BAB II
PEMBAHASAN
STANDAR
AKUNTANSI YANG BERLAKU: PSAK 30 DAN ISAK 8
Sejarah Leasing Di Indonesia
Leasing
dalam bahasa indonesia diterjemahkan menjadi sewa guna usaha, mulai dikenal
untuk pertama kalinya di Indonesia pada tahun 1974 dengan dikeluarkannya Surat
Keputusan Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian No.
Kep-122/MK/2/1974, No. 32/M/2/1974 dan No. 30/Kpb/174 tanggal 7 Februari 1974
tentang “Perizinan Usaha Leasing”.
Sejak saat itu khususnya sejak tahun 1980 jumlah perusahaan sewa guna usaha dan
transaksi sewa guna usaha makin bertambah dan meningkat dari tahun ke tahun
untuk membiayai penyediaan barang-barang modal alam dunia usaha.
Hadirnya
perusahaan sewa guna usaha patungan (joint
venture) bersama perusahaan swasta nasional telah mampu mempopulerkan
peranan kegiatan sewa guna usaha sebagai alternatif pembiayaan barang modal yang
sangat dibutuhkan para pengusaha di Indonesia, di samping cara-cara pembayaran
kemanusiaan yang lazim dilakukan melalui perbankan
Pengertian Sewa
(Leasing)
Dalam
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 30 paragrap 4, mendefinisikan sewa sebagai
suatu perjanjian dimana lessormemberikan hak kepada lesseeuntuk menggunakan suatu aset selama periode waktu yang disepakati.
Sebagai imbalannya, lesseemelakukan pembayaran atau serangkaian
pembayaran kepada lessor.
Penyewa Guna Usaha (lessee) adalah perusahaan atau perorangan yang
menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari pihak Perusahaan Sewa Guna
Usaha (lessor). Di IFRS,
leasing diatur dalam IAS 17 mengenai Leases.
Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan
Nomor Kep. 122/MK/TV/74, Nomor 32/M/SK/2174, Nomor 30/Kpb/I/74 tanggal 7
Januari 1974, pengertian leasing adalah setiap kegiatan
pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk
digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan
pembayaran-pembayaran berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan
tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang
jangka waktu leasing berdasarkan
nilai sisa yang telah disepakati bersama.
Dalam kegiatan leasing ada dua pihak yang terkait
langsung :
1. Lessor/Yang Menyewakan yaitupihak yang menjadi pemilik aset yg mengizinkan pihak lain menggunakan barang
tersebut dengan pembayaran pada jangka waktu tertentu.
2. Lessee/Penyewayaitupihak yang mendapatkan hak untuk menggunakan aset
dengan pembayaran dalam jangka waktu tertentu.
ISAK
8 tentang ”PENENTUAN APAKAH SUATU PERJANJIAN MENGANDUNG SEWA”
Dalam
menentukan apakah suatu perjanjian mengandung suatu sewa atau tidak, kita harus
menggunakan panduan ISAK 8: “Penentuan
Apakah Suatu Perjanjian Mengandung Suatu Sewa” yang mengadopsi IFRIC 4
“Determining Whether an Arrangement Containts a Leases”. Suatu entitas dapat
melakukan suatu perjanjian, yang terdiri dari satu atau serangkaian transaksi
terkait, dimana bentuk legal perjanjian tersebut bukan sewa tetapi perjanjian
itu memberikan hak kepada pihak lain untuk menggunakan suatu aset, (contohnya suatu
jenis asset tetap), dengan imbalan suatu atau serangkaian pembayaran. Contoh
perjanjian dimana suatu entitas (pemasok) memberikan hak kepada entitas lain
(pembeli) untuk menggunakan asset tersebut, seringkali bersama dengan pemberian
jasa terkait, adalah:
·
Perjanjian pengalih-dayaan (outsourching), contohnya
pengalih-dayaan fungsi pemrosesan data dalam suatu entitas.
·
Perjanjian dalam industri
telekomunikasi, dimana pemasok kapasitas jaringan melakukan kontrak untuk
menyediakan hak atas kapasitas kepada pembeli.
·
Take-or-paydan
kontrak sejenis, dimana pembeli mengambil barang atau jasa yang diperjanjikan
atau tidak (contohnya kontrak take-or-pay
untuk memperoleh secara substansi seluruh keluaran pembangkit listrik yang
disediakan pemasok).
Dalam menentukan apakah
suatu perjanjian merupakan perjanjian sewa atau suatu perjanjian yang
mengandung sewa, perlu diperhatikan substansi perjanjian dan dilakukan
evaluasi, apakah:
a. Pemenuhan
perjanjian bergantung pada penggunaan aset tertentu
Aset
bukan merupakan subjek sewa jika pemenuhan perjanjian tidak sepenuhnya
bergantung pada aset tersebut, walaupun secara eksplisit diidentifikasikan
seperti itu di dalam perjanjian. Sebagai
contoh, jika pemasok berkewajiban untuk menyerahkan barang atau jasa dalam
jumlah tertentu, serta mempunyai hak dan kemampuan untuk menyediakan barang
atau jasa tersebut dengan menggunakan asset lain yang tidak ditentukan dalam
perjanjian; maka pemenuhan perjanjian tidak bergantung pada asset tertentu
sehingga perjanjian tersebut tidak mengandung sewa. Apabila suatu garansi
mengijinkan atau mensyaratkan penggantian asset yang sama atau serupa ketika
asset asset yang disewakan tidak dapat beroperasi dengan baik, hal ini tidak
berarti perlakuan sewa tidak berlaku . Disamping itu, apabila suatu ketentuan
kontrak (baik bersifat kontijen atau lainnya) mengijinkan atau mensyaratkan
pemasok untuk mengganti asset lain dengan alasan apapun pada saat atau setelah
suatu tanggal tertentu, tidak menghalangi perlakuan sewa sebelum tanggal
penggantian.
Suatu
asset ditentukan secara impilisit jika, sebagai contoh, pemasok memiliki atau
menyewakan hanya satu asset untuk memenuhi kewajibannya serta tidak ekonomik
atau praktis bagi pemasok untuk melaksanakan kewajibannya melalui penggunaan
asset lainnya.
b. Perjanjian
memberikan hak untuk menggunakan aset
Suatu
perjanjian dianggap memberikan hak untuk menggunakan aset jika perjanjian
tersebut memberikan hak kepada lessee untuk mengendalikan penggunaan asset
tersebut.Di dalam ISAK 8, dijelaskan kondisi-kondisi yang harus dipenuhi agar
terdapat pengalihan hak untuk menggunakan aset, yaitu:
i.
