mendorong manajer untuk memahami proses memotivasi, cara individu membuat pilihan tindakan berdasarkan pada preferensi, reward, dan prestasi kerjanya.
6.      Menciptakan akuntabilitas publik
Pengukuran kinerja merupakan salah satu alat untuk mendorong terciptanya akuntabilitas publik. Pengukuran kinerja menunjukan seberapa besar kinerja manajerial dicapai, seberapa bagus kinerja financial organisasi, dan kinerja lainnya yang menjadi dasar penilaian akuntabilitas. Kinerja tersebut harus diukur dan dilaporkan dalam bentuk laporan kinerja. Pelaporan informasi kinerja tersebut sangat penting, baik bagi pihak internal maupun eksternal. Bagi pihak internal, manajer membutuhkan laporan kinerja dari stafnya untuk meningkatkan akuntabilitas manajerial dan akuntabilitas kinerja. Bagi pihak eksternal, informasi kinerja tersebut digunakan untuk mengevaluasi kinerja organisasi, menilai tempat transparansi dan akuntabilitas publik.


1.4.           PRINSIP PENGUKURAN KINERJA
Dalam pengukuran kinerja terdapat beberapa prinsip-prinsip yaitu:
1)      Seluruh aktivitas kerja yang signifikan harus diukur.
2)      Pekerjaan yang tidak diukur atau dinilai tidak dapat dikelola karena darinya tidak ada informasi yang bersifat obyektif untuk menentukan nilainya.
3)      Kerja yang tak diukur selayaknya diminimalisir atau bahkan ditiadakan.
4)      Keluaran kinerja yang diharapkan harus ditetapkan untuk seluruh kerja yang diukur.
5)      Hasil keluaran menyediakan dasar untuk menetapkan akuntabilitas hasil alih-alih sekedar mengetahui tingkat usaha.
6)      Mendefinisikan kinerja dalam artian hasil kerja semacam apa yang diinginkan adalah cara manajer dan pengawas untuk membuat penugasan kerja dari mereka menjadi operasional.
7)      Pelaporan kinerja dan analisis variansi harus dilakukan secara kerap.
8)      Pelaporan yang kerap memungkinkan adanya tindakan korektif yang segera dan tepat waktu.
9)      Tindakan korektif yang tepat waktu begitu dibutuhkan untuk manajemen kendali yang efektif.


1.5.           UKURAN PENGUKURAN KINERJA
Terdapat tiga macam ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja secara kuantitatif yaitu :
1)      Ukuran Kriteria Tunggal (Single Criterium).
Yaitu ukuran kinerja yang hanya menggunakan satu ukuran untuk menilai kinerja manajernya. Jika kriteria tunggal digunakan untuk mengukur kinerjanya, orang akan cenderung memusatkan usahanya kepada kriteria tersebut sebagai akibat diabaikannya kriteria yang lain yang kemungkinan sama pentingnya dalam menentukan sukses atau tidaknya perusahaan atau bagiannya.
Sebagai contoh seorang manajer produksi diukur kinerjanya dalam pencapaian target kuantitas produk yang dihasilkan dalam jangka waktu tertentu, sehingga akan terjadi kemungkinan seorang manajer tersebut mengabaikan pertimbangan penting lainnya mengenai  mutu, biaya, pemeliharaan equipment serta sumber daya manusia.
2)      Ukuran Kriteria Beragam (Multiple Criterium)
Yaitu ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran dalam menilai kinerja manajernya. Kriteria ini merupakan cara untuk mengatasi kelemahan kriteria tunggal dalam pengukuran kinerja. Berbagai aspek kinerja manajer dicari ukuran kriterianya sehingga seorang manajer diukur kinerjanya dengan berbagai kriteria. Tujuan penggunaan kriteria ini adalah agar manajer yang diukur kinerjanya mengerahkan usahanya kepada berbagai kinerja.
Contohnya manajer divisi suatu perusahaan diukur kinerjanya dengan berbagai kriteria antara lain profitabilitas, pangsa pasar, produktifitas, pengembangan karyawan, tanggung jawab masyarakat, keseimbangan antara sasaran jangka pendek dan sasaran jangka panjang.  Karena dalam ukuran kriteria beragan tidak ditentukan bobot tiap-tiap kinerja untuk menentukan kinerja keseluruhan manajer yang diukur kinerjanya, maka manajer akan cenderung mengarahkan usahanya, perhatian, dan sumber daya perusahaannya kepada kegiatan yang menurut persepsinya menjanjikan perbaikan yang terbesar kinerjanya secara keseluruhan. Tanpa ada penentuan bobot resmi tiap aspek kinerja yang dinilai didalam menilai kinerja menyeluruh manajer, akan mendorong manajer yang diukur kinerjanya menggunakan pertimbangan dan persepsinya masing-masing didalam memberikan bobot terhadap beragan kriteria yang digunakan untuk menilai kinerjanya.
3)      Ukuran Kriteria Gabungan (Composite Criterium)
Yaitu ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran memperhitungkan bobot masing-masing ukuran dan menghitung rata-ratanya sebagai ukuran menyeluruh kinerja manajernya. Karena disadari bahwa beberapa tujuan lebih panting bagi perusahaan secara keseluruhan dibandingkan dengan tujuan yang lain, beberapa perusahaan memberikan bobot angka tertentu kepada beragan kriteria kinerja untuk mendapatkan ukuran tunggal kinerja manajer, setelah memperhitungkan bobot beragam kriteria kinerja masing-masing.


