PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HUKUM BISNIS (KASUS MESUJI) - THE SETTLEMENT OF DISPUTES IN THE LAW BUSINESS

LINGKUNGAN BISNIS DAN HUKUM KOMERSIAL (LBHK)


PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HUKUM BISNIS
DISUSUN OLEH
KELOMPOK 3:

1.
FARIDA
2. SRI NEVA LIZA
3. YENI SAPRIDAWATI




PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HUKUM BISNIS
A.    PENDAHULUAN
Semakin maraknya kegiatan bisnis, tidak mungkin di hindari adanya sengketa diantara para pihak-pihak yang terlibat. Secara konvensional penyelesaian sengketa dilakukan secara ligitasi (pengadilan), dimana posisi para pihak berlawanan satu sama lain. Proses ini oleh kalangan bisnis dianggap tidak efektif dan tidak efesien, terlalu formalistic, berbelit-belit, penyelesaiannya membutuhkan waktu yang lama dan biayanya relative mahal. Apalagi putusan pengadilan bersifat win-lose solution (menang kalah), sehingga dapat merenggangkan hubungan kedua belah pihak di masa-masa yang akan datang. Sebagai solusinya, kemudian berkembanglah model penyelesaian sengketa non litigasi, yang dianggap lebih bisa mengakomodir kelemahan-kelemahan model litigasi dan memberikan jalan keluar yang lebih baik. Proses diluar litigasi dipandang lebih menghasilkan kesepakatan yang win-win solution, menjamin kerahasiaan sengketa para pihak, menghindari keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan, dan tetap menjaga hubungan baik.
B.     PENGERTIAN SENGKETA BISNIS
Dalam kamus bahasa Indonesia sengketa adalah pertentangan atau konflik. Konflik berarti adanya oposisi, atau pertentangan antara kelompok atau organisasi terhadap satu objek permasalahan. Menurut Winardi, Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu – individu atau kelompok – kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dngan yang lain.
Menurut Ali Achmad, sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepemilikan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum antara keduanya.
Dari pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa Sengketa adalah perilaku pertentangan antara kedua orang atua lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerja sama bisnis. mengingat kegiatan bisnis yang semakin meningkat, maka tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa diantara para pihak yang terlibat. Sengketa muncul dikarenakan berbagai alasan dan masalah yang melatar belakanginya, terutama karena adanya  conflict of interest diantara para pihak. Sengketa yang timbul diantara para pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis atau perdagangan dinamakan sengketa bisnis. Secara rinci sengketa bisnis dapat berupa sengketa sebagai berikut :
1.      Sengketa Perniagaan
2.      Sengketa Perbankan
3.      Sengketa Keuangan
4.      Sengketa Penanaman Modal
5.      Sengketa Perindustrian
6.      Sengketa HKI
7.      Sengketa Konsumen
8.      Sengketa Kontrak
9.      Sengketa Pekerjaan
10.  Sengketa Perburuhan
11.  Sengketa Perusahaan
12.  Sengketa Hak
13.  Sengketa Property
14.  Sengketa Pembangunan Konstruksi

C.    MACAM-MACAM CARA PENYELESAIAN
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama bisnis, yang meningkat dari hari ke hari. Semakin meningkatnya kerjasama bisnis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat sengketa diantara para pihak yang terlibat didalamnya. Penyelesaian sengketa dapat berupa :
1. Litigasi
2. Non Litigasi
·         LITIGASI
Litigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan. Adapun sisi positif menyelesaikan sengketa di jalur pengadilan adalah :
  1. Hukum yang berlaku adalah sistem hukum Indonesia
  2. Berlangsung di wilayah Republik Indonesia
Sedangkan sisi negatifnya adalah :
        1            Partner asing belum memberikan kepercayaan kepada efektivitas hukum di Indonesia
        2            Proses peradilan memakan waktu yang lama. Karena terbukanya kesempatan untuk mengajukan upaya hukum atas putusan hakim, melalui banding, kasasi dan peninjauan kembali.
        3            Proses dilakukan terbuka untuk umum
Mekanisme penyelesaian sengketa dengan jalur pengadilan dilaksanakan di lembaga penyelesaian sengketa bisnis. Di indonesia ada dua lembaga penyelesaian sengketa bisnis yaitu
  1. Pengadilan Umum
Pengadilan Negeri berwenang memeriksa sengketa bisnis, mempunyai karakteristik :
1.      Prosesnya sangat formal
2.      Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)
3.      Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
4.      Sifat keputusan memaksa dan mengikat (Coercive and binding)
5.      Orientasi ke pada fakta hukum (mencari pihak yang bersalah)
6.      Persidangan bersifat terbuka
  1. Pengadilan Niaga
Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan umum yang mempunyai kompetensi untuk memeriksa dan memutuskan Permohonan Pernyataan Pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan sengketa HAKI. Pengadilan Niaga mempunyai karakteristik sebagai berikut :
  1. Prosesnya sangat formal
  2. Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)
  3. Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
  4. Sifat keputusan memaksa dan mengikat (coercive and binding
  5. Orientasi pada fakta hukum (mencari pihak yang salah)
  6. Proses persidangan bersifat terbuka
  7. Waktu singkat.
·         NON-LITIGASI
Non litigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Pada masa sekarang ini masyarakat mulai beralih ke metode alternative penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang sering dikenal dengan istilah ADR (Alternative Dispute Resolution).
Menurut Yahya Harahap dkk, ada faktor-faktor  yang menjadi alasan perlunya alternative penyelesaian sengketa (ADR) sebagai berikut :
  1. Adanya tuntutan dunia bisnis.
  2. Adanya berbagai kritik yang dilontarkan kepada lembaga peradilan.
  3. Peradilan pada umumnya tidak responsif.
  4. Keputusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah.
  5. Kemampuan para hakim bersifat generalis.
  6. Adanya berbagai ungkapan yang mengurangi citra pengadilan.
  7. Pencegahan terjadinya sengketa akan memperkecil sengketa.

Dasar hukum Alternativ Dispute Resolution/ADR sebagai berikut :
  1. Dasar filosofi yaitu pancasila.
  2. Reglement op de Burgerlijke Rechvordering (RV) atau pengaturan Arbitrase.
  3. Konvensi Washinton/dengan UU No 5/1968.
  4. Konvensi New York dan Keppres No : 34/1981.
  5. UU No : 14/1970 sekarang UU No : 4/2004.
  6. Tahun 1977 didirikan BANI.
  7. UU Nomor 30/1999 tentang Arbitrase.

Alternatif Penyelesaian Sengketa (termasuk arbitrase) dapat diberi batasan sebagai sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberi alternatif atau pilihan suatu tata cara penyelesaian sengketa melalui bentuk arbitrase agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak. Secara umum, tidak selalu dengan melibatkan intervensi dan bantuan pihak ketiga yang independent yang diminta membantu memudahkan penyelesaian sengketa tersebut” (Abdulrasyid, 2002).
Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud dengan ADR (Alternative Dispute Resolution) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan menyampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan. Dalam UU No. 30 Tahun 1999, dapat kita temui sekurangnya ada lima macam cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu
        1            Konsultasi
        2            Negosiasi.
        3            Mediasi.
        4            Konsiliasi.
        5            Arbitrase.

  1. KONSULTASI
Dalam Black’s Law Dictionary yang dikutip oleh Gunawan Widjaja, pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada kliennya untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut (Widjaya, 2001). Peran konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada tidaklah dominan sama sekali. Konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak, meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.

  1. NEGOSIASI
Istilah negosiasi berasal dari bahasa Inggris “Negotiation” yang berarti perundingan, sedangkan orang yang mengadakan perundingan disebut dengan “negosiator”.
Pengertian negosiasia secara umum “adalah : suatu upaya penyelesaian sengketa pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif”.
Menurut Alan Fowler menjelaskan bahwa negosiasi terdiri dari beberapa elemen yang merupakan prinsip-prinsip umum, yaitu :
1)      Negosiasi melibatkan dua pihak atau lebih.
2)      Pihak-pihak itu harus membutuhkan keterlibatan satu sama lain dalam mencapai hasil yang diinginkan bersama.
3)      Pihak-pihak yang bersangkutan setidak-tidaknya pada awalnya menganggap negosiasi sebagai cara yang lebih memuaskan untuk menyelesaikan perbedaan mereka dibandingkan dengan metode lain.
4)      Masing-masing pihak harus beranggapan bahwa ada kemungkinan untuk membujuk pihak lain untuk memodifikasi posisi awal mereka.
5)      Setiap pihak harus mempunyai harapan akan sebuah hasil akhir yang mereka terima dan suatu konsep tentang seperti apakah hasil akhir itu.
6)      Masing-masing pihak harus mempunyai suatu tingkat kuasa atas kemampuan pihak lain untuk bertindak.
7)      Proses negosiasi itu sendiri pada dasarnya merupakan salah satu interaksi diantara orang-orang, terutama antar komunikasi lisan yang langsung, walaupun kadang dengan elemen tertulis yang penting.