Lessee mempunyai kemampuan atau hak
untuk mengoperasikan aset atau mengarahkan pihak lain untuk mengoperasikan aset
tersebut sesuai dengan cara ditentukan pembeli dan pada saat yang bersamaan,
pembeli mendapatkan atau mengendalikan keluaran (output) atau kegunaan lainnya
atas aset tersebut, dalam jumlah yang lebih dari tidak signifikan.
ii.
Pembeli mempunyai kemampuan atau hak
untuk mengendalikan akses fisik terhadap aset tersebut dan pada saat yang
bersamaan, pembeli mendapatkan atau mengendalikan keluaran atau kegunaan
lainnya atas aset tersebut, dalam jumlah yang lebih dari tidak signifikan.
iii.
Fakta dan kondisi yang ada menunjukkan
bahwa kecil kemungkinan bagi satu atau lebih pihak lain selain pembeli akan
mengambil keluaran atau kegunaan lainnya dalam jumlah yang lebih dari tidak
signifikan yang akan diproduksi atau dihasilkan oleh aset tersebut selama masa
perjanjian; dan harga yang dibayar pembeli untuk keluaran tersebut bukan harga
yang secara kontraktual tetap untuk setiap unit keluaran ataupun harga yang
sama dengan harga pasar per unit keluaran pada saat penyerahan keluaran
tersebut.
Penilaian tentang
apakah suatu perjanjian mengandung sewa dilakukan pada awal perjanjian, yaitu
tanggal yang lebih awal antara tanggal perjanjian dan tanggal komitmen
pihak-pihak terhadap ketentuan pokok perjanjian, berdasarkan semua fakta dan
kondisi . Penilaian kembali tentang apakah perjanjian hanya akan dilakukan apabila
salah satu dari kondisi-kondisi berikut dipenuhi :
a) Terdapat
perubahan dalam persyaratan perjanjian kontraktual, kecuali jika perubahan
tersebut hanya memperbarui atau memperpanjang perjanjian yang ada.
b) Opsi
pembaruan dilakukan atau perpanjangan disetujui oleh pihak-pihak yang terkait
dengan perjanjian, kecuali ketentuan pembaruan atau perpanjangan pada awalnya
telah termasuk dalam masa sewa. Pembaruan atau perpanjangan perjanjian yang tidak
mencakup modifikasi ketentuan dalam perjanjian awal sebelum akhir masa
perjanjian awal harus dipertimbangkan hanya berkenaan dengan periode pembaruan
atau perpanjangan.
c) Terdapat
perubahan dalam penentuan apakah pemenuhan perjanjian bergantung pada suatu
asset tertentu.
d) Terdapat
perubahan substansial atas asset, misalnya perubahan fisik asset tetap secara
substansial.
Penilaian kembali suatu
perjanjian harus berdasarkan fakta dan keadaan pada tanggal penilaian kembali
tersebut, termasuk sisa masa perjanjian. Perubahan estimasi (sebagai contoh
estimasi jumlah keluaran yang akan dikirimkan kepada lessee atau lessee
potensial lainnya) tidak akan memicu suatu penilaian kembali. Jika perjanjian
dinilai kembali dan ditetapkan mengandung sewa (atau tidak mengandung sewa),
maka akuntansi sewa harus diterapkan (atau dihentikan penerapannya) sejak :
a.
Terjadi perubahan keadaan yang
menimbulkan penilaian kembali
b.
Dimulainya awal periode pembaruan atau
perpanjangan
PSAK
No. 30 tentang Sewa
Di Indonesia, standar akuntansi yang
mengatur mengenai sewa terdapat pada PSAK No. 30 mengenai Sewa.Dalam Paragraf
04 PSAK No. 30 Tahun 2017, Sewa adalah suatu perjanjian yang mana lessor
memberikan kepada lessee hak untuk menggunakan suatu asset selama periode waktu
yang disepakati. Sebagai imbalannya, leesee melakukan pembayaran atau
serangkaian pembayaran kepada lessor.Penyewa guna usaha (Lessee) adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang
modal dengan pembiayaan dari pihak Perusahaan Sewa Guna Usaha (lessor). Di IFRS, leasing diatur
dalam IAS 17 mengenai Leases.
a.
Klasifikasi
Sewa
Di dalam PSAK No. 30 dan IAS 17, leasing
diklasifikasikan ke dalam 2 kategori, yaitu sewa pembiayaan (financial lease)
dan sewa operasi (operating lease). Berikut adalah arti dari kedua klasifikasi
tersebut:
1.
Sewa Pembiayaan
Sewa pembiayaan adalah sewa yang mengalihkan secara
substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan suatu
aset.Hak milik pada akhirnya dapat dialihkan atau dapat juga tidak dialihkan.
2.
Sewa Operasi
Sewa operasi adalah sewa selain sewa pembiayaan,
yaitu jika sewa tidak mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat
yang terkait dengan kepemilikan aset.Klasifikasi sewa didasarkan atas sejauh
mana risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset sewaan berada pada
lessor atau lessee.Risiko termasuk kemungkinan kerugian dari kapasitas tidak
terpakai atau keusangan teknologi dan variasi imbal hasil karena perubahan
kondisi ekonomi.Manfaat dapat tercermin dari ekspektasi operasi yang
menguntungkan selama umur ekonomi aset dan keuntungan dari kenaikan nilai atau
realisasi dari nilai residu.
b.
Sewa
Dalam Laporan Keuangan Lessee
Sewa
Pembiayaan
Pada awal masa sewa,
lessee mengakui sewa pembiayaan sebagai aset dan liabilitas dalam laporan
posisi keuangan sebesar nilai wajar aset sewaan atau sebesar nilai kini dari
pembayaran sewa minimum, jika nilai kini tersebut lebih rendah daripada nilai
wajar.Transaksi dan kejadian dicatat dan disajikan sesuai dengan substansi dan
realitas keuangannya, dan tidak selalu mengikuti bentuk hukumnya. Meskipun
bentuk hukum perjanjian sewa menyatakan bahwa lessee tidak memperoleh hak
secara hukum atas aset sewaan, tetapi dalam hal sewa pembiayaan, secara
substansi dan realitas keuangan lessor memperoleh manfaat ekonomi dari
penggunaan aset sewaan tersebut selama sebagian besar umur ekonomisnya Sewa
pembiayaan diakui dalam laporan posisi keuangan lessee sebagai aset dan
kewajiban untuk membayar sewa masa depan. Pada awal masa sewa, aset dan
liabilitas untuk membayar sewa masa depan diakui dalam laporan posisi keuangan
pada jumlah yang sama, kecuali untuk biaya langsung awal dari lessee yang
ditambahkan ke jumlah yang diakui awal.