1.6.           TUJUAN SAKIP
Tujuan SAKIP adalah untuk mewujudkan terciptanya akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Target yang ingin dicapai dari SAKIP tersebut antara lain :
1)      menjadikan instansi pemerintah akuntabel sehingga dapat beroperasi secara efisien, efektif, dan responsif terhadap aspirasi masyarakat serta lingkungannya.
2)      terwujudnya transparansi dari instansi pemerintah.
3)      terwujudnya partisipasi masyarakat dalam membantu pelaksanaan pembangunan nasional.
4)      terpelihara-nya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Selanjutnya SAKIP ini dikembangkan secara terintegrasi dengan sistem perencanaan, sistem penganggaran, sistem perbendaharaan, dan sistem akuntansi pemerintahan  sesuai dengan PP 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.




1.7.           TAHAPAN SAKIP
  Tahapan dalam SAKIP meliputi :
1)                 Rencana Strategis;
Rencana strategis merupakan dokumen perencanaan instansi pemerintah dalam periode 5 (lima) tahunan. Rencana strategis ini menjadi dokemen perencanaan untuk arah pelaksanaan program dan kegiatan dan menjadi landasan dalam penyelenggaraan SAKIP.
     
Contoh rencana strategis kementrian keuangan


2)                 Perjanjian Kinerja;
Perjanjian kinerja adalah lembar/dokumen yang berisikan penugasan dari pimpinan instansi yang lebih tinggi kepada pimpinan instansi yang lebih rendah untuk melaksanakan program/kegiatan yang disertai dengan indikator kinerja. Perjanjian kinerja selain berisi mengenai perjanjian penugasan/pemberian amanah, juga terdapat sasaran strategis, indikator kinerja dan target yang diperjanjikan untuk dilaksanakan dalam 1 (satu) tahun serta memuat rencana anggaran untuk program dan kegiatan yang mendukung pecapaian sasaran strategis.

Indikator Kinerja memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.      spesifik (specific);
b.      dapat terukur (measurable);
c.      dapat dicapai (attainable);
d.     berjangka waktu tertentu (time bound); dan
e.       dapat dipantau dan dikumpulkan (trackable).






Contoh sasaran strategis dan indikator kinerja kementrian keuangan





3)                      Pengukuran Kinerja;
        Pengukuran Kinerja sebagaimana dilakukan dengan menggunakan Indikator Kinerja yang telah ditetapkan dalam lembar/dokumen Perjanjian Kinerja. Pengukuran Kinerja dilakukan dengan cara:
a)      membandingkan realisasi Kinerja dengan Sasaran (target) Kinerja yang dicantumkan dalam lembar/dokumen Perjanjian Kinerja dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD tahun berjalan;
b)      membandingkan realisasi Kinerja Program sampai dengan tahun berjalan dengan Sasaran (target) Kinerja 5 (lima) tahunan yang direncanakan dalam Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga/Rencana Strategis SKPD.
Contoh bentuk pengukuran kinerja dalam LAKIP kementrian keuangan


4)       Pengelolaan Data Kinerja;
Pengelolaan kinerja adalah suatu proses pencatatan atau registrasi, penatausahaan dan penyimpanan serta melaporkan data kinerja. Pengelolaan data kinerja  tersebut berguna untuk mempertimbangkan kebutuhan instansi pemerintah  sebagai kebutuhan manajerial, laporan keuangan yang dihasilkan dari sistem akuntansi dan statistik pemerintah
Pengelolaan data Kinerja  meliputi:
a. penetapan data dasar (baseline data)
b. penyediaan instrumen perolehan data berupa pencatatan dan registrasi
c. penatausahaan dan penyimpanan data
d. pengkompilasian serta perangkuman