Ada 2 Model Negosiasi yaitu :
1.      Positional
Dalam model positional ada 2 hal yang penting yaitu :
  1. Hard Negosiator (kompetetitif); Masing-masing pihak berusaha untuk mendapatkan bagian yang terbesar dan memenangkan negosiasi tersebut.
  2. Soft Negosiator; Selalu memberikan konsesi atau mengikuti kemauan yang diminta pihak lain, karena ia lebih mementingkan hubungan baik dan dinomorsatukan.
Model perundingan positional memiliki ciri-ciri berikut ini :
         Dimulai dengan menawarkan sebuah solusi
         Sikap dan perilaku negosiator seperti membagi kue
         Tujuannya bagaimana memperoleh potongan kue yang terbesar
         Mereka memposisikan pihak sebagai musuh yang harus dikalahkan bukan sebagai teman untuk menyelesaikan masalah
         Solusi hanya satu, yakni solusi saya
         Memberikan konsesi adalah suatu kekalahan
2.      Interest Based
Perundingan interest based ini didasarkan pada kepentingan bersama (joint problem solving). Para pihak melihat permasalahan yang ada tidak hanya milik satu orang, tetapi permasalahan bersama, sehingga dicari bagaimana cara menyelesaikan persoalan yang ada.
Perundingan berdasar kepentingan dimulai dengan:
  1. Mengembangkan dan menjaga hubungan
  2. Para pihak berusaha mendidik satu dengan yang lain akan kebutuhan mereka
  3. Mereka akan selalu mencoba menyelesaikan masalah berdasarkan pada kepentingan atau kebutuhan belah pihak
Ciri-Ciri Perundingan Berdasarkan Kepentingan
         Tujuannya adalah win-win
         Kebutuhan para pihak harus dibahas dalam rangka mencapai tujuan
         Para negosiator adalah adalah individu yang menyelesaikan masalah secara kooperatif
         Menjaga pola hubungan positif selama perundingan
         Mencoba mencari solusi, sehingga didapat penyelesaian yang memuaskan
         Bagaimana mereka saling menjaga kepercayaan diri dan kepercayaan pihak lain. Kunci negosiasi adalah trust.
Tahap-tahap dalam bernegosiasi, ada 3 tahapan antara lain :
1)      Tahapan sebelum negosiasi dimulai
Dalam tahap sebelum negosiasi dimulai maka berlaku prinsip-prinsip dasar tahap pra negosiasi, prinsip dasar tersebut sebagai berikut :
a.       Pokok persoalan apa yang cenderung timbul dalam konteks kerja yang umum yang memerlukan negosiasi.
b.      Siapa yang terlibat dalam negosiasi ?
c.       Apakah negosiasi itu perlu ?
d.      Bagaimana kualitas hubungan diantara pihak-pihak itu?
2)      Tahap berlangsungnya negosiasi
Pada tahap ini, beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh negosiasi, yaitu :
a.       Menetapkan persoalan.
b.      Menetapkan posisi awal.
c.       Argumentasi.
d.      Menyelidiki kemungkinan.
e.       Menetapkan proposal.
f.       Menetapkan dann menanda tangani persetujuan.
3)      Tahap setelah negosiasi disimpulkan
Pada tahap negosiasi disimpulkan ini, hasil persetujuan tersebut harus ditindak lanjuti, maka para pihak perlu melakukan beberapa langkah sebagai berikut :
a.       Memasukkan program pelaksanaan kedalam persetujuan itu.
b.      Adakan tim bersama untuk meninjau pelaksanaan.
c.       Pastikan informasi dan penjelasan yang memadai.

Faktor-Faktor Negosiasi, menurut garry Goodp aster terdapat beberapa hal yang sangat mempengaruhi jalannya negosiasi, antara lain :
        1            Kekuatan tawar menawar.
        2            Pola tawar menawar.
        3            Strategi dalam tawar menawar.
Dalam negosiasi akan selalu terdapat tawar menawar diantara para pihak, tawar menawar tersebut bersifat relatif yang tergantung pada beberapa hal, yaitu :
1)      Bagaimana kebutuhan anda terhadap pihak lain.
2)      Bagaimana kebutuhan pihak lain terhadap anda.
3)      Bagaimana alternatif kedua belah pihak.
4)      Apa persepsi para pihak mengenai kebutuhann serta pilihan-pilihannya.
Strategi dan Taktik Bernegosiasi
  1. Menurut Garry Goodparter. Agar suatu negosiasi dapat berhasil dengan baik setiap negosiator harus menggunakan strategi atau taktik bernegosiasi, antara lain :
1)      Bersaing (competing).
2)      Berkompromi (compromising).
3)      Pemecahan masalah (problem solving).
  1. Menurut James G. Patterson, strategi bernegosiasi ada lima cara antara lain:
1)      Withdrawal/Avoidance
Yaitu : strategi menghindar atau melarikan diri, strategi ini sangat baik dipergunakan bila :
a)      Permasalahan tersebut sederhana atau sepele.
b)      Bila pihak-pihak dalam suatu konflik kurang mampu menawarkan solution.
c)      Bila potensi kekalahan dalam konflik lebih berat berdasarkan analisis Cost Benefit.
d)     Bila tidak cukup waktu untuk menyelesaikan konflik.



2)      Smoothing/Accommodation
Pengikut strategi ini merasa peduli terhadap orang dan mereka mencoba menyelesaikan konflik dengan menjaga agar setiap orang senang. Strategi ini baik digunakan bila :
a.       Permasalahannya kecil.
b.      Kerugian yang berhubungan akan diderita oleh semua pihak yang terlibat dalam konflik.
c.       Ada pengurangan tingkat konflik agar mendapatkan informasi yang lebih banyak.
d.      Sifat melembut juga berkembang.
3)      Compromise, yaakni dimana para pihak mendapatkan hak yang sama untuk mengekspresikan pendapat. Strategi ini sering digunakan untuk mendapatkan solusi. Kompromi ini dapat dilakukan bila
a)      Kedua belah pihak berkemungkinan mendapatkan keuntungan dalam kompromi tersebut.
b)      Bila solusi idela tidak diperlukan.
c)      Bila anda perlu solusi sementara untuk masalah yang komplek.
d)     Bila kedua belah pihak memiliki kekuatan yang sama.
4)      Force/Competition. Para pihak hanya melihat konflik sebagai suatu keadaan menang-kalah (win-lose), dimana pihak lawan mereka harus kalah.
Strategi ini dapat digunakan bila :
a)      Anda atau group perlu tindakan atau keputusan segera.
b)      Semua pihak dalam konflik mengharapkan dan senang dengan penggunaan kekuasaan/kekuatan.
c)      Semua pihak dalam konflik mengerti dan menerima hubungan kekuasaan diantara mereka.
5)      Problem Solving. Strategi ini memberikan dasar pertimbangan bahwa dengan strategi akan dapat dihasilkan keuntungan jika diselesaikan dengan cara terbuka.
Strategi ini dapat efektif digunakan oleh para pihak yang tengah menyelesaikan konflik bila :
a.       Setiap orang dalam konflik terlatih menggunakan metode pemecahan masalah.
b.      Para pihak memiliki tujuan yang sama.
c.       Konflik menghasilkan masalah pahaman.

