DOUNLOWD MAKALAH PERPAJAKAN PADA USAHA PERTAMBANGAN
link 1
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Indonesia
dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Menurut
United States Geological Survey (2015), dalam sektor pertambangan, Indonesia
menempati posisi produsen terbesar ketujuh untuk komoditas tembaga, posisi
kedelapan untuk komoditas emas dan timah, dan posisi kesembilan untuk komoditas
nikel. Selain itu, berdasarkan Coal Facts
2014 pada tahun 2014, Indonesia
menempati posisi produsen terbesar keempat dan peringkat pertama sebagai
eksportir untuk komoditas batubara (World Coal Association, 2014). Dengan profil demikian, Indonesia menjadi
negara yang menjanjikan bagi kalangan pelaku industri pertambangan, khususnya
bagi para investor.
Sektor pertambangan menjadi salah satu sektor
yang memberikan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia. Kontribusi sektor
pertambangan dalam perekonomian Indonesia dapat dilihat pada gambar 1.1
berikut:
Gambar
1.1
Kontribusi
Sektor Pertambangan terhadap Perekonomian Indonesia
Sumber: BKPM dalam Winzenried dan Adhitya (2014)
Berdasarkan gambar 1.1
diatas, sektor pertambangan menyumbang sebesar rata-rata 5.26% pada Produk
Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2010-2013 dan rata-rata 18.55% untuk
penerimaan ekspor. Namun, Bob Searle (2007) mengatakan bahwa penerimaan atas pemanfaatan
sumber daya alam dapat mempengaruhi ketimpangan fiskal
vertikal, sehingga terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam
pengelolaannya, salah satunya aspek
regulasi terkait sistem penerimaan itu sendiri. Penerimaan
atas pemanfaatan sumber daya alam yang dikelola harus diatur dengan baik sebagai
penggantian
belanja investasi untuk penggalian tambang, ongkos manajemen publik karena
penyediaan fasilitas, dan biaya untuk menanggulangi dampak
lingkungan yang terjadi.
Sektor
pertambangan umum, dimana mencakup mineral dan batubara adalah sumber daya alam
(SDA) yang tak terbarukan (non-renewable
natural resources) dan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh
negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam
konstitusi negara yakni UUD 1945 dalam Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan “Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Selanjutnya, dalam Pasal
yang sama ayat (4) ditegaskan, bahwa perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Disinilah peran
pemerintah untuk mengatur dan mengelola regulasi terkait sistem penerimaan,
terutama ketentuan-ketentuan perpajakan dalam industri pertambangan, dimana
pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara.
Selain diatur didalam UUD 1945 peraturan yang mengatur pengenai
usaha pertambangan juga diatur didalam
Undang-Undang No. 11 tahun 1967 yang telah diperbaharui menjadi UU no. 4
tahun 2009 tentang ketentuan-ketentuan Pokok pertambangan dan Undang-Undang No.
25 tahun 2007 tentang penanaman modal, sektor pertambangan kira mengalami
transformasi yang mengesankan dimana pemerintah melakukan berbagai upaya untuk
memberbaiki proses perizinan, transparasi, keringanan pajak, penegakan hukum
dan pematapan situasi keamanan dengan harapan untuk menginkatkan sumber
penerimaan Negara dari sektor pajak pada bidang pertambangan.
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas maka kelompok kami membuat
makalah yang membahas materi tentang Perpajakan pada Usaha Pertambangan.
1.2
Pokok
Permasalahan
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah apa dan
bagaimana aspek perpajakan yang
terdapat dalam industri pertambangan.
1.3
Tujuan
Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini
adalah untuk membahas apa dan bagaimana aspek perpajakan dalam industri
pertambangan.
BAB
II
KERANGKA
TEORI
2.1 Industri Pertambangan
Industri sektor
pertambangan dapat dibagi menjadi tiga subsektor yaitu pertambangan umum,
minyak dan gas bumi, serta panas bumi atau geothermal (Mansury,
1999).