5)                 Pelaporan Kinerja;
Pelaporan kinerja adalah proses menyusun dan menyajikan laporan kinerja atas prestasi kerja yang dicapai berdasarkan Penggunaan Anggaran yang telah dialokasikan. Laporan kinerja tersebut terdiri dari Laporan Kinerja Interim dan Laporan Kinerja Tahunan. Laporan Kinerja Tahunan paling tidak memuat perencanaan strategis, pencapaian sasaran strategis instansi pemerintah, realisasi pencapaian sasaran strategis dan penjelasan yang memadai atas pencapaian kinerja
Berdasarkan PERMENPAN No. 53 Tahun 2014, Laporan Kinerja merupakan bentuk akuntabilitas dari pelaksanaan tugas dan fungsi yang dipercayakan kepada setiap instansi pemerintah atas penggunaan anggaran. Hal terpenting yang diperlukan dalam penyusunan laporan kinerja adalah pengukuran kinerja dan evaluasi serta pengungkapan (disclosure) secara memadai hasil analisis terhadap pengukuran kinerja.
Tujuan Pelaporan Kinerja
1.      Memberikan informasi kinerja yang terukur kepada pemberi mandat atas kinerja yang telah dan seharusnya dicapai;
2.      Sebagai upaya perbaikan berkesinambungan bagi instansi pemerintah untuk meningkatkan kinerjanya.
Format Laporan Kinerja Instansi Pemerintah
Laporan kinerja disusun oleh Pemerintah Daerah dan SKPD yang menyusun perjanjian kinerja. Laporan Kinerja menyajikan informasi tentang:
1.                  Uraian singkat organisasi;
2.                  Rencana dan target kinerja yang ditetapkan;
3.                  Pengukuran kinerja;
4.                  Evaluasi dan analisis kinerja untuk setiap sasaran strategis atau hasil program/kegiatan dan kondisi terakhir yang seharusnya terwujud. Analisis ini juga mencakup atas efisiensi penggunaan sumber daya.

Penyampaian Laporan Kinerja

Pimpinan Satuan Kerja menyusun dan menyampaikan Laporan Kinerja Instansi Pemerintah kepada Pimpinan Unit Kerja. Pimpinan unit kerja menyusun laporan kinerja tahunan tingkat unit kerja berdasarkan perjanjian kinerja yang disepakati dan menyampaikannya kepada Menteri/Pimpinan Lembaga.
Menteri/Pimpinan Lembaga dapat menetapkan suatu petunjuk pelaksanaan internal mekanisme penyampian perjanjian kinerja dan pelaporan kinerja.
Kepala SKPD menyusun laporan kinerja tahunan berdasarkan perjanjian kinerja yang disepakati dan menyampaikannya kepada Gubernur/Bupati/Walikota, paling lambat 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Bupati/Walikota menyusun Laporan Kinerja Tahunan pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan perjanjian kinerja yang ditandatangani dan menyampaikannya kepada Gubernur. Dan Gubernur/Bupati/Walikota menyusun laporan kinerja tahunan berdasarkan perjanjian kinerja yang ditandatangani dan menyampaikannya kepada Menteri Menteri Perencanaan Pembangunan NasionalMenteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Menteri Dalam Negeri paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Gubernur/Bupati/Walikota dapat menetapkan suatu petunjuk pelaksanaan internal mekanisme penyampaian perjanjian kinerja dan pelaporan kinerja.

 

Pengukuran Kinerja

Salah satu dasar utama dalam melaksanakan penerapan manajemen kinerja adalah pengukuran kinerja dalam rangka menjamin adanya peningkatan pelayanan publik serta meningkatkan akuntabilitas dengan melakukan klarifikasi output serta outcome yang akan dan seharusnya dicapai untuk memudahkan terwujudnya organisasi akuntabel.
Pengukuran kinerja dilakukan dengan membandingkan antara kinerja yang (seharusnya) terjadi dengan kinerja yang diharapkan. Pengukuran kinerja ini dilakukan secara berkala (triwulan) dan tahunan. Pengukuran dan pembandingan kinerja dalam laporan kinerja harus cukup menggambarkan posisi kinerja instansi pemerintah.