  1. MEDIASI
Istilah mediasi berasal dari bahasa Inggris “mediation” artinya adalah penyelesaian sengketa dengan menengahi. Mediator adalah orang yang menjadi penengah.
Pengertian Mediasi Adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran, dann tukar pendapat untuk tercapainya mufakat.
Dengan kata lain proses negosiasi pemecahan masalah adalah : proses dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian secara memuaskan.
Beberapa elemen mediasi antara lain :
  1. Penyelesaian sengketa sukarela.
  2. Intervensi/bantuan.
  3. Pihak ketiga yang tidak berpihak.
  4. Pengambilan keputusan oleh para pihak secara konsesus.
  5. Partisipasi aktif.
Keuntungan-keuntungan dari metode penyelesaian melalui mediasi sebagai berikut :
  1. Keputusan yang hemat.
  2. Penyelesaian secara cepat.
  3. Hasil yang memuaskan bagi seluruh pihak.
  4. Kesepakatan komprehensif dan customizea.
  5. Praktek dan belajar prosedur penyelesaian masalah secara kreatif.
  6. Tingkat pengendalian lebih besar dan hasil yang bisa didengar.
  7. Pemberdayaan individu.
  8. Keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan.
  9. Melestarikan hubungan yang sudah berjalan.
  10. Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu.
Tujuan penyelesaian konflik melalui mediasi adalah sebagai berikut :
  1. Untuk menghasilkan suatu rencana/kesepakatan kedepan yang dapat diterima dan dijalankan oleh para pihak yang bersengketa.
  2. Untuk mempersiapkan para pihak yang bersengketa untuk menerima konsekuensi dari keputusan yang mereka buat.
  3. Mengurangi kekhawatiran dan dampak negatif lainnya dari suatu konflik.

Mediator yang dipilih atau yang ditunjuk akan membantu penyelesaian konflik, seperti :
  1. Sebagai katalisator (mendorong suasana yang kondusif).
  2. Sebagai pendidik (memahami kehendak, aspirasi, prosedur kerja, dan kendala usaha para pihak).
  3. Sebagai penerjemah (harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak yang lain).
  4. Sebagai nara sumber (mendaya gunakan informasi).
  5. Sebagai penyandang berita jelek (para pihak dapat emosional).
  6. Sebagai agen realitas (terus terang dijelaskan bahwa sasarannya tidak mungkin dicapai melalui suatu proses perundingan).
  7. Sebagai kambing hitam (pihak yang dipersalahkan)
Selain hal diatas seorang mediator juga berperan sebagai :
  1. Pembuka jalur komunikasi.
  2. Legitimizer/orang yang berwenang untuk mengesahkan.
  3. Fasilitator proses.
  4. Nara sumber.
  5. Pelatih.
  6. Pembahas masalah.
  7. Perantara untuk melihat kenyataan.
  8. Pemimpin.
Dalam menjalankan tugasnya seorang mediator dapat melakukan 2 macam peran, yaitu :
  1. Peran lemah/pasif.
  2. Peran kuat/aktif.
Tipe-Tipe Mediator
  1. Mediator hubungan sosial.
  2. Mediator autoritatif.
  3. Mediator mandiri.
Tahap-tahap mediasi, Garis besar pentahapan proses mediasi adalah sebagai berikut :
  1. Tahap pertama, pembentukan forum.
Dalam tahap ini kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
·         Rapat gabungan.
·         Pernyataan pembukaan oleh mediator, dalam hal ini yang dilakukan adalah:
·         mendidik para pihak;
·         menentukan pokok-pokok aturan main;
·         membina hubungan dan kepercayaan.
·         Pernyataan para pihak, dalam hal ini yang dilakukan adalah:
·         dengar pendapat (hearing);
·         menyampaikan dan klarifikasi informasi;
·         cara-cara interaksi.
  1. Tahap kedua, saling mengumpulkan dan membagi informasi.
Dalam tahap ini kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan mengadakan rapat-rapat terpisah yang bertujuan untuk:
    1. Mengembangkan informasi selanjutnya;
    2. Mengetahui lebih dalam keinginan para pihak ;
    3. Membantu para pihak untuk dapat mengetahui kepentingannya ;
    4. Mendidik para pihak tentang cara tawar menawar penyelesaian masalah.
  1. Tahap ketiga, tawar menawar penyelesaian masalah.
Dalam tahap ketiga yang dilakukan mediator mengadakan rapat bersama atau lanjutan rapat terpisah, dengan tujuan untuk:
    1. Menetapkan agenda.
    2. Kegiatan pemecahan masalah.
    3. Menfasilitasi kerja sama.
    4. Identifikasi dan klarifikasi isu dan masalah.
    5. Mengembangkan alternatif dan pilihan-pilihan.
    6. Memperkenalkan pilihan-pilihan tersebut.
    7. Membantu para pihak untuk mengajukan, menilai dan memprioritaskan kepentingan-kepentingannya.
  1. Tahap keempat pengambilan keputusan.
Dalam tahap ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebagai berikut:
    1. Rapat-rapat bersama.
    2. Melokalisasikan pemecahan masalah dan mengevaluasi pemecahan masalah.
    3. Membantu para pihak untuk memperkecil perbedaan-perbedaan.
    4. Mengkonfirmasi dan klarifikasi kontrak.
    5. Membantu para pihak untuk memperbandingkan proposal penyelesaian masalah dengan alternatif di luar kontrak.
    6. Mendorong para pihak untuk menghasilkan dan menerima pemecahan masalah.
    7. Mengusahakan formula pemecahan masalah berdasarkan “win-win solution” dan tidak ada satu pihakpun yang merasa kehilangan muka.
    8. Membantu para pihak untuk mendapatkan pilihannya.
    9. Membantu para pihak untuk mengingat kembali kontraknya.
Taktik Mediator, Dalam memimpin penyelesaian sengketa, seorang mediator harus memiliki taktik yang dapat membantu penyelesaian konflik, yaitu :
  1. Taktik menyusun rangka/keputusan.
  2. Taktik untuk mendapatkan wewenang dan kerja sama.
  3. Taktik mengendalikan emosi dan menciptakan suasana yang tepat.
  4. Taktik yang bersifat informatif.
  5. Taktik pemecahan masalah.
  6. Taktik menghindarkan rasa malu.
  7. Taktik pemaksaan.

Teknik-Teknik Mediator, Untuk membantu proses penyelesaian sengketa, seorang mediator dapat menggunakan beberapa teknik, yaitu :
  1. Membangun kepercayaan.
  2. Menganalisis konflik.
  3. Mengumpulkan informasi.
  4. Berbicara secara jelas.
  5. Mendengarkan dengan penuh perhatian.
  6. Meringkas/merumuskan ulang pembicaraan para pihak.
  7. Menyusun aturan perundingan.
  8. Mengorganisir pertemuan perundingan.
  9. Mengatasi emosi para pihak.
  10. Memanfaatkan “Causus/bilik kecil.
  11. Mengungkapkan kepentingan yang masih tersembunyi.
  12. Membujuk salah satu pihak/para pihak “BATNA”.
  13. Menyusun kesepakatan.

  1. KONSILIASI
Jika mengacu kepada asal kata konsiliasi yaitu “conciliation” dalam bahasa Inggris yang berarti perdamaian dalam bahasa Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya konsiliasi merupakan perdamaian. Konsiliasi sebagai proses penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak dengan tugas sebagai fasilitator untuk menemukan para pihak agar dapat dilakukan penyelesaian sengketa. Konsiliator dalam menjalankan tugasnya harus mengetahui hak dan kewajiban para pihak, kebiasaan bisnis, sehingga dapat mengarahkan penyelesaian sengeta dengan berpegang kepada prinsip keadilan, kepastian dan objektivitas dari setiap kasus tertentu.
Tugas dari konsiliator seperti juga mediator hanyalah sebagai pihak fasilitator untuk melakukan komunikasi diantara pihak sehingga dapat ditemukan solusi oleh para pihak. Pihak konsiliator hanya melakukan tindakan- tindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subjek pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain jika pesan tersbut tidak mungkin disampaikan langsung, dan lain-lain. Sementara pihak mediator melakukan lebih jauh dari itu. Namun, keputusan dan persetujuan terhadap keputusan perkara tetap terletak penuh di tangan para pihak yang bersengketa.