Industri pertambangan memiliki sifat dan karakteristik tertentu antara lain
(Muljono, 2009):
·
Eksplorasi bahan galian tambang merupakan kegiatan yang
memiliki ketidakpastian tinggi karena meskipun telah dipersiapkan secara cermat
dengan biaya yang besar, tidak adajaminan bahwa kegiatan tersebut akan berakhir
dengan penemuan cadangan bahan galian yang secara komersial layak untuk
ditambang.
·
Bahan galian bersifat deplesi dan tidak dapat diperbaharui (non-renewable) serta untuk melaksanakan
kegiatan pertambangan ini, mulai tahap eksplorasi sampai dengan tahap
pengolahannya, membutuhkan biaya investasi yang relatif besar, padat modal,
berjangka panjang, sarat risiko dan membutuhkan teknologi yang tinggi.
·
Pada umunya operasi perusahaan pertambangan berlokasi di
daerah terpencil dan kegiatannya menimbulkan kerusakan dan/atau pencemaran
lingkungan hidup, sehingga setiap perusahaan pertambangan wajib memenuhi
ketentuan perundangan yang berlaku mengenai lingkungan hidup, disamping
mempunyai konsep pasca tambang yang jelas.
·
Pemerintah Indonesia tidak memberi konsensi penambangan
karena menurut peraturan perundangan yang berlaku, segala bahan galian yang
berada di wilayah hukum Indonesia adalah kekayaan nasional bangsa Indonesia
yang dikuasai dan digunakan oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Untuk dapat
berusaha dalam industri pertambangan umum, pemerintah mengeluarkan peraturan
yang memberi wewenang kepada badan usaha atau perseorangan untuk melaksanakan
pertambangan umum.
Tulisan akan
membahas lebih dalam mengenai pertambangan umum. Pertambangan umum yang dimaksud
yaitu pertambangan mineral dan pertambangan batubara. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah RI No. 23 Tahun 2010
Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara, pertambangan mineral
dan batubara dapat digolongkan dalam lima komoditas tambang yaitu, pertambangan mineral
radioaktif seperti radium, thorium, uranium, monasit; pertambangan mineral
logam seperti itium, berilium, magnesium, kalium, kalsium, emas, tembaga,
perak, timbal, seng, timah, nikel, mangaan, platina; pertambangan mineral bukan
logam seperti intan, korundum, grafit, arsen, pasir kuarsa, fluorspar, kriolit,
yodium, brom, klor, belerang, fosfat;
pertambangan batuan seperti pumice, obsidian, marmer, dan batubara
meliputi bitumen padat, batuan aspal, batubara, dan gambut. Pelaku usaha di
industri pertambangan dapat berupa instansi pemerintah yang ditunjuk oleh
Menteri, Perusahaan Negara, Perusahaan
Daerah, perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan
Daerah, koperasi, badan atau perseorangan swasta, perusahaan dengan modal bersama antara negara
dan atau daerah dengan koperasi dan atau badan perseorangan swasta, dan pertambangan rakyat.
2.2 Dasar Hukum Usaha
Pertambangan di Indonesia
2.2.1
UUD 1945 dalam Pasal 33 ayat (3)
Sektor pertambangan umum, dimana mencakup mineral
dan batubara adalah sumber daya alam (SDA) yang tak terbarukan (non-renewable natural resources) dan
merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar
kesejahteraan rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi negara yakni UUD
1945 dalam Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Selanjutnya, dalam Pasal yang sama ayat (4)
ditegaskan, bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional. Disinilah peran pemerintah untuk mengatur dan
mengelola regulasi terkait sistem penerimaan, terutama ketentuan-ketentuan
perpajakan dalam industri pertambangan, dimana pajak merupakan salah satu
sumber penerimaan negara.
2.2.2
Undang-Undang
No. 4 Tahun 2009
Kegiatan usaha
dalam sektor pertambangan umum diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atas perubahan Undang-Undang No. 11
Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Pertambangan (UUPP).Pengertian menurut
Undang-Undang No. 4 Tahun 2009, pertambangan adalah sebagian atau seluruh
tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral
atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan,
serta kegiatan pascatambang. Secara ringkas terdapat dua tahapan kegiatan dalam
pertambangan umum yaitu eksplorasi yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi
dan studi kelayakan serta tahap operasi produksi yang meliputi konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan. Setiap tahap tersebut
akan diuraikan sebagai berikut :
1.
Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk
mengetahui kondisi geologi regions dan indikasi adanya mineralisasi;
2.
Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk
memperoleh informasi secara terpencil dan teliti tentang lokasi, bentuk,
dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta
informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup;
3.
Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan
untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk
menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan,termasuk
analisis mengenai dampak lingkungan serta, perencanaan pascatambang;
4.
Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan
pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak
lingkungan;
5.
Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk
memproduksi mineral dan atau batubara dan mineral ikutannya;
6.
Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan
untuk meningkatkan mutu mineral dan/ atau batubara serta untuk memanfaatkan dan
memperoleh mineral ikutan;
7.
Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertamhangan untuk
rnemindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan/ atau tempat
pengolahan dan pemurnian sampai ternpat penyerahan, sedangkan penjualan adalah
kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral atau
batubara;
8.
Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang,
adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian
atau seluruh kegiatan usai serta penambangan untuk memuiihkan fungsi lingkungan
alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.
2.2.3
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010
Peraturan
Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”) mengatur bahwa IUP diberikan oleh
Menteri, gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.IUP
diberikan kepada:(i) Badan usaha, yang dapat berupa badan
usaha swasta, Badan Usaha Milik Negara,atau Badan Usaha Milik
Daerah;(ii) Koperasi; dan(iii) Perseorangan, yang dapat berupa orang
perseorangan yang merupakan warga NegaraIndonesia, perusahaan firma, atau
perusahaan komanditer.Pemberian IUP akan dilakukan setelah diperolehnya WIUP
(Wilayah Izin UsahaPertambangan). Dalam satu WIUP dimungkinkan untuk diberikan
satu IUP maupunbeberapa IUP.Pasal 36 UU Minerba membagi IUP ke dalam dua tahap,
yakni:(i) IUP eksplorasi, yang meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi,
dan studikelayakan; dan(ii) IUP Operasi Produksi, yang meliputi kegiatan
konstruksi, penambangan, pengolahandan pemurnian, serta pengangkutan dan
penjualan.Dalam Pasal 40 UU Minerba diatur bahwa IUP diberikan terbatas pada 1
jenismineral atau batubara. Dalam hal pemegang IUP menemukan mineral lain dalam
WIUPyang dikelolanya, maka pemegang IUP tersebut mendapatkan prioritas untuk
mengusahakan mineral yang ditemukannya. Sebelum pemegang IUP
tersebutmengusahakan mineral lain yang ditemukannya, diatur bahwa pemegang IUP
tersebutwajib mengajukan permohonan IUP baru kepada Menteri, gubernur,
bupati/walikotasesuai dengan kewenangannya masing-masing. Dalam hal pemegang
IUP tersebut tidakberminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukannya,
maka pemegang IUPtersebut memiliki kewajiban untuk menjaga mineral tersebut
agar tidak dimanfaatkanpihak lainnya yang tidak berwenang
2.2.4
Kepmen
ESDM No.1453 K/29/MEM/2000
Menurut peraturan
perundang-undangan Penanaman Modal Pengusahaan Pertambangan Umum yang tertuang
dalam Kepmen ESDM No.1453 K/29/MEM/2000, usaha pertambangan umum dapat
dilaksanakan apabila telah mendapatkan persetujuan dari Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral/Gubernur/Bupati/Walikota sesuai lingkup kewenangan
masing-masing, bentuk persetujuan tersebut adalah :
1.
Kuasa Pertambangan (KP);
2.
Kontrak Karya (KK) / Contract
of Work (CoW);
3.
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) / Coal Contract of Work (CcoW)
Kuasa
Pertambangan (KP) merupakan izin yang diterbitkan pemerintah daerah. Kontrak Karya (KK) adalah persetujuan yang
dibuat antara Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk bidang pertambangan umum,
khususnya mineral, yang disetujui oleh pemerintah dengan investor. Sedangkan
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) berlaku untuk
pengusaha yang menjalankan usaha di bidang pertambangan batubara.