BIAYA LANGSUNG AWAL
YA
|
TIDAK
|
Biaya
Komisi
|
General Overheads
|
Biaya
legal (legal fees)
|
Biaya iklan
|
Biaya yang
timbul dari pengevaluasian dan pencatatan garansi, jaminan dan perjanjian
keamanan lainnya
|
Biaya yang berhubungan dengan
pembujukan sewa potensial
|
Biaya yang
berhubungan dengan penegosiasian syarat sewa
|
Biaya yang timbul dari pelayanan sewa yang ada
|
Biaya yang
timbul dalam persiapan dan memroses dokumen sewa
|
Biaya yang berhubungan dengan
aktivitas pendukung lainnya
|
Biaya yang
timbul dari penyelesaian transaksi
|
|
Tabel
1. Biaya langsung awal yang dapat dan tidak dapat
ditambahkan
ke jumlah yang diakui awal
Pembayaran sewa minimum
dipisahkan antara mana yang merupakan beban keuangan dan pengurangan
liabilitas.Beban keuangan dialokasikan pada setiap periode selama masa sewa
sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu suku bunga periodik yang konstan
atas saldo liabilitas.Rental kontinjen dibebankan pada periode terjadinya.
Dalam sewa pembiayaan,
terdapat beban penyusutan untuk aset tersusutkan dan beban keuangan yang timbul
pada setiap periode akuntansi. Kebijakan penyusutan untuk aset sewaan konsisten
dengan aset yang dimiliki oleh perusahaan dan penghitungan penyusutan yang
diakui berdasarkan PSAK 16: Aset Tetap dan PSAK 19: Aset Tak Berwujud. Jangka
waktu penyusutan aset sewaan jika tidak ada kepastian bahwa lessee akan
mendapatkan hak kepemilikanpada akhir masa sewa adalah jangka waktu yang lebih
pendek antara masa sewa dan umur manfaatnya. Pembayaran utang sewa tidak boleh
langsung diakui sebagai beban, karena jumlah beban penyusutan dan beban
keuangan untuk suatu periode tidak sama nilainya dengan jumlah pembayaran utang
sewa untuk periode tersebut.
Menurut PSAK 30, paragraf 30, lessee
mengungkapkan hal berikut untuk sewa pembiayaan:
a. Jumlah tercatat neto untuk setiap
kelompok aset pada tanggal pelaporan.
b. Rekonsiliasi antara total pembayaran
sewa minimum masa depan pada akhir periode pelaporan dan nilai kininya. Selain
itu, entitas mengungkapkan total pembayaran sewa minimum masa depan pada akhir
periode pelaporan, dan nilai kininya untuk setiap periode, sampai dengan satu
tahun, lebih dari satu tahun sampai lima tahun, dan lebih dari lima tahun.
c. Rental kontinjen yang diakui sebagai
beban pada periode.
d. Total perkiraan penerimaan pembayaran
minimum sewa-lanjut masa depan dari kontrak sewa-lanjut yang tidak dapat
dibatalkan pada akhir periode pelaporan.
e. Penjelasan umum isi perjanjian sewa
yang material yang meliputi, tetapi tidak terbatas pada, hal dasar penentual
utang rental kontinjen, keberadaan dan persyaratan dari opsi pembaruan atau
pembelian dan klausul eskalasi, dan pembatasan yang ditetapkan dalam perjanjian
sewa, misalnya yang terkait dengan dividen, tambahan utang, dan sewa-lanjut.
Sewa
Operasi
Pembayaran sewa dalam
sewa operasi diakui sebagai beban dengan dasar garis lurus selama masa sewa.
Menurut PSAK 30, paragraf 34, pengungkapan untuk sewa operasi, lessee juga
mengungkapkan hal berikut untuk sewa operasi:
a. Total pembayaran sewa minimum masa
depan dalam sewa operasi yang tidak dapat dibatalkan untuk setiap periode
sampai dengan satu tahun, lebih dari satu tahun sampai lima tahun, lebih dari
lima tahun.
b. Total perkiraan penerimaan pembayaran
minimum sewa-lanjut masa depan dari kontrak sewa-lanjut yang tidak dapat
dibatalkan pada akhir periode pelaporan.
c. Pembayaran sewa dan sewa-lanjut yang
diakui sebagai beban pada periode, dengan pengungkapan terpisah untuk jumlah
pembayaran minimum sewa, rental kontinjen, dan pembayaran sewa-lanjut;
d. Penjelasan umum perjanjian sewa
lessee yang signifikan, yang meliputi, namun tidak terbatas pada dasar
penentuan utang rental kontinjen, keberadaan dan persyaratan dari opsi
pembaruan atau pembelian dan klausal eskalasi, dan pembatasan yang ditetapkan
dalam perjanjian sewa, seperti pembatasan dividen utang tambahan, dan
sewa-lanjut.
c.
Sewa Dalam Laporan Keuangan Lessor
Sewa
Pembiayaan
Dalam sewa pembiayaan
dimana seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset
dialihkan dari lessor ke lessee, penerimaan piutang sewa diakui oleh lessor
sebagai pembayaran pokok dan pendapatan keuangan sebagai penggantian dan
imbalan atas investasi dan jasanya.
Biaya langsung awal yang dapat diatribusikan langsung pada proses
negosiasi dan pengaturan sewa antara lain, komisi, biaya hukum dan biaya
internal yang bersifat tambahan. Biaya langsung awal tidak termasuk biaya umum
seperti yang lazimnya dikeluarkan oleh tim penjualan dan pemasaran. Lessor
mengalokasikan pendapatan keuangan selama masa sewa dengan dasar yang
sistematis dan rasional.Alokasi pendapatan ini didasarkan pada suatu pola yang
mencerminkan suatu tingkat pengembalian periodik yang konstan atas investasi
neto lessor dalam sewa pembiayaan.Pembayaran sewa dalam suatu periode
diterapkan pada investasi sewa bruto untuk mengurangi pokok dan pendapatan
keuangan yang belum diterima.Lessor pabrikan atau dealer sering memberikan pilihan
penawaran untuk membeli atau menyewa suatu aset kepada pelanggan
.Sewa pembiayaan oleh
lessor pabrikan atau dealer seringkali menimbulkan:
a. keuntungan/kerugian yang setara
dengan laba rugi dari penjualan biasa atas aset sewaan yang ditentukan pada
harga jual normal setelah dikurangi potongan penjualan, dan
b. pendapatan keuntungan selama masa
sewa. Pendapatan penjualan diakui pada awal masa sewa oleh lessor pabrikan atau
dealer sebesar nilai wajar aset.