  1. ARBITRASE
Kata arbitrase berasal dari bahasa Latin arbitrare yang artinya kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan“. Dikaitkannya istilah arbitrase dengan kebijaksanaan seolah – olah memberi petunjuk bahwa majelis arbitrase tidak perlu memerhatikan hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup mendasarkan pada kebijaksanaan. Pandangan tersebut keliru karena arbiter juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim di pengadilan.
Secara umum arbitrase adalah suatu proses di mana dua pihak atau lebih menyerahkan sengketa mereka kepada satu orang atau lebih yang imparsial (disebut arbiter) untuk memperoleh suatu putusan yang final dan mengikat. Dari pengertian itu terdapat tiga hal yang harus dipenuhi, yaitu : adanya suatu sengketa; kesepakatan untuk menyerahkan ke pihak ketiga; dan putusan final dan mengikat akan dijatuhkan.
Menurut Mertokusumo, arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter.
Dalam Pasal 1 butir 1 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan : “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa“. Dari pengertian Pasal 1 butir 1 tersebut diketahui pula bahwa dasar dari arbitrase adalah perjanjian di antara para pihak sendiri, yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak mengikat mereka sebagai undang – undang.
Pada tanggal 12 Agustus 1999, telah disahkan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999. Undang – Undang ini merupakan perubahan atas pengaturan mengenai arbitrase yang sudah tidak memadai lagi
dengan tuntutan perdagangan Internasional.
JENIS ARBITRASE, Jenis – jenis arbitrase menurut Rv yaitu :
  • Arbitrase Ad Hoc (Volunter Arbitrase)
Arbitrase Ad Hoc (Volunter Arbitrase); Disebut dengan arbitrase ad hoc atau volunteer arbitrase karena sifat dari arbitrase ini yang tidak permanan atau insidentil. Arbitrase ini keberadaannya hanya untuk memutuskan dan menyelesaikan suatu kasus sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai diputus, maka keberadaan arbitrase ad hoc inipun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. (para) arbiter yang menangani penyelesaian sengketa ini ditentukan dan dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa; demikian pula tata cara pengangkatan (para) arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian sengketa, tenggang waktu penyelesaian sengketa tidak memiliki bentuk yang baku. Hanya saja dapat dijadikan patokan bahwa pemilihan-pemilihan dan penentuan hal–hal tersebut terdahulu tidak boleh menyimpang dari apa yang telah ditentukan oleh undang – undang.
  • Arbitrase Institusional (Lembaga Arbitrase)
Arbitrase Institusional (Lembaga Arbitrase); Arbitrase Institusional ini merupakan suatu lembaga arbitrase yang khusus didirikan untuk menyelesaikan sengketa yang terbit dari kalangan dunia usaha. Hampir pada semua negara – negara maju terdapat lembaga arbitrase ini, yang pada umumnya pendiriannya diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri Negara tersebut. Lembaga arbitrase ini mempunyai  aturan main sendiri – sendiri yang telah dibakukan. Secara umum dapat dikatakan bahwa penunjukan lembaga ini berarti menundukkan diri pada aturan –aturan main dari dan dalam lembaga ini. Untuk jelasnya, hal ini dapat dilihat dari peraturan – peraturan yang berlaku untuk masing–masing lembaga tersebut.
Arbitrase Institusional adalah arbitrase yang melembaga yang didirikan dan melekat pada suatu badan (body) atau lembaga (Institution) tertentu. Sifatnya permanen dan sengaja dibentuk guna menyelesaikan sengketa yang terjadi sebagai akibat pelaksanaan perjanjian. Setelah selesai memutus sengketa, arbitrase institusional tidak berakhir. Pada umumnya, arbitrase institusional memiliki prosedur dan tata cara pemeriksaan sengketa tersendiri. Arbiternya ditentukan dan diangkat oleh lembaga arbitrase institusional sendiri.

SYARAT – SYARAT ARBITRASE
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang–Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang dapat diselesaikan melalui Arbitrase atau Alternatif penyelesaian Sengketa adalah sengketa atau perbedaan pendapat yang timbul atau mungkin timbul antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah diperjanjikan sebelumnya bahwa penyelesaiannya akan ditentukan dengan cara arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selanjutnya dalam Pasal 9 ayat (3) Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan perjanjian tertulis arbitrase harus memuat :
a.       Masalah yang dipersengketakan
b.      Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c.       Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbiter;
d.      Tempat arbiter atau majelis arbiter akan mengambil keputusan;
e.       Nama lengkap Sekretaris;
f.       Jangka waktu penyelesaian sengketa;
g.      Pernyataan kesediaan dari arbiter, dan
h.      Pernyataan kesediaan dari para pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Apabila perjanjian yang dibuat tidak memuat syarat– syarat seperti yang disebutkan di atas, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, akan tetapi dalam Pasal 10 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal dengan alasan – alasan sebagai berikut :
a.       Meninggalkan salah satu pihak;
b.      Bangkrutnya salah satu pihak;
c.       Novasi;
d.      Insolvensi salah satu pihak;
e.       Pewarisan;
f.       Berlakunya syarat – syarat hapusnya perikatan pokok
g.      Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialih tugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau
h.      Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

Dalam hal para pihak sudah memperjanjikan bahwa sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase, maka apabila timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, email atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku. Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase tersebut harus memuat dengan jelas;
        1            Nama dan alamat
        2            Penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku
        3            Perjanjian atau masalah yang terjadi sengketa;
        4            Dasar gugatan dan jumlah yang digugat, apabila ada;
        5            cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
        6            Perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbitrase atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.
MEKANISME ARBITRASE
Pada prinsipnya para pihak yang bersengketa bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999, penentuan acara arbitrase ini harus diperjanjikan secara tegas dan tertulis. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak.
Apabila sudah ditentukan lembaga yang dipilih, maka penyelesaian sengketa dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih kecuali ditetapkan lain oleh para pihak. Dalam perjanjian tersebut harus ada kesepakatan mengebnai ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase. Apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, maka arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila.
1)      Diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu, misalnya karena adanya gugatan antara atau gugatan insidentil di luar pokok sengketa, seperti permohonan jaminan;
2)      Sebagai akibat ditetapkan putusan provisional atau putusan sela lainnya, atau
3)      Dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan.
Sebaliknya apabila para pihak tidak menentukan sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan dan arbiter atau majelis arbitrase telah terbentuk baik yang ditunjuk oleh para pihak, atau diperiksa dan diputus menurut ketentuan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999. Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus dilakukan secara tertulis tetapi tidak menutup kemungkinan pemeriksaan sengketa dilakukan secara lisan apabila hal ini disetujui oleh para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai dengan terjemahan dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase . dalam pemeriksaan sengketa, para pihak yang bersengketa diberi kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapat masing – masing dan para pihak dapat diwakili oleh kuasanya yang dikuasakan dengan kuasa khusus.
Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, pemohon harus menyampaikan surat gugatannya kepada arbiter atau majelis arbitrase. Surat gugatan tersebut harus memuat sekurang–kurangnya :
v  Nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak ;
v  Uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti – bukti ; dalam hal ini salinan perjanjian arbitrase harus juga diajukan sebagai lampiran ;
v  Isi gugatan yang jelas. Apabila isi gugatan berupa uang, harus disebutkan jumlahnya yang pasti.
Setelah menerima surat gugatan dari pemohon, arbiter atau majelis arbitrase menyampaikan satu salinan gugatan tersebut kepada termohon dengan disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawabannya secara tertulis dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan gugatan tersebut oleh termohon.
Apabila setelah 14 (empat belas) hari, termohon tidak menyampaikan jawabannya, maka termohon akan dipanggil untuk menghadap dimuka sidang arbitrase selambat–lambatnya 14 (empat belas) hari sejak dikeluarkannya perintah itu. Kepada termohon akan diperintahkan untuk menyerahkan salinan jawaban kepada pemohon, arbiter atau majelis arbitrase memerintahkan agar para pihak atau kuasa mereka menghadap dimuka sidang arbitrase selambat – lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak dikeluarkannya perintah itu.
Apabila selambat – lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan dilakukan, termohon masih juga tidak datang kemuka persidangan tanpa alasan yang sah, maka pemeriksaan akan diteruskan tanpa kehadiran termohon dan gugatan pemohon dikabulkan seluruhnya kecuali apabila gugatan tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum.
Apabila para pihak datang menghadap pada hari sidang yang telah ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase akan mengusahakan perdamaian dan apabila usaha perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase akan membuat akta perdamaian. akta perdamaian yang dikeluarkan oleh arbiter atau majelis arbitrase, bersifat final dan mengikat para pihak. Sebaliknya apabilla usaha perdamaian yang dilakukan arbiter atau majelis arbitrase tidak berhasil, maka pemeriksaan terhadap pokok sengketa akan dilanjutkan.
Kepada para pihak akan diberi kesempatan terakhir untuk menjelaskan secara tertulis pendirian masing–masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka wakyu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Arbiter atau arbitrase juga berhak untuk meminta kepada para pihak guna mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Selama pemeriksaan sengketa, pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsure kepentingan yang terkait dan keturutsertaanya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan. Selama pemeriksaan sengketa atas permohonan satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil putusan provisional atau putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa tersebut :
  • Penetapan sita jaminan;
  • Memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga;
  • Menjual barang yang mudah rusak.
Pemeriksaan atau sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 ( seratus delapan puluh ) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk, namun dengan persetujuan para pihak dan apabila diperlukan, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang,