2.3 Wilayah Pertambangan
Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara diatur pula mengenai wilayah pertambangan.
Wilayah pertambangan adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau
batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang
verupakan bagian dari tata ruang nasional. Wilayah pertambangan dibagi menjadi
tiga. Pertama, Wilayah Usaha Pertambangan yaitu bagian dari wilayah
pertambangan yang telah memiliki ketersediaan data potensi, dan/atau informasi
geologi. Kepada pemegang IUP akan diberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan.
Kedua, Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian
dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat. Ketiga, Wilayah
Pencadangan Negara, yang selanjutnya disebut WPN, adalah bagian dari wilayah
pertambangan yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional. Selain itu terdapat Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang
merupakan bagian dari WPN yang dapat diusahakan.
2.4 Resiko Dari Usaha Pertambangan
Kelancaran
operasional Perusahaan di tengah beragam risiko yang mungkin timbul akibat
faktor internal maupun eksternal merupakan harapan bagi seluruh pihak dalam
upaya mencapai tujuan dan cita-cita Perusahaan. Oleh karena itu, diperlukan
mekanisme penanggulangan risiko operasional yang baik dan sistematis melalui
penerapan manajemen risiko. Tujuan utama pendekatan manajemen risiko Perusahaan
adalah memastikan bahwa Perusahaan selalu melakukan kajian risiko secara
menyeluruh atas setiap kegiatan yang telah ditetapkan guna melindungi dan
mencapai kepentingan Perusahaan. Selain itu, manajemen risiko memungkinkan
Perusahaan mengenali dan mengelola risiko-risikonya dengan membangun sebuah
sistem pengawasan dan pengelolaan, sehingga akan meningkatkan kemampuan
Perusahaan dalam mencapai visi, misi dan tujuan strategisnya.
Di bawah ini
analisa beberapa risiko pertambangan yang sesuai dengan karakteristik
industri pertambangan, yaitu :
1.
Politic Risk
Risiko tambang di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi
politik di Indonesia yang diatur dan ditentukan dalam perundangan dan kebijakan
seperti : UUD 1945, visi pembangunan nasional, nawacita, Kedaulatan energi,
pergantian pemerintahan, pergantian kementerian dan kebijakan-kebijakan
lainnya. Sebagai negara yang ekonominya berbasis komoditas, Indonesia sangat
terpengaruh oleh perlambatan ekonomi di Cina.
2.
Changing Regulation
Pertambangan di Indonesia telah diatur pada
Undang-Undang (UU) No. 4 2009, UU ini mengatur tentang peningkatan nilai
tambah batubara dan mineral. Kemudian pelaksanaannya diatur lebih detil oleh
Peraturan Menteri (Permen No. 7 tahun 2012) dan mulai efektif setelah
diberlakukan PERMEN ini. Implikasi Permen ini adalah (i) kewajiban perusahan
tambang untuk melakukan pengolahan bahan galian tambang di dalam negeri. (ii)
pelarangan ekspor bijih mentah atau hasil tambang yang belum dilakukan
pengolahan. Dengan adanya Permen ini, maka perusahaan tambang berkewajiban
untuk melakukan pembangunan smelter atau pabrik pengolahan mineral. Berapa
regulasi yang berimplikasi pada bisnis tambang adalah Domestic Market
Obligation (DMO) dan perubahan Royalty (fee). Pada awal tahun ini juga
dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) 1/2017 tentang pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan mineral dan batubara serta peraturan turunannya termasuk untuk
melakukan divestasi saham hingga 51% secara bertahap.
3.
Market Price
Risiko bisnis pertambangan batubara sangat
dipengaruhi oleh harga batubara, mengingat batubara adalah sebuah komoditas,
sehingga sangat dipengaruhi oleh harga global yang berfluktuasi karena dinamika
volume penawaran dan permintaan, sebagaimana yang terjadi pada tahun 2016,
komoditas secara keseluruhan mengalami penurunan harga :
a.