6)                 Reviu Dan Evaluasi Kinerja
Reviu merupakan langkah dalam rangka untuk meyakinkan keandalan informasi yang disajikan sebelum disampaikan kepada pimpinan. Reviu tersebut dilaksanakan oleh Aparat pengawasan intern pemerintah dan hasil reviu berupa surat pernyataan telah direviu yang ditandatangani oleh Aparat pengawasan intern pemerintah. Sedangkan evalusi kinerja merupakan evaluasi dalam rangka implementasi SAKIP di instansi pemerintah

 

Tata Cara Reviu Laporan Kinerja

Didalam PERPRES No. 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah adalah ketentuan yang mengatur tahapan pelaksanaan reviu atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah sebelum ditandatangani oleh pimpinan instansi dan disampaikan kepada Kementerian PAN dan RB. diaturnya tahapan diatas diharapkan dapat meningkatkan kualitas laporan kinerja serta memberikan informasi kinerja yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut petunjuk teknis perjanjian kinerja, pelaporan kinerja dan tata cara reviu instansi pemerintah yang termuat dalam PERMENPAN No. 53 Tahun 2014, Reviu adalah penelaahan atas laporan kinerja untuk memastikan bahwa laporan kinerja telah menyajikan informasi kinerja yang andal, akurat dan berkualitas.
Tujuan dilaksanakannya reviu atas laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah adalah:
·      Membantu penyelenggaraan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.
·     Memberikan keyakinan terbatas mengenai akurasi, keandalan, dan keabsahan data/informasi kinerja Instansi Pemerintah sehingga dapat  menghasilkan Laporan Kinerja yang berkualitas.
Untuk mencapai tujuan diatas, maka apabila pereviu menemukan kelemahan/ kekuarangan dalam penyelenggaraan manajemen kinerja, kesalahan penyajian data/informasi serta  penyajian laporan kinerja, maka unit  pengelola kinerja harus segera melakukan perbaikan/ koreksi atas kelemahan tersebut secara berjenjang.

Tata Cara Reviu Laporan Kinerja

Pihak yang melaksanakan reviu
Laporan kinerja harus direviu oleh auditor Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) atau tim yang dibentuk untuk itu. Pereviu akan memberikan Surat Pernyataan Telah Direviu jika Laporan Kinerja telah mendapatkan reviu melalui kertas kerja.
Waktu pelaksanaan reviu
Tahapan reviu laporan kinerja merupakan bagian tidak terpisahkan dari tahapan pelaporan kinerja. Reviu dilaksanakan secara paralel dengan pelaksanaan manajemen kinerja dan penyusunan Laporan Kinerja Instansi Pemerintah. Reviu harus sudah selesai sebelum ditandatangani pimpinan dan sebelum disampaikan kepada Menteri PAN dan RB
Ruang lingkup pelaksanaan reviu
·      Metode pengumpulan data/informasi
Hal ini dilakukan terkait untuk menguji keandalan dan akurasi data/informasi kinerja yang disajikan dalam Laporan Kinerja.
·      Penelaahan penyelenggaraan SAKIP secara ringkas
Hal ini dilakukan untuk menilai keselarasan antara perencanaan strategis di tingkat Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah dengan perencanaan strategis unit dibawahnya, terutama dalam hal keselarasan sasaran, indikator kinerja, program dan kegiatannya.
·      Penyusunan kertas kerja reviu
Kertas kerja reviu, setidaknya mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Hasil pengujian atas keandalan dan akurasi data atau informasi kinerja dalam laporan kinerja;
2. Telaahan atas aktivitas penyelenggaraan SAKIP;
3. Hal yang direviu dan langkah-langkah reviu yang dilaksanakan;
4. Hasil pelaksanaan langkah-langkah reviu dan kesimpulan/catatan pereviu.
·      Pelaporan reviu
Rangkaian aktivitas di dalam pelaporan reviu difokuskann pada pertanggungjawaban pelaksanaan reviu yang pada dasarnya mengungkapkan prosedur reviu yang dilakukan, kesalahan serta kekurangan yang ditemui, langkah perbaikan yang disepakati dan yang telah dilakukan dan saran perbaikan yang tidak / belum dilaksanakan,. laporan tersebut merupakan dasar penyusunan pernyataan telah direviu.
Hasil pelaporan reviu merupakan dasar bagi pereviu untuk membuat pernyataan telah direviu, yang antara lain menyatakan bahwa:
1. Reviu telah dilakukan atas laporan kinerja untuk tahun yang bersangkutan.
2. Reviu telah dilaksanakan sesuai dengan pedoman reviu laporan kinerja.
3. Semua informasi yang dimuat dalam laporan reviu adalah penyajian manajemen.
4. Tujuan reviu adalah untuk memberikan keyakinan mengenai akurasi, keandalan dan keabsahan informasi kinerja dalam laporan kinerja kepada pimpinan instansi pemerintah.
5. Tujuan reviu adalah untuk memberikan keyakinan mengenai akurasi, keandalan dan keabsahan informasi kinerja dalam laporan kinerja kepada pimpinan instansi pemerintah.
6. Paragraph penjelas (apabila diperlukan) yang menguraikan perbaikan penyelenggaraan SAKIP dan koreksi atas penyajian laporan kinerja yang belum atau belum selesai dilakukan oleh unit pengelola kerja.