BIAYA ARBITRASE
Pasal 76 dan Pasal 77 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 telah mengatur ketentuan biaya arbitrase yang ditentukan oleh arbiter dan pihak yang membayar biaya arbitrase tersebut. Dikatakan bahwa arbiter bertugas menentukan biaya arbitrase yang meliputi biaya–biaya sebagai berikut :
  • honorarium arbiter;
  • biaya perjalanan dan biaya lainnya yang dikeluarkan oleh arbiter ;
  • biaya saksi dan / atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan sengketa;
  • biaya administrasi.
Beban biaya arbitrase dipikul pihak yang kalah, kecuali dalam hal tuntutan hanya dikabulkan sebagian, maka beban biaya arbitrase dipikul kepada para pihak secara berimbang.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ARBITRASE
  • KELEBIHAN ARBITRASE
Badan arbitrase komersial Internasional ini sekarang menjadi cara penyelesaian sengketa bisnis yang paling disukai. Alasan–alasan para pengusaha menyukai badan ini daripada pengadilan nasional bermacam – macam. Yakni :
§  umumnya pengadilan nasional kurang mendapat kepercayaan dari masyarakat penguasa (bisnis), sedangkan arbitrase komersial internasional merupakan pengadilan pengusaha yang eksis untuk menyelesaikan sengketa–sengketa di antara mereka (kalangan bisnis) dan sesuai kebutuhan mereka.
§  Banyak pengadilan negara tidak mempunyai hakim–hakim yang berkompeten atau yang berspesialisasi hukum komersial internasional, sehingga karena keadaan ini pula mengapa para pihak lebih suka cara arbitrase.
§  Berperkara melalui arbitrase lebih murah. Sebagai contoh, biaya administratif (untuk pendaftaran) yang di dalam kerangka arbitrase ICSID adalah US$ 100. Biaya untuk arbitrator adalah US$ 650 per hari plus biaya – biaya perjalanan dan biaya hidup lainnya.
§  Berperkara melalui badan arbitrase tidak begitu formal dan lebih fleksibel. Hakim, dalam hal ini arbitratornya, tidak perlu terikat dengan aturan – aturan proses berperkara seperti halnya yang terjadi pada pengadilan nasional.
§  Karena sifat fleksibilitas dan tidak adanya acara formil–formilan ini nantinya berpengaruh pula pada para pihak yang bersengketa. Yakni, mereka menjadi tidak terlalu bersitegang di dalam proses penyelesaian perkara.
§  Melalui badan arbitrase, para pihak yang bersengketa diberi kesempatan untuk memilih hakim (arbitrator) yang mereka anggap dapat memenuhi harapan mereka baik dari segi keahlian atau pengetahuannya pada sesuatu bidang tertentu.
§  Faktor kerahasiaan proses berperkara dan keputusan yang dikeluarkan merupakan alasan utama mengapa badan arbitrase ini menjadi primadona para pengusaha.
§  Tidak adanya pilihan hukum yang kaku dan tidak ditentukan sebelumnya.
§  Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini tidak harus melulu diselesaikan menurut proses hukum (tertentu saja), tetapi juga dimungkinkan suatu penyelesaian secara kompromi di antara para pihak.
  • KEKURANGAN ARBITRASE
Meskipun arbitrase menyandang berbagai keuntungan seperti telah dikemukakan di atas, namun di dalam prakteknya pun ternyata arbitrase memiliki kelemahan–kelemahan yakni :
§   Untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan untuk membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah. Kedua pihak harus sepakat. Padahal untuk dapat mencapai kesepakatan atau persetujuan itu kadang-kadang memang sulit.
§   Pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing. Dewasa ini, di banyak negara masalah tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing ini masih menjadi soal yang sulit.
§   Dalam arbitrase tidak dikenal adanya preseden hukum atau keterikatan kepada putusan – putusan arbitrase sebelumnya. Jadi, setiap sengketa yang telah diputus dibuang begitu saja, meski di dalam putusan tersebut mengandung argumentasi-argumentasi hukum para ahli – ahli hukum kenamaaan.
§   Arbitrase ternyata tidak mampu memberikan jawaban yang definitif terhadap semua sengketa hukum. Hal ini berkaitan erat dengan adanya konsep yang berbeda dengan yang ada di setiap negara. Bagaimanapun juga keputusan arbitrase selalu bergantung kepada bagaimana arbitrator mengeluarkan keputusan yang memuaskan keinginan para pihak.
§   Menurut Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, SH.,LLM ternyata arbitrase pun dapat berlangsung lama dan karenanya membawa akibat biaya yang tinggi, terutama dalam hal arbitrase luar negeri.
ARBITRASE INTERNASIONAL
Adalah Arbitrase lembaga maupun arbitrase ad-hoc yang melibatkan pihak dari 2 (dua) negara yang berbeda. Jika Arbitrase Internasional tersebut merupakan suatu arbitrase lembaga, maka terdapat banyak arbitrase lembaga seperti itu di dunia ini, yakni arbitrase yang mengkhususkan diri untuk masalah-masalah Internasional. Seperti:
ü  International Chamber of Commerse (ICC)
ü  The International Centre for Settlement of Investment Diputes (ICSID)
ü  London Court of International Dispute (LCID)
ü  Singapore International Arbitration Centre (SIAC)
EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE
  1. EKSEKUSI SECARA SUKARELA
            Adalah: eksekusi yang tidak memerlukan campur tangan dari pihak ketua Pengadilan Negeri manapun, tetapi para pihak melaksanakan sendiri secara sukarela terhadap apa-apa yang telah diputuskan oleh arbitrase yg bersangkutan.

  1. EKSEKUSI SECARA PAKSA
            Adalah: Bilamana pihak yang harus melakukan eksekusi, tetapi secara sukarela tidak mau melaksanakan isi putusan tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan upaya-upaya paksa. Dalam hal ini campur tangan pihak pengadilan diperlukan, yaitu dengan memaksa para pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan tersebut.
Namun, Pengadilan yang berwenang dapat menolak suatu permohonan pelaksanaan putusan arbitrase, jika:
ü  Arbitrase memutus melebihi kewenangan yang diberikan kepadanya
ü  Putusan arbitrase bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum
ü  Keputusan tidak mengenai perdagangan (perniagaan, perbankan, penanaman modal, industri, dan Hak Atas Kekayaan Intelektual)
Bahwa putusan arbitrase internasional/asing dapat di eksekusi di Indonesia, karena Indonesia telah mengakui dan tunduk kepada the New York Convention, yg memang mewajibkan negara anggotanya untuk memberlakukan ketentuan yang mengakui putusan arbitrase asing/Internasional. Yang berwenang melakukan eksekusi putusan arbitrase internasional/asing adalah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
D.    PEMBUKTIAN SECARA PERDATA
1.      Pembuktian
Masuk kedalam pembahasan pembuktian, sebelumnya harus diketahui bagaimana dan apa yang perlu dibuktikan atau objek dari pembuktian tersebut, didalam pembahasan kali ini, pembuktian dikhususkan pada ranah Hukum Acara Perdata yang dimana ada kaitannya dengan tugas hakim dalam mengkonstatirkan peristiwa atau fakta yang diajukan para pihak. Kebenaran yang  diperoleh dari pembuktian berhubungan langsung dengan keputusan yang adil oleh hakim. Ada hal atau peristiwa yang dikecualikan atau tidak perlu diketahui oleh hakim, diantaranya :
  • Peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui oleh atau tidak mungkin diketahui oleh hakim.
  • Hakim secara ex officio dianggap mengenall peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut.
  • Pengetahuan tentang pengalaman.