Menurut PSAK 30,
paragraf 47, lessor mengungkapkan hal berikut untuk sewa pembiayaan:
a. rekonsiliasi antara investasi sewa
bruto dan nilai kini piutang pembayaran sewa minimum pada akhir periode
pelaporan. Di samping itu, lessor mengungkapkan investasi sewa bruto dan nilai
kini piutang pembayaran sewa minimum pada akhir periode pelaporan untuk setiap
periode kurang dari satu tahun, lebih dari satu tahun sampai lima tahun, dan
lebih dari lima tahun.
b. Pendapatan keuangan yang belum
diterima.
c. Nilai residu yang tidak dijamin yang
diakru sebagai manfaat lessor.
d. Akumulasi penyisihan piutang tidak
tertagih atas pembayaran sewa minimum.
e. Rental kontinjen yang diakui sebagai
pendapatan dalam periode; dan
f. Penjelasan umum isi perjanjian sewa
lessor yang material.
Sewa
Operasi
Lessor menyajikan aset untuk sewa
operasi dalam laporan posisi keuangan sesuai sifat aset tersebut. Pendapatan
sewa dari sewa operasi diakui sebagai pendapatan dengan dasar garis lurus
selama masa sewa, kecuali terdapat dasar sistematis lain yang lebih
mencerminkan pola waktu yang mana penggunaan manfaat aset sewaan menurun. Biaya
langsung awal yang dikeluarkan oleh lessor dalam proses negosiasi dan
pengaturan sewa operasi ditambahkan dalam jumlah tercatat aset sewaan dan
diakui sebagai beban selama masa sewa dengan dasar yang sama dengan pendapatan
sewa.
Menurut PSAK 30, paragraf 56, lessor
mengungkapkan hal berikut untuk sewa operasi:
a. Jumlah agregat pembayaran sewa
minimum masa depan dalam sewa operasi yang tidak dapat dibatalkan untuk setiap
periode sampai dengan satu tahun, lebih dari satu tahun sampai lima tahun, dan
lebih dari lima tahun
b. Total rental kontinjen yang diakui
sebagai pendapatan pada periode; dan
c. Penjelasan umum isi
perjanjian sewa lessor.
STUDI KASUS
PENGARUH
PENERAPAN PSAK 30 dan
ISAK 8 YANG BARU
PADA PT PLN (Persero)
Penerapan
ISAK 8 “Penentuan Apakah Suatu Perjanjian Mengandung Sewa”, memberikan
implikasi pada perusahaan untuk mengevaluasi/melakukan asessment ulang
terhadap perjanjian memberikan hak untuk menggunakan aset apakah merupakan
perjanjian sewa atau perjanjian yang mengandung sewa. Selanjutnya, setelah
dilakukan evaluasi sebagaimana dimaksud diatas, atas perjanjian yang mengandung
sewa maka pihak-pihak yang melakukan perjanjian harus menerapkan ketentuan PSAK
30 “Sewa” dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan.
Sesuai
PSAK 30 “Sewa” terhadap perjanjian yang ditetapkan mengandung sewa harus
ditentukan apakah termasuk kategori sewa pembiayaan atau sewa operasi. Jika
dalam perjanjian sewa terdapat pengalihan secara substansial seluruh resiko
atau manfaat terkait dengan kepemilikan suatu aset, maka perusahaan tersebut
harus mengakui perjanjian yang mengandung sewa tersebut sebagai sewa
pembiayaan. Disisi lain, apabila dalam perjanjian sewa tersebut tidak terdapat
secara substansial seluruh resiko atau manfaat terkait dengan kepemilikan suatu
aset, maka perjanjian tersebut dianggap sebagai sewa operasi.
Sesuai
PSAK 30 “Sewa”, perlakuan akuntansi atas sewa pembiayaan dan sewa operasi
sangatlah berbeda. Pada sewa pembiayaan, Lessee mengakui aset dan
liabilitas sewa di Laporan posisi keuangan serta melakukan amortisasi atas aset
yang dicatat sepanjang umur ekonomis sewa. Kemudian, apabila timbul bunga atas
pembayaran cicilan sewa, maka diakui sebagai biaya bunga di Laporan Laba/Rugi.
Sedangkan atas sewa operasi, Lessee tidak perlu mengakui aset atau liabilitas pada laporan posisi keuangan
dan hanya perlu mengakui setiap pembayaran sewa sebagai biaya sewa di Laporan
Laba/Rugi.
Penerapan
retrospektif ISAK 8 dan PSAK 30 tentunya membawa dampak yang signifikan terhadap
kebijakan akuntansi yang digunakan serta mempengaruhi penyajian dan
pengungkapan laporan keuangan untuk tahun berjalan atau tahun sebelumnya.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, perbedaan kebijakan akuntansi tersebut
membawa pengaruh pada perubahan nilai aset dan kewajiban yang muncul laporan
posisi keuangan serta menyebabkan perubahanpada saldo laba yang muncul dalam
laporan laba/rugi perusahaan. Bahkan secara ekstrem, perubahan tersebut bisa
berdampak pada pelanggaran Covenant kewajiban perusahaan karena
berubahnya besaran rasio keuangan perusahaan yang tidak sesuai harapan.
Dampak
riil atas penerapan retrospektif ISAK 8 dan PSAK 30 pada laporan keuangan
perusahaan dapat ditunjukkan secara jelas melalui sebuah studi kasus. Salah
satu perusahaan yang bisa menjadi contoh nyata adalah PT PLN (Persero) yang
mulai menerapkan ISAK 8 dan PSAK 30 pada tahun 2012 (artinya, laporan tahun
2010 dan 2011 disajikan kembali secara retrospektif). Diharapkan melalui studi
terhadap Laporan Keuangan PT PLN (Persero) tersebut kita bisa mendapatkan
gambaran secara utuh mengenai dampak atas penerapan PSAK 30 “Sewa” seperti yang
diharapkan sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas mengenai
penerapan retrospektif yang terjadi atas PSAK 30 “Sewa”, maka pembahasan akan
lebih berfokus pada data perusahaan yang meliputi data statistik bisnis maupun
laporan keuangan tahun 2011 PT PLN.
Pembahasan
studi kasus akan kita bagi dalam beberapa bagian. Pertama, akan diberikan
gambaran umum mengenai kegiatan operasional/bisnis PT PLN. Kedua, akan dibahas
perjalanan panjang menuju penerapan ISAK 8 dan PSAK 30 oleh PT PLN (Persero).
Ketiga, akan diperlihatkan bagaimana perlakuan akuntansi, pelaporan, dan
pengungkapan transaksi terkait kegiatan sewa yang dilakukan PT PLN. Terakhir,
akan dilakukan analisa dampak praktek akuntansi terkait sewa sesuai ISAK 8 dan
PSAK 30 yang dilakukan oleh PLN terhadap gambaran performa perusahaan.
A.