1.8.           PEDOMAN EVALUASI SAKIP
Seluruh instansi didalam  pemerintah telah diwajibkan untuk menyusun serta membuat Laporan Kinerja setiap tahunnya, hal tersebut merupakan salah satu wujud meningkatkan akuntabilitas kinerja yang merupakan salah satu program yg dilaksanakan dalam rangka reformasi birokrasi dengan cara penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang SAKIP.
Selanjutnya untuk mengetahui seberapa jauh  instansi pemerintah mengimplementasikan SAKIP, serta untuk mendorong adanya peningkatan kinerja instansi pemerintah, maka perlu dilakukan suatu evaluasi terhadap implementasi SAKIP. Evaluasi ini diharapkan dapat mendorong instansi pemerintah pusat dan daerah untuk secara konsisten meningkatkan implementasi SAKIP dan mewujudkan capaian kinerja instansinya sesuai yang diamanahkan dalam RPJMN/RPJMD.
Untuk melaksanakan evaluasi terhadap sistem AKIP tersebut maka Kementerian PAN & RB menerbitkan Peraturan Menteri mengenai Pendayagunaan Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi No 12 Tahun 2015 tentang Pedoman Evaluasi Atas Implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Peraturan tersebut merupakan salah satu pelaksanaan dari Peraturan Presiden No 29 tahun 2014  mengenai Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Cakupan/ruang lingkup Implementasi SAKIP yang dievaluasi adalah :
1. Penilaian terhadap perencanaan strategis, termasuk di dalamnya perjanjian kinerja, dan sistem pengukuran kinerja;
2. Penilaian terhadap penyajian dan pengungkapan informasi kinerja;
3. Evaluasi terhadap program dan kegiatan; dan
4. Evaluasi terhadap kebijakan instansi/unit kerja yang bersangkutan.
Dalam pelaksanaan evaluasi  implementasi SAKIP yg dilaksanakan melalui tahapan Survei Pendahuluan dan Evaluasi atas Implementasi SAKIP. Survei pendahuluan  dilaksanakan dengan tujuan untuk memahami dan mendapatkan gambaran umum mengenai kegiatan/unit kerja yang akan dievaluasi. Sedangkan evaluasi implementasi terdiri dari evaluasi penerapan komponen manajemen kinerja yaitu: 
-perencanaan kinerja, 
-pengukuran kinerja,
-pelaporan kinerja
- evaluasi internal,
-  capaian kinerja. 
Evaluasi atas akuntabilitas kinerja instansi harus memperoleh hasil penilaian atas fakta obyektif dari Instansi pemerintah didalam mengimplementasikan perencanaan kinerja,  dalam pengukuran kinerja, dalam pelaporan kinerja, dalam evaluasi kinerja serta pencapaian kinerja sesuai dengan kriteria masing-masing komponen yang ada dalam LKE.
Setelah melaksanakan tahapan-tahapan dalam evaluasi atas implementasi SAKIP harus menghasilkan Kertas Kerja Evaluasi (KKE) dan Laporan Hasil Evaluasi (LHE). LHE ini disusun berdasarkan berbagai hasil pengumpulan data dan fakta serta analisis yang didokumentasikan dalam KKE.
LHE disusun berdasarkan prinsip kehati-hatian dan mengungkapkan hal-hal penting bagi perbaikan manajemen kinerja instansi pemerintah yang dievaluasi. Permasalahan atau temuan sementara hasil evaluasi (tentative finding) dan saran perbaikannya harus diungkapkan secara jelas dan dikomunikasikan kepada pihak instansi pemerintah yang dievaluasi untuk mendapatkan konfirmasi ataupun tanggapan secukupnya.



DAFTAR PUSTAKA


Nordiawan, Deddi dan Ayuningtyas Hertianti. 2011. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: salemba 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. jangan lupa klik suka ya