Seperti yang dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.
Terdapat juga hal yang perlu dibuktikan diluar yang telah dikecualikan diatas, Membuktikan dalam pembahasan hukum acara dikenal mempunyai arti yuridis. Seperti yang diuraikan Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia, membuktikan berarti memberi dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Lebih lanjut Sudikno menjelaskan tujuan pembuktian. Bila dalam tujuan pembuktian ilmiah adalah semata-mata untuk mengambil kesimpulan, tujuan pembuktian yuridis adalah untuk mengambil keputusan yang bersifat definitive, yakni keputusan yang pasti, dan tidak meragukan serta mempunyai keputusan hukum. Putusan pengadilan harus objektif sehingga tidak ada pihak yang merasakan terlalu rendah kadar keadilannya dari pihak lainnya.  
Lebih dalam mengenai Hukum Pembuktian Positif, dalam acara perdata diatur dalam HIR dan Rbg, serta dalam BW buku IV. Yang terantum dalam HIR dan Rbg adalah hokum pembuktian yang materiil maupun formil.
Mengenai apa dan siapa yang dibuktikan dan membuktikan maka yang harus dibuktikan adalah peristiwanya, hakim dalam proses perdata haruslah menemukan peristiwanya atau hubungan hukumnya kemudian menerapkan hokum terhadap peristiwa yang tersebut, kaitan antara peristiwa dan hukum yang ada tersebut.
Dari peristiwa tersebut yang harus dibuktikan adalah kebenarannya dimana kebenaran itu haruslah kebenaran formil, yang artinya hakim tidak boleh melampaui batas yang diajukan oleh yang berperkara, maka hakim tidak melihat kepada bobot atau isi, akan tetapi kepada luas daripada pemeriksaan oleh hakim. 
Pasal 178 ayat 3 HIR (Ps. 189 ayat 3 Rbg.50 ayat 3 Rv) melarang hakim untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut, atau akan meluluskan lebih dari yang dituntut. Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang wajib membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah yang berkepentingan didalam perkara atau sengketa, berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan atau ditolak.
Sesuai pasal 283 HIR “Barang siapa beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak orang lain, harus membuktikan hak atau keadaan itu (KUH Perdata 1865 ; HIR. 163).
Selanjutnya mengenai beban pembuktian, kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat yang wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedang tergugat berkewajiban membuktikan kebenaran bantahannya. Dalam hal ini ada beberapa teori tentang beban pembuktian yang dapat merupakan pedoman bagi hakim.
  • Teori Pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)
Teori ini mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau menyangkalnya. Dasar hokum teori ini adalah pendapat bahwa hal hal yang negative tidak mungkin dibuktikan (negativa opn sunt probanda).
  • Teori Hukum Subjektif
Teori ini menggambarkan suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hokum subjektif atau bertujuan memepertahankan hokum subjektif, dan siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikannya.
Teori ini berdasarkan pada pasal 1865 BW “Pasal 1865 Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
  • Teori Hukum Objektif
Teori ini mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hokum objektif terhadap peristiwa yang diajukan.
  • Teori Hukum Publik
Menurut teori ini mencari kebenaran suatu peristiwa didalam peradilan merupakan kepentingan publik.
  • Teori Hukum Acara
Asas audi et alteram atau juga asas kedudukan proseusuil yang sama daripada para pihak di muka hakim yang merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.

Selanjutnya mengenai alat pembuktian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1866, Alat pembuktian meliputi : bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah. Pembahasan mengenai macam alat bukti akan dibahas di poin kedua ditambah pemeriksaan setempat dan saksi ahli.
2.      Alat Bukti
Pada bagian ini akan dibicirakan mengenai alat bukti, yang meliputi pengertian jenis dan perkembangannya.
  • Pengertian Alat Bukti dan Perkembangannya.
Alat bukti ( bewijsmiddel ) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya, yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan keterangan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.
Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan sesuai fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan jenis atau alat bukti tertentu. Hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia saat ini adalah masih berpegang pada jenis alat bukti tertentu saja.
Para pihak yang terkait dalam persidangan (hakim-tergugat-penggugat) tidak bebas menerima-mengajukan alat bukti dalam proses penyelesaian perkara. Undang-undang telah menentukannya secara enumerative apa saja yang sah dan bernilai sebagai alat bukti, dengan kata lain hukum pembuktian yang berlaku disini masih bersifat tertutup dan terbatas.
Namun di beberapa Negara seperti Belanda, telah terjadi perpindahan pola pembuktian yang sekarang telah berubah menjadi hukum pembuktian kea rah system terbuka. Dalam hukum pembuktian di pengadilan tidak lagi ditentukan secara enumerative lagi. Kebenaran tidak saja dapat diperoleh melalui bukti-bukti tertentu  saja melainkan dapat pula diperoleh dari alat bukti apapun asal dapat diterima secara hukum kebenarannya dan tidak mertentangan denga kepentingan umum. Artinya alat bukti yang sah dan dibenarkan sebagai alat bukti tidak disebutkan satu persatu.
Namun demikian, oleh karena sampai sekarang hukum pembuktian di Indonesia ini belum mengalami pembaharuan seperti yang terjadi di beberapa Negara lainnya, para pihak yang berperkara maupun hakim masih berpegang pada system lama karena sampai sekarang pengadilan belum berani melakukan terobosan menerima alat bukti baru, diluar  yang disebutkan Undang-Undang.
  • Macam-macam Alat Bukti
Menurut Sistem HIR, dalam hukum acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang artinya hakim hanya boleh memutuskan perkara melalui alat bukti yang telah ditentukan sebelumnya oleh undang-undang. Alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang adalah : alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah (ps. 164 HIR, ps. 1866 KUH Perdata).
a.      Alat bukti tertulis
Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam alat bukti tertulis diantaranya sebagai berikut.
Pertama  adalah surat ialah sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat sebagai akta dan bukan akta, sedangkan akta sendiri lebih lanjut  dibagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.
Kedua adalah akta ialah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.  Jadi untuk dapat dibuktikan menjadi akta sebuah surat haruslah ditandatangani.
·         Akta otentik ialah ‘akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat’ (ps. 1868 KUH Perdata). Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum.  Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap - tidak berwenang atau bentuknya cacat maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata : akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik; namun akta yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta dibawah tangan.
·         Akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan. Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang mana menurut pasal diatas, akata dibawah tangan ialah :
·      Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan,
·      Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang.
·      Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh paling sedikit dua pihak.
·         Akta pengakuan sepihak ialah akta yang bukan termasuk dalam akta dibawah tangan yang bersifat partai , tetapi merupakan surat pengakuan sepihak dari tergugat. Oleh karena bentuknya adalah akta pengakuan sepihak maka penilaian dan penerapannya tunduk pada ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata. Dengan demikian harus memenuhi syarat :
·         Seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si penandatangan;
·         Atau paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang disebut didalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.
Selanjutnya  ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya melengkapi namun membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti aslinya, diantaranya adalah alat bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat bukti fotokopi. Namun kembali ditegaskan kesemuanya alat bukti pelengkap tersebut membutuhkan penunjukan barang aslinya.

b.      Alat bukti kesaksian
Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.
Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.
c.       Alat bukti persangkaan
“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”, pasal 1915 KUH Perdata. Kata lain dari persangkaan adalah vermoedem yang berarti dugaan atau presumptive.

d.      Alat bukti pengakuan
Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan KUH Perdata pasal 1923-1928. Pengakuan merupakan sebuah keterangan sepihak, karenanya tidak diperlukan persetujuan dari pihak lawan.
Pengakuan merupakan pernyataan yang tegas, karena pengakuan secara diam-diam tidaklah member kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa, pada hal alat bukti dimaksudkan untuk memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa.
e.       Alat bukti sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.
f.       Pemeriksaan setempat
Salah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum pembuktian adalah pemeriksaan setempat, namun secara formil ia tidak termasuk alat bukti dalam Pasal 1866 KUH Perdata. Sumber formil dari pemeriksaan setempat ini adalah ada pada pasal 153 HIR yang diantaranya memiliki maksud sebagai berikut :
·         Proses pemeriksaan persidangan yang semestinya dilakukan diruang sidang dapat dipindahkan ke tempat objek yang diperkarakan.
·         Persidangan ditempat seperti itu bertujuan untuk melihat keadaan objek tersebut ditempat barang itu terletak.
·         Dan yang melakukannya adalah dapat seorang atau dua orang  anggota Majelis yang bersangkutan dibantu oleh seorang panitera.
g.      Saksi ahli/Pendapat ahli
Agar maksud pemeriksaan ahli tidak menyimpang dari yang semestinya, perlu dipahami dengan tepat arti dari kata ahli tersebut yang dikaitkan dengan perkara yang bersangkutan. Secara umum pengertian ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan khusus dibidang tertentu. Raymond Emson menyebut, “specialized are as of  knowledge”.
Jadi menurut hukum seseorang baru ahli apabila dia :
·         Memiliki pengetahuan khusus atau spesialisasi
·         Spesialisasi tersebut dapat berupa skill ataupun pengalaman
·         Sedemikian rupa spesialisasinya menyebabkan ia mampu membantu menemukan fakta melebihi kemampuan umum orang biasa (ordinary people).
Dari pengertian diatas tidak  semua orang dapat diangkat sebagai ahli. Apalagi jika dikaitkan dengan perkara yang sedang diperiksa, spesialisasinya mesti sesuai dengan bidang yang disengketakan.
E.     KASUS MESUJI
KRONOLIGIS KASUS SENGKETA TANAH MESUJI