Gambaran Umum Bisnis PLN
PLN
merupakan salah satu BUMN yang berdasarkan anggaran dasar dan ketentuan perundang-undangan
oleh pemerintah diberi amanat untuk menyediakan barang publik berupa tenaga
listrik bagi kepentingan umum dalam jumlah dan mutu yang memadai serta memupuk
keuntungan dan melaksanakan penugasan Pemerintah di bidang ketenagalistrikan
dalam rangka menunjang pembangunan dengan menerapkan prinsip-prinsip Perseroan
Terbatas. Sesuai dengan UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN, Pemerintah wajib
memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN
termasuk margin yang diharapkan kepada BUMN yang diberikan penugasan khusus.
Perusahaan merupakan BUMN yang sedang melaksanakan penugasan khusus berupa
penyediaan tenaga listrik bersubsidi kepada masyarakat.
Untuk
memenuhi kebutuhan tenaga listrik bagi kepentingan umum, PT PLN maupun anak
perusahaannya berupaya untuk melakukan produksi sendiri maupun melakukan
perjanjian jual beli tenaga listrik (PPA – Power Purchase Agreement dan
ESC – Energy Sales Contract) dengan penyedia dan pengembang tenaga
listrik swasta (IPP – Independent Power Producers). IPP tersebut
merupakan pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk kepentingan umum, yang
dapat diserahkan kepada entitas usaha lain dengan tanggung jawab untuk
menghasilkan tenaga listrik guna kepentingan umum. Selama tahun 2011,
jumlahenergi yang berhasil disediakan oleh PT PLN melalui kegiatan produksi
sendiri dan sewa, serta pembelian disajikan pada gambar 1 dibawah ini.
Gambar 1.
Jumlah Energi Listrik yang Diproduksi PT PLN Tahun 2011
(sumber:
Laporan Statistik PLN tahun 2011)
Dari
gambar 3 diatas, dapat kita lihat bahwa produksi energi listrik yang dilakukan
sendiri oleh PLN berjumlah 142,739,06 GWh (77,82% total produksi) dan berasal
dari PLTA (pembangkit listrik tenaga air); PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga
Uap); PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi); PLTGU (Pembangkit Listrik
Tenaga Gas Uap); PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel); PLTMG (Pembangkit
Listrik Tenaga Mesin Gas); PLTS (Pembangkit Listrik tenaga Surya); PLT Bayu
(Pembangkit Listrik Tenaga Angin); PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas); dan
Sewa Pembangkit. Sedangkan energi listrik yang diperoleh PT PLN melalui
pembelian dari pihak IPP berjumlah 40.681,87 GWh (22,18% total produksi) yang
didapat melalui PPA/ESC.
Dari
total produksi energi listrik PT PLN yang mencapai 183.420,93 GWh sebagaimana
disebutkan diatas, jumlah energi yang terjual pada tahun 2011 mencapai
157.992,66 GWh dan didistribusikan kepada sekitar 45.895.145 pelanggan/konsumen
yang terdiri dari kelompok industri, rumah tangga, bisnis, dan lainnya. Selam tahun
2011, energi listrik tersebut dijual kepada pelanggan dengan harga jual listrik
rata-rata per kWh sebesar Rp.714,24,-.
3.2 PERJALANAN PANJANG
MENUJU PENERAPAN ISAK 8 DAN PSAK 30 OLEH PT PLN
Suatu
upaya yang cukup panjang telah dilalui untuk menerapkan ISAK 8 dan PSAK 30 pada
laporan keuangan PT PLN. Awalnya, sesuai surat Ketua Bapepam-LK Nomor
S-2366/BL/2009 tertanggal 30 Maret 2009, dinyatakan bahwa perusahaan dan anak
perusahaan PLN dikecualikan dari penerapan ISAK 8 sampai DSAK-IAI menerbitkan
intepretasi akuntansi yang secara spesifik mengatur mengenai akuntansi untuk
Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik yang dimiliki. Sebagai hasilnya, Perusahaan
dan entitas anak tetap mengikuti kebijakan akuntansi yang berlaku, dimana
pembelian listrik dianggap sebagai transaksi pembelian komoditas normal. Namun,
pembahasan mengenai apakah perjanjian mengandung sewa (dalam hal ini terkait
perjanjian PPA dan ESC PLN) harus menerapkan ISAK 8 dan PSAK 30 tetap menjadi
sebuah bahan kajian dan bahkan telah menjadi sebuah tema yang dibahas dalam
Kongres IAI XI di Jakarta tanggal 9 Desember 2010. Tujuh Bulan sebelumnya,
tepatnya tanggal 8 Mei 2010, pada acara bertajuk Forum Diskusi IFRS antara BUMN
dan Tim Implementasi IFRS diangkat isu yang serupa. Salah satu sesi diskusi
dengan judul “PPA dan ESC: Transaksi Pembelian, Sewa Pembiayaan, atau
Perjanjian Konsesi Jasa dalam Case PLN” ikut menyeruak dibawakan oleh
tim implementasi IFRS maupun pihak PLN dengan perwakilan BUMN yang hadir dalam
forum diskusi di Bandung tersebut.
Kita
ketahui bahwa PSAK 30 (2007) “Sewa” disahkan 27 Juni 2007 dan efektif berlaku
sejak 1 Jaanuari 2008, sementara itu ISAK 8 “Penentuan Apakah Suatu Perjanjian
Mengandung Suatu Sewa” ditetapkan tanggal 16 September 2008, lalu mengapa
penerapannya pada kasus PLN belum juga dilakukan memerlukan waktu yang lama.
Muncul sebuah pertanyaan “Apa isu permasalahan yang menjadi dibahas dan menjadi
hambatan dalam penerapan PSAK 30 dan ISAK 8 oleh PLN dalam case perjanjian
PPA dan ESC?”. Ringkasan isu permasalahan yang muncul seputar kasus tersebut
dapat dilihat dalam gambar 4 di bawah ini.
Sebagaimana
diambil dari bahan presentasi Kongres XI IAI di Jakarta, berikut akan diberikan
uraian kronologis mengenai isu yang dibahas dalam setiap diskusi yang
dilakukan:
1. Dalam ISAK 8 Paragraf 06 dinyatakan bahwa: “Dalam
menentukan apakah suatu perjanjian merupakan perjanjian sewa atau perjanjian
yang mengandung sewa perlu diperhatikan substansi perjanjian dan dilakukan
evaluasi apakah: (1) pemenuhan perjanjian bergantung pada penggunaan suatu aset
atau aset-aset tertentu; dan (2) perjanjian tersebut memberikan suatu hak untuk
menggunakan aset tersebut.”