Harga minyak (oil) turun drastis sekitar 20% (Brent: dari US$
48 ke US$ 39 dan WTI dari US$ 46 ke US$ 37). Kondisi ini disebabkan oleh
oversupply yang muncul akibat adanya perang kepentingan antara OPEC dan Non
OPEC.
b.
Harga komoditas lainnya menurun sebagai dampak dari
memburuknya perekonomian Cina yang berimbas pada turunnya demand komoditas.
c.
Harga batubara yang terus menurun sejak tahun 2011 sampai
dengan tahun 2015 dari 141 $/ton menjadi 55 $/ton, sementara ongkos
produksi dari tahun ke tahun yang selalu meningkat, membuat perusahaan-perusahaan
tambang dan kontraktor pertambangan terus mengalami kerugian sehingga terjadi
pengurangan volume proyek sampai dengan proyek ditutup.
Saat ini pasar batubara global masih berada dalam
kondisi oversupply, melemahnya pasar batubara global dan rendahnya harga
komoditas mengakibatkan produksi dan ekspor Indonesia menurun dan diprediksi
kondisi masih akan terus berlanjut di tahun ini dan tahun depan.
4.
Financial Risk
Dari sisi keuangan atau financial risk, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi risiko yaitu ; risiko mata uang, tingkat suku bunga, risiko
default counterparty, risiko likuiditas dan risiko yang terkait dengan pasar
modal.
Menurunnya harga komoditas dan turunnya kebutuhan
menyebabkan market volatility dan ini merupakan tantangan bagi industri
tambang.
Menghadapi risiko keuangan, perusahaan memiliki
prinsip bahwa “Cash is king”, Perusahaan
harus menjaga balance sheet liquidity, dan
implementasi memaksimalkan operational cash flow for
long-term profitability. Perusahaan tambang dapat secara
efektif mengelola liquidity dengan sustainable cost reductions, increase focus
on working capital dan meningkatkan capital effectiveness.
5.
Operational Risk
Pertambangan merupakan proyek pengoperasian dengan
keahlian yang tinggi, beberapa risiko terkait operasional yang dapat
diidentifikasi adalah : Mining Engineering, Health,
Safety, Environment, Proses dan probem produksi, Kualitas
Produk, Kontraktor, Rencana Operasi, Ketersediaan lahan, Manajemen
Proyek, Kegagalan untuk menemukan sumber daya baru / mempertahankan
dan mengembangkan operasi baru (ketidakpastian memperkirakan
sumber daya baru), pola cuaca yang tidak normal dan tidak mengikuti musim,
pasokan bahan bakar, pergerakan harga batubara, kemampuan untuk mendapatkan
alat berat, hubungan masyarakat, terkena peningkatan litigasi, biaya kepatuhan,
biaya rehabilitasi lingkungan yang tak terduga, bencana alam, klaim pihak
ketiga dapat melebihi polis asuransi yang ada.
6.
Capital Project
Proyek pertambangan merupakan proyek dengan investasi
modal yang besar, ada banyak prosedur dan tahapan yang harus dilakukan baik
sebelum produksi maupun saat produksi. Mengingat investasi yang besar, maka
risiko awal adalah pendanaan pada saat sebelum melakukan produksi
(pre-produksi).
Investasi proyek tambang selain membutuhkan modal yang
besar, umumnya juga proyek dengan jangka panjang, sehingga membutuhkan waktu
yang lama untuk pengembalian modal, bilamana tidak dilakukan management proyek
yang baik, maka dapat terjadi kebangkrutan. The best opportunity to make a
positive impact on the lifecycle of a major capital project is during early
planning, even before the capital outlay occurs.” Nathan
Roost, Advisory, EY.
Pernyataan di atas, mengharuskan para pelaku tambang
untuk sangat berhati-hati, cermat dan teliti dalam menghitung studi kelayakan
serta digunakan teknik What if Analysis, Scenario Planning, Sensitity Analysis dan Simulation. Hal ini sangat penting, apalagi
menurut data dari PWC dikatakan bahwa more than 75% of capital
projects run over budget.
Dengan ketidakpastian kondisi