 Latar belakang 

Sengketa lahan sampai saat ini masih tetap menjadi fenomena global termasuk tentunya di Indonesia.Sengketa lahan di Indonesia secara umum dapat dilihat dari beberapa pendekatan yang terjadi di lapangan yaitu warga,BPN,perusahaan swasta. Adapun persoalan sengketa lahan lebih dipicu oleh perebutan tanah dan rendahnya kesadaran warga sekitar lokasi tersebut. Secara konseptual maupun praktis pemahaman tentang sengketa lahan jika dicermati seringkali terjadi kesalahan. Pada tataran konseptual, paradigma,pendekatan, dan metodologi yang digunakan selama ini masih berpijak pada out comes indicators, sehingga kurang memperhatikan aspek serta sebab-sebab yang mempengaruhinya. Masyarakat di lihat hanya sebagai korban pasif dan objek penelitian, dan bukannya sebagai manusia yang memiliki “sesuatu“ yang dapat digunakan, baik dalam mengidentifikasi kondisi kehidupannya maupun usaha-usaha perbaikan yang dilakukan oleh mereka sendiri.Pada tataran praktis, kebijakan dan program pengentasan sengketa lahan belum sepenuhnya menyentuh akar penyebab sengketa tersebut. Akibatnya, program-program tersebut tidak mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat, sehingga sulit mewujudkan aspek keberlanjutan dari program penanggulangan lahan tersebut. Untuk itu perlu dilakukan koreksi secara mendasar beberapa hal yang menjadi landasan pengambilan kebijakan pada masa lalu, antara lain : masih bersifat parsial, berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro, kebijakan yang terpusat, lebih bersifat karikatif, bernuansa jangka pendek dan tidak struktural,serta memposisikan masyarakat sebagai objek Untuk itu diperlukan tindakan kebijakan atau program untuk mengatasi akar persoalan. Pembangunan yang berbasiskan pemberdayaan merupakan pilihan utama untuk mengatasi persoalan dasar termasuk masalah sengketa lahan. Program yang berbasiskan pemberdayaan masyarakat harus dilaksanakan secara multi sektoral, khusus di bidang pertanahan reforma agraria merupakan salah satu wujud dari kebijakan tersebut. Reforma agraria melakukan proses pengentasan ini dengan mengupayakan rakyat memiliki aset berupa tanah yang dapat dikelola dan di miliki serta mempunyai akses untuk memberdayakan asetnya. Rakyat dalam hal ini khususnya petani harus mempunyai tanah dan mempunyai akses pada modal, teknologi, pasar, manajemen dan seterusnya. Selain itu, petani juga harus mempunyai alat-alat produksi, kapasitas dan kemampuan. Itu semua dapat terwujud bila dilaksanakan reforma agraria,yang secara garis besar didefinisikan sebagai land reform dengan salah satu programnya redistribusi tanah(pembagian tanah). Mungkin yang di alami Desa Seri Tanjung di Provinsi Lampung, serta di Desa Sodong di Provinsi Sumatera Selatan lebih akrab di panggil Mesuji.kali ini tidak jauh beda dimana ada suatu kegagalan dalam reforma argaria yang terjadi di Mesuji yang menjadi perbincangan hangat di masyarakat indonesia dan BPN sendiri yang menyangkut sengketa lahan warga dan perusahaan.

Rumusan masalah 
Dari latar belakang di atas tentunya akan timbul berbagai macam pertanyaan. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

Apa penyebab terjadinya peristiwa Mesuji?
bagaimana tanggapan BPN terhadap kasus Mesuji?
Bagaimana tragedi Mesuji dalam pandangan HAM?
Bagaimana penyelesaian kasus Mesuji?
Bagaimana menuju reforma agraria pada kasus Mesuji?

Permasalahan

Reforma agrarian
Dalam pengertian terbatas, reforma agraria dipandang sebagai land reform, dengan salah satu programnya yaitu redistribusi tanah (pembagian tanah),hal inilah yang menyebabkan mengapa agrarian reform dan land reform sering kali dianggap identik. Berbagai pihak dengan sudut pandang yang sangat beragam memberikan pengertian yang berbeda-beda mengenai reforma agraria. Menurut Wiradi (2001), reforma agraria adalah penataan ulang struktur pemilikan dan penguasaan tanah beserta seluruh paket penunjang secara lengkap.Paket penunjang tersebut adalah adanya jaminan hukum atas hak yang diberikan,tersedianya kredit yang terjangkau, adanya akses terhadap jasa-jasa advokasi,akses terhadap informasi baru dan teknologi, pendidikan dan latihan, dan adanya akses terhadap bermacam sarana produksi dan bantuan pemasaran.Setiawan (2001), memandang bahwa inti dari reformasi agraria adalah land reform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah yang harus diikuti dengan dukungan modal produksi di tahap awal, perbaikan di dalam distribusi barang-barang yang diperlukan sebagai input pertanian, perbaikan didalam sistem pemasaran dan perdagangan hasil pertanian, penyuluhan pertanian yang diperlukan untuk membantu para petani memecahkan masalah teknis yang dihadapinya dan program penunjang lainnya.Senada dengan pengertian tersebut di atas,
Penyebab peristiwa Mesuji
Peristiwa di Desa Sungai Sodong dipicu oleh konflik tanah. Dimana pada tahun 1997 terjadi perjanjian kerjasama antara PT SWA dengan warga, terkait dengan 564 bidang tanah seluas 1070 ha milik warga untuk diplasmakan. Perjanjian tersebut untuk masa waktu 10 tahun, setelah itu akan dikembalikan lagi kepada warga. Selama kurun waktu 10 tahun, setiap tahunnya warga juga dijanjikan akan mendapat kompensasi. Namun hingga saat ini perusahaan ternyata tidak memenuhi perjanjian tersebut. Akhirnya pada bulan april 2011 masyarakat Sungai Sodong mengambil kembali tanah tersebut melalui pendudukan.Tidak juga mengembalikan tanah tersebut, perusahaan malah menuduh pendudukan tanah warga tersebut sebagai gangguan.

Tanggapan BPN terhadap kasus Mesuji
Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak tegas dan tidak prorakyat dalam menyelesaikan sengketa lahan sawit milik warga yang diklaim PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) Mesuji Lampung. Konflik yang terjadi karena tuntutan warga tidak dapat dipenuhi pihak PT BSMI.

“Warga menuntut 7.000 hektare lahannya lepas dari PT BSMI, tapi BPN tidak menetapkannya. Maka, terjadilah konflik,” kata Dasrul Djabar, salah seorang anggota Komisi III DPR RI, dalam rapat di Mapolda Lampung. Rapat membahas kasus Mesuji Lampung ini digelar bersama Pemerintah Provinsi dan Polda Lampung. Menurut Dasrul, ketidaktegasan BPN sangat dipertanyakan semua pihak untuk menyelesaikan sengketa lahan warga yang terjadi sudah sejak lama. Hal ini terbukti, BPN menyatakan tidak sanggup untuk melakukan pengukuran ulang lahan yang diklaim PT BSMI dan lahan warga.