2. Berdasarkan klausul “take or pay” sebagaimana
dimaksud dalam poin 1 diatas, Kemudian atas case perjanjian PPA dan ESC
antara PLN dangan IPP dilakukan evaluasi apakah merupakan perjanjian sewa atau
perjanjian yang mengandung sewa dengan menggunakan 2 kriteria klausul diatas.
3. Untuk menguji klausul “pemenuhan perjanjian bergantung
pada penggunaan aset tertentu”, beberapa pertanyaan dimunculkan terkait
perjanjian PPA dan ESC antara PLN dengan IPP diantaranya:
a.
Apakah aset (pembangkit) diidentifikasikan secara eksplisit dalam perjanjian?
b.
Apakah pemeasok (IPP) tidak mempunyai hak dan kemampuan untuk menyediakan
barang atau jasa (tenaga listrik) dengan menggunakan aset lain yang tidak
disebutkan dalam perjanjian?
c.
Apakah tidak terdapat persyaratan untuk mengganti aset lain jika aset yang
disewakan (pembangkit) tidak beroperasi dengan baik?
4. Sedangkan untuk menguji klausul “perjanjian memberikan hak
untuk menggunakan aset”, pertanyaan terkait perjanjian PPA dan ESC antara PLN
dengan IPP yang dimunculkan antara lain:
a.
Apakah PLN memiliki kemampuan/hak untuk mengoperasikan pembangkit sesuai dengan
cara yang ditentukan PLN? dan PLN mendapatkan output dari pembangkit dalam
jumlah yang lebih dari tidak signifikan?
b.
Apakah PLN memiliki kemampuan/hak untuk mengendalikan akses fisik terhadap
pembangkit? dan
c.
Apakah PLN mendapatkan keluaran dari pembangkit dalam jumlah yang lebih dari
tidak signifikan?
d.
Apakah kecil kemungkinan bagi pihak selain PLN untuk mengambil output dalam
jumlah lebih dari tidak signifikan? dan
e.
Apakah harga yang dibayar PLN untuk listrik yang dihasilkan secara kontraktual
tetap untuk setiap unit keluaran?
5. Dari hasil evaluasi yang dilakukan berdasarkan panduan
ISAK 8 sebagaimana dilakukan diatas, perjanjian PPA dan ESC hampir semua1
perjanjian mengandung sewa sehingga berlaku PSAK 30 “Sewa”. Kesimpulan tersebut
diambil atas dasar pertimbangan bahwa perusahaan dan entitas anak PLN dan IPP
memiliki perjanjian take or pay, dimana Perusahaan mengambil lebih dari jumlah
yang tidak signifikan dari seluruh listrik dan energi yang dihasilkan oleh
pembangkit listrik.
6. Berikutnya, muncul pembahasan mengenai assessment atas
perjanjian PPA dan ESC yang memenuhi ketentuan perjanjian mengandung sewa
tersebut “apakah dapat dimasukkan kedalam kategori sewa pembiayaan sesuai PSAK
30”.
7. Sesuai PSAK 30 Paragraf 08, dinyatakan bahwa “suatu sewa
diklasifikasikan sebagai sewa pembiayaan jika sewa tersebut mengalihkan secara
substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset”.
Untuk menguji klausul tersebut dilakukan assessment dengan menggunakan 5
kriteria situasi (PSAK 30 Paragraf 10) dan 3 indikator situasi (PSAK 30
Paragraf 11) yang mengarahkan suatu sewa diklasiikasikan sebagai suatu sewa
pembiayaan. Kelima kriteria situasi yang secara individual dan gabungan mengarahkan
suatu sewa diklasifikasikan sebagai suatu sewa pembiayaan tersebut adalah:
a.
sewa mengalihkan kepemilikan aset kepada lessee pada akhir masa sewa.
b.
lessee memiliki opsi untuk membeli aset pada harga yang diperkirakan
cukup rendah dibandingkan nilai wajar pada tanggal opsi mulai dilaksanakan,
sehingga pada awal sewa dapat dipastikan bahwa opsi tersebut akan dilaksanakan.
c.
masa sewa adalah untuk sebagian besar umur ekonomi aset meskipun hak milik
tidak dialihkan.
d.
pada awal sewa, nilai kini dari jumlah pembayaran sewa minimum secara
substansial mendekati nilai wajar aset sewaan.
e.
aset sewaan bersifat khusus dan hanya lessee yang dapat menggunakannya
tanpa perlu modifikasi secara material.
Sedangkan ketiga indikator situasi yang secara individul atau
gabungan dapat juga menunjukkan bahwa sewa diklasifikasikan sebagai sewa
pembiayaan adalah:
a.
Jika lessee dapat membatalkan sewa, maka kerugian lessor yang
terkait dengan pembatalan tersebut ditanggung oleh lessee.
b.
keuntungan atau kerugian dari fluktuasi nilai wajar residu dibebankan pada lessee
(misalnya, dalam bentuk potongan harga rental yang sama dengan sebagian
besar hasil penjualan penjualan residu pada akhir sewa).
c.
lesse memiliki kemampuan untuk melanjutkan sewa untuk periode kedua
dengan nilai rental yang secara substansial lebih rendah daripada nilai pasar
rental.
8. Berdasarkan kriteria dan indikator situasi diatas, maka
hampir semua2 perjanjian PPA dan ESC yang dilakukan oleh PLN dengan IPP
ternyata memenuhi persyaratan untuk dikategorikan sebagai sewa pembiayaan.
Jenis perjanjian tersebut ditetapkan sebagai sewa pembiayaan karena porsi
signifikan dari risiko dan manfaat atas sejumlah pembangkit listrik telah
dialihkan ke Perusahaan dan entitas anak PLN dengan dasar bahwa masa sewa
adalah untuk sebagian besar umur ekonomik aset dan terdapat opsi beli pada
akhir masa sewa. Hal tersebut tentu membawa implikasi yang sangat signifikan
dalam penyajian laporan keuangan PT PLN.
9. Setelah disimpulkan bahwa sesuai ISAK 8 dan PSAK 30 PPA
dan ESC masuk kategori sewa pembiayaan, ternyata muncul permasalahan baru yang
cukup membingungkan. Permasalahan tersebut adalah munculnya perdebatan mengenai
penggunaan ISAK 8 sebagai panduan dalam menentukan perjanjian PPA dan ESC
sebagai perjanjian sewa. Mengapa? Hal tersebut terjadi karena dalam ISAK 8
paragraf 04b dinyatakan bahwa “Interpretasi ini (ISAK 8) tidak berlaku untuk
perjanjian konsesi jasa publik ke swasta dalam ruang lingkup ISAK 16:
Perjanjian Konsesi Jasa”. Akibatnya adalah, sesuai ketentuan, transaksi
penyediaan tenaga listrik oleh IPP ke PLN dikecualikan dari penerapan ISAK 8
sesuai ISAK 8 paragraf 04b.
10. Apa konsekuensi atas perdebatan pada poin 10 diatas?
muncul perdebatan untuk menerapkan ISAK 16 “Jasa Konsesi” dalam kasus PPA.
Namun, beberapa pertanyaan diajukan terkait permasalahan tersebut, diantaranya:
a.
Apakah PPA merupakan perjanjian jasa konsesi? jawabannya adalah ya.
b.
Dengan memperhatikan struktur kelistrikan di Indonesia, PLN merupakan Grantor
atau Operator? Grantor (Pemberi konsesi).
c.
Apabila PLN merupakan Grantor, maka bukankah ISAK 16 “Jasa Konsesi”
tidak mengatur mengenai hal itu? Ya, karena dalam ISAK 16 Paragraf 04
dinyatakan bahwa Interpretasi dalam ISAK 16 hanya memberikan panduan akuntansi
untuk operator atas perjanjian konsesi jasa publik ke swasta.
11. Dikarenakan semua isu diatas, maka kita ketahui bahwa
intepretasi akuntansi yang secara spesifik mengatur mengenai akuntansi untuk
Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik belum ada. Dengan demikian, penerapan ISAK
8 dan PSAK 30 menjadi pilihan yang dapat diambil oleh pihak PT PLN secara
sukarela.
Setelah melakukan evaluasi ataspak penerapan PSAK sewa yang
baru, pembahasan dan diskusi yang dilaksanakan diatas akhirnya berujung pada
keputusan PT PLN mulai menerapkan ISAK 8 dan PSAK 30 di tahun 2012, dimana pada
laporan keuangan triwulan pertama 2012 telah disajikan penerapan retrospektif
ISAK 8 dan PSAK 30 pada laporan keuangan tahun 2010 dan 2011. Sebelum
menerapkan ISAK 8 dan PSAK 30 tersebut, PT PLN menulis surat kepada Kepala
Bapepam-LK tanggal 22 Desember 2011 untuk menyatakan perubahan kebijakan
akuntansi secara sukarela dan menerapkan ketentuan ISAK 8 dan PSAK 30 terhadap
Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik mulai tanggal 1 Januari 2012.
Sebagai langkah lanjutan penerapan rerospektif ISAK 8 dan
PSAK 30, PT PLN meminta persetujuan dari para pihak yang terkait dengan Laporan
Keuangan PT PLN. Dalam sebuah publikasi yang dapat dilihat melalui situs resmi
PT PLN, diketahui bahwa pada tanggal 09 s/d 12 Januari 2012 PT PLN telah
melakukan Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO) dan Rapat Umum Pemegang Sukuk
Ijarah (RUPSI) untuk mendapat persetujuan pemegang obligasi dan sukuk Ijarah PT
PLN atas perubahan ketentuan kewajiban keuangan (financial covenant)
3.2 PERLAKUAN, PELAPORAN,
PENGUNGKAPAN PERJANJIAN TERKAIT SEWA DALAM LK PT PLN
Keputusan yang diambil oleh PT PLN untuk mulai menerapkan
ISAK 8 dan PSAK 30 secara retrospektif tentu saja membawa perubahan dalam
perlakuan, pelaporan, serta pengungkapan perjanjian terkait sewa dalam laporan
keuangan PT PLN. Berikut akan diberikan perbandingan mengenai perubahan
perlakuan, pelaporan serta pengungkapan terkait kebijakan akuntansi yang
diambil tersebut.
3.3 DAMPAK PENERAPAN PRAKTEK
AKUNTANSI TERKAIT SEWA SESUAI ISAK 8 DAN PSAK 30 PADA PLN
Terkait dengan perlakuan, pelaporan dan pengungkapan
perjanjian yang mengandung sewa pada laporan keuangan perusahaan sebagai akibat
penerapan PSAK 30 dan ISAK 8, sebagaimana dapat dilihat dalam laporan keuangan
parsial tahun 2011 yang disajikan kembali dalam gambar 6 terjadi perubahan atas
nilai aset dan kewajiban pada laporan posisi keuangan serta perubahan atas
saldo laba/rugi yang ditampilkan pada laporan laba/rugi. Perubahan-perubahan
tersebutsecara tidak langsung berimbas pada berubahnya rasio keuangan PT PLN
dan berdampak pula pada kondisi technical default atas financial covenant yang
dibuat perusahaan.
3.3.1 Dampak Terhadap Komponen
Laporan Keuangan (Laporan Posisi Keuangan dan Laporan Laba Rugi Komprehensif)
Sebagaimana
telah dibahas sebelumnya bahwa pengakuan perjanjian jual beli tenaga lisrik
(PPA & ESC) sebagai sewa pembiayaan mengakibatkan penyajian retrospektif
yang berakibat prerubahan pada aset dan kewajiban serta laba usaha.
Dalam membahas
dampak perlakuan akuntansi yang terjadi, dimana PT PLN mulai menerapkan ISAK 8
dan PSAK 30 di awal tahun 2012, laporan keuangan tahun 2010 dan 2011 telah
disajikan kembali pada laporan keuangan tahun 2012 sehingga kita dapat membandingkan Laporan Posisi Keuangan
per 31 Desember 2011 dan per 31 Desember 2010 setelah disajikan kembali dengan
laporan yang sama sebelum penerapan ISAK 8 dan PSAK 30. Adapun untuk laporan
laba rugi komprehensif, kita hanya mendapatkan data pembanding antara laporan
laba rugi komprehensif untuk periode yang berakhir 31 Desember 2011 setelah disajikan kembali
dengan laporan yang sama sebelum penerapan.
1. Penyajian kembali Laporan Posisi
Keuangan per 31 Desember 2011.
Akun
|
Sebelum Disajikan Kembali
|
Sesudah Disajikan Kembali
|
Kenaikan
(Penurunan)
|
Aset Lancar
Aset Tidak Lancar
Liabilitas
Ekuitas
|
58,252,342
368,266,521
271,169,696
155,349,167
|
58,252,342
409,530,261
321,769,767
146,012,836
|
-
41,263,740
50,600,071
(9,336,331)
|
Kenaikan (penurunan) di atas
berasal dari akun-akun berikut :
Akun
|
Sebelum Disajikan Kembali
|
Sesudah Disajikan Kembali
|
Kenaikan
(Penurunan)
|
Aset Tetap
Utang Sewa
Pembiayaan
Saldo Laba-tidak
Ditentukan
Penggunaan
|
261,226,207
23,922,731
55,285,174
|
302,489,947
77,690,486
45,948,843
|
41,263,740
53,767,755
(9,336,331)
|
2. Penyajian kembali Laporan Posisi Keuangan
per 31 Desember 2010.