Tragedi Mesuji dalam pandangan HAM
Menurut beberapa kalangan di dalam kasus sengketa lahan perhutanan di Mesuji ini terdapat banyak sekali pelanggaran HAM. Selain dalam peristiwa pembantaian, di dalam kehidupan masyarakat sehari-harinya pun banyak hak mereka yang terampas. Peristiwa itu telah memakan korban jiwa, yang secara otomatis melanggar hak asasi manusia yang tercantum dalam UUD ’45 pasal 28A. Selain itu, penyerobotan lahan warga yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan, juga telah merenggut hak warga untuk hidup tenang dan bertempat tinggal. Karena penyerobotan lahan itu, warga kini harus mengungsi di tenda-tenda pengungsian yang jauh dari standar kelayakan hidup manusia.
Perusahaan-perusahaan yang menjadi sorotan berbagai pihak, disinyalir telah melakukan berbagai pelanggaran HAM. Menurut kalangan yang tertentu, mereka menyewa dan melatih orang-orang dan membentuknya menjadi sebuah tim khusus (PAM Swakarsa), pasukan untuk membela kepentingan mereka. Pasukan bentukan mereka tidak segan-segan menganiaya warga yang dinilai macam-macam kepada perusahan. Tentu saja ini sangat meresahkan warga, karena jika warga melawan dan memberikan respon atas tindak-tanduk perusahaan yang merugikan warga keselamatan mereka terancam. Bahkan ada isu kuat bahwa aparat juga terlibat dan membacking perusahaah. Hal ini sangat disayangkan, mengingat aparat seharusnya membela kepentingan warga. Sementara perusahaan sendiri mengklaim bahwa mereka tidak membentuk PAM Swakarsa, apalagi meminta bantuan Brimob.

Penyelesaian kasus Mesuji
Sejak dilaporkannya kasus Mesuji ke DPR, ada beberapa tindakan yang sudah dilakukan oleh pemerintah. Dengan instruksi dari Presiden, Menko Polhukam Djoko Suyanto dan Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Mesuji yang diketuai oleh Denny Indrayana yang merupakan wakil Menkum HAM. Tim tersebut akhirnya berhasil mengantongi beberapa fakta baru mengenai peristiwa Mesuji, hasil dari investigasinya ke lokasi kejadian. Ada beberapa keterangan yang disampaikan TGPF ke media, yaitu:
  1. TGPF menyimpulkan bahwa video yang menggambarkan peristiwa Mesuji itu bukanlah rekayasa. Hal ini dikuatkan dengan bukti hasil investigasi mereka, yang ternyata ada kesamaan tempat antara tempat-tempat di video dengan tempat di lokasi kejadian. Namun ada pula beberapa tempat yang tidak ditemukan di Sodong. Bahkan masyarakat sekitar sendiri banyak yang tidak mengenali tempat terjadinya peristiwa sadis tersebut.
  2. Pada tanggal 30 Desember 2011, TGPF memanggil perwakilan dari tiga perusahaan yang ada di tempat kejadian, di kecamatan Mesuji. Tiga perusahaan itu adalah PT. Silva Inhutani, PT Sumber Wangi Alam, dan PT. Barat Selatan Makmur Investindo.
  3. Pada hari yang sama, setelah melakukan pertemuan dengan pihak perusahaan, TGPF segera mendiskusikan hasilnya dengan pihak pembuat kebijakan, diantaranya Badan Pertanahan Nasional, Kehutanan, dan Kepolisian.



Selain itu, investigasi lain juga dilakukan oleh komisi hukum DPR dipimpin oleh wakil Komisi III, Aziz Syamsuddin. Investigasi tidak hanya dilakukan di Mesuji dan Sodong, namun juga daerah-daerah lain yang juga memiliki konflik pertanahan. Fokus penyelidikan mereka adalah mengenai masalah HTI (Hutan Tanaman Industri), karena ternyata banyak HTI areal kehutanan yang diberi ijin oleh perhutanan, tapi tidak digunakan untuk tanaman hutan, tapi tanaman sawit dan singkong, yang jelas-jelas hal tersebut menyalahi aturan. Sedangkan di Mesuji dan Sodong sendiri masalah utamanya adalah mengenai lahan plasma yang tidak diberikan oleh perusahaan kepada masyarakat yang tidak sesuai dengan yang diperuntukkan, yaitu 7000 hektar.
Aslinya banyak pihak yang mendesak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan reformasi agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Direktur Program Imparsial, Al Araf menilai pembaharuan dan reformasi agraria bisa menjadi jalan keluar konflik kekerasan di dalam sektor agraria tersebut. Menurut Al Araf di dalam detikcom, konflik dan kekerasan dalam sektor agraria seperti di Mesuji dan Bima akan terus berlangsung sepanjang pembaharuan agraria dan reformasi agraria yang menjadi mandat TAP MPR No 9 tahun 2001 tidak dijalankan pemerintah. Dewan Perwakilan Daerah juga mendesak pemerintah agar menata kembali kebijakan reformasi agraria. Ketua DPD Irman Gusman di dalam Kompas.com mengatakan kebijakan tersebut harus berpihak kepada petani dan kelompok tani harus diterapkan secara sistematis. Irman mengungkapkan, pada masa Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I, sebenarnya telah dirancang program land reform yang meliputi lahan seluas 1,8 juta hektar.

Menuju reforma argaria
Pemerintah segera melakukan audit menyeluruh kebijakan pemberian konse si dan konsekuensinya pada ketersediaan tanah pertanian dan permukiman untuk rakyat miskin perdesaan. Prinsipnya, badan-badan pemerintahan berkewajiban melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak warga negaranya termasuk di dalamnya hak atas tanah, hak atas hidup yang layak, sebagai bagian dari hak ekonomi,sosial, dan budaya. Pemenuhan hak-hak tersebut secara progresif merupakan kewajiban negara, dan sebaliknya,membiarkan terjadinya perampasan-perampasan tanah oleh perusahaan-perusahaan raksasa merupakan suatu bentuk pelanggaran hak asasi manusia by omission, yang terjadi karena negara abai pada upaya melindungi warganya dari pelanggaran HAM yang dilakukan perampasan tanah.

Sementara itu, penggunaan kekerasan oleh aparat Negara kepada korban jelas merupakan pelanggaran HAM yang langsung, by commission. Menggunakan perspektif keadilan transisional (transitional justice) untuk penyelesaian konflik agrarian semacam kasus Mesuji akan memungkinkan kita memahami konfl ik agraria ini sebagai suatu tanda dari krisis agraria yang meluas. Pemerintah mestinya secara sungguh- sungguh bisa memahami kecenderungan konsentrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta kekayaan alam itu pada perusahaan-perusahaan raksasa.
Di lain pihak, memperhatikan perhitungan mengenai kebutuhan akan tanah untuk permukiman dan usaha pertanian rakyat miskin perdesaan. Pemerintah seharusnya mempunyai gambaran mengenai ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta kekayaan alam di seluruh wilayah kabupaten dan provinsi. Hanya dengan gambaran itulah pemerintah bisa merancang program reforma agraria yang menyeluruh. Inpres tentang Reforma Agraria sebagaimana diusulkan TGPF seharusnya diefektifkan untuk menyiapkan gambaran dan desain itu.
Kesimpulan

Dari berbagai kondisi yang telah diuraikan maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu :

1. Dukungan reforma agraria terhadap kasus Mesuji merupakan keberhasilan pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan sangat diperlukan sehingga modal penting kepemilikan ( property right ) terhadap aset/tanah yang dimiliki oleh masyarakat akan dapat dimanfaatkan sebagai modal suatu usaha perekonomian melalui pemberian berbagai akses produksi dan ekonomi.

2. Untuk menjaga dan mengawal program pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan dalam kasus mesuji secara berkelanjutan diperlukan pola kemitraan yang saling menguntungkan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah,swasta, perbankan dan dunia usaha.

Saran

Saran kami hendaknya dilakukan melalui pengkajian yang matang dan terencana dengan jelas dalam masalah ini, dengan dasar hukum, peraturan dan petunjuk pelaksanaan yang juga jelas, serta dibarengi dengan perbaikan-perbaikan dan jika perlu melalui perubahan yang menyeluruh terhadap UUPA. Jika tidak, reformasi agraria kali ini, akan kembali berada dalam bayang-bayang konflik pertanahan atau bahkan akan menjadi pintu munculnya konflik-konflik pertanahan baru yang dimana pemberdayaan masyarakat tentang pertanahan tidak akan berjalan dengan baik sesuai harapan untuk kesejahteraan rakyat dan pemberdayaan masyarakat tentang pertanahan.























Daftar Pustaka

Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan  Alternatif Penyelesaian  Sengketa
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum


































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. jangan lupa klik suka ya