Akun
|
Sebelum Disajikan Kembali
|
Sesudah Disajikan Kembali
|
Kenaikan
(Penurunan)
|
Aset Lancar
Aset Tidak Lancar
Liabilitas
Ekuitas
|
44,773,286
324,417,296
219,507,987
149,682,595
|
44,773,286
361,327,143
263,986,654
142,113,775
|
-
36,909,847
44,478,667
(7,568,820)
|
Kenaikan (penurunan) di atas
berasal dari akun-akun berikut :
Akun
|
Sebelum
Disajikan Kembali
|
Sesudah Disajikan Kembali
|
Kenaikan
(Penurunan)
|
Aset Tetap
Utang Sewa
Pembiayaan
Saldo Laba-tidak
Ditentukan
Penggunaan
|
210,651,868
14,166,649
58,107,990
|
247,561,715
61,406,202
50,539,170
|
36,909,847
47,239,553
(7,568,820)
|
Dari
informasi di atas dapat kita lihat bahwa penyajian kembali Laporan Posisi
Keuangan per 31 Desember 2011 mengakibatkan Aset tetap bertambah sebesar Rp 41,26 T dan Utang sewa
pembiayaan bertambah sebesar Rp 53,76 T serta penurunan sebesar Rp 9,3 T untuk saldo laba –
tidak ditentukan penggunaanya. Sedangkan untuk tahun 2010, Aset tetap
bertambah sebesar Rp 36,9 T
dan utang sewa pembiayaan
bertambah sebesar Rp 47,24 T
serta penurunan saldo laba – tidak
ditentukan penggunaannya sebesar Rp 7,56 T.
3. Penyajian Kembali Laporan Laba
Rugi Komprehensif Untuk Periode Yang Berakhir 31 Desember 2011.
Akun
|
Sebelum Disajikan Kembali
|
Sesudah Disajikan Kembali
|
Kenaikan (Penurunan)
|
Pendapatan Usaha
Beban Usaha
Bahan Bakar
dan Pelumas
Pembelian
Tenaga Listrik
Sewa
Pemeliharaan
Kepegawaian
Penyusutan
Lain-lain
Jumlah Beban Usaha
Laba Sebelum Pos Keuangan dll
Pos Keuangan dll Bersih
Penghasilan
Bunga
Keuntungan
(Kerugian) Kurs
Beban Keuangan
Lain-lain
Bersih
Pos
Keuangan dll Bersih
Laba Sebelum Pajak
Beban Pajak
|
208,017,823
120,553,008
29,717,769
-
11,607,490
13,197,075
13,916,723
4,405,234
193,397,299
14,620,524
503,983
(1,325,217)
(7,754,126)
1,827,246
(6,748,114)
7,872,410
(678,784)
|
208,017,823
131,157,604
1,256,713
5,775,859
13,592,563
13,197,075
16,254,552
4,405,234
185,639,600
22,378,223
503,983
(1,833,390)
(17,361,067)
1,827,246
(16,863,228)
5,514,995
(88,880)
|
-
10,604,596
(28,461,056)
5,775,859
1,985,073
-
2,337,829
-
(7,757,699)
7,757,699
-
(508,173)
(9,606,941)
-
(10,115,114)
(2,357,415)
589,904
|
Laba Tahun
Berjalan dan Jumlah Laba Komprehensif
|
7,193,626
|
5,514,995
|
(1,767,511)
|
Dari
informasi di atas, penyajian kembali laporan laba rugi komprehensif tersebut
mengakibatkan beban berkurang sebesar Rp 28,46 T dari pembelian tenaga listrik namun disisi lain ada penambahan beban sewa sebesar Rp 5,7 T
KESIMPULAN
Pada
studi kasus kali ini, kita menemukan bahwa penerapan PSAK 30 “Sewa” dan ISAK 8
“Penentuan Apakah Suatu Perjanjian Mengandung Suatu Sewa” pada suatu perusahaan
memerlukan pembahasan dan kajian yang panjang. Hal tersebut ditunjukkan pada
pembahasan mengenai kasus perjanjian jual beli tenaga listrik (PPA dan ESC)
yang dilakukan PT PLN dengan IPP.
Setidaknya
terdapat 3 isu yang menjadi permasalahan terkait dengan perjanjian jual beli
tenaga listrik. Pertama, penentuan PPA dan ESC dipandang sebagai perjanjian
sewa atau mengandung sewa sesuai panduan ISAK 8. Kedua, asessment PPA
dan ESC sebagai kategori sewa pembiayaan sesuai PSAK 30. Ketiga, dampak atas
perlakuan PPA dan ESC sebagai sewa pembiayaan terhadap penyajian laporan
keuangan, serta perubahan saldo elemen laporan keuangan dan rasio keuangan
perusahaan.
Walaupun
penerapan PSAK 30 dan ISAK 8 memberikan manfaat positif bagi pengguna laporan
keuangan, yaitu dengan menyajikan secara penuh perjanjian jual beli tenaga
listrik sebagai aset dan kewajiban sewa dalam halaman muka laporan posisi
keuangan. Namun, hal tersebut memberikan dampak sebaliknya bagi gambaran
kinerja keuangan perusahaan. Munculnya dan naiknya nilai aset, kewajiban, serta
beban penyusutan terkait sewa pembiayaan dalam laporan keuangan perusahaan
mengakibatkan turunnya rasio-rasio keuangan perusahaan yang dapat berpotensi
mengakibatkan technical default atas sebagian kewajiban perusahaan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebelum
menerapkan suatu praktek akuntansi sesuai standar perlu dilakukan evaluasi
mengenai dampaknya terhadap laporan keuangan dan kinerja keuangan suatu
perusahaan. Hal tersebut dilakukan demi meminimalisir terjadinya munculnya
kewajiban bagi perusahaan sehubungan dengan penerapan standar baru tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ankarath.Dkk,2012.
Memahami IFRS Standar Pelaporan Keuangan Internasional. Edisi ke 2.
Diterjemahkan oleh : Darmayawan, Priyo. Jakarta : PT.Indeks
Dwi
Martani. Dkk, 2016. Akuntansi Keuangan
Menengah Berbasis PSAK. Jakarta: Salemba Empat
Ikatan
Akuntan Indonesia. 2016. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 30 Sewa revisi
2016.
Ikatan
Akuntan Indonesia, 2016. Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan No. 8
Penentuan Apakah Suatu Perjanjian mengandung suatu sewa revisi 2016
Terimakasih Anda telah membaca tulisan / artikel di atas tentang :
Judul:
AKUNTANSI SEWA (LEASING)
Semoga informasi mengenai
AKUNTANSI SEWA (LEASING) bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jangan lupa
Komentar Anda sangat dibutuhkan, di bawah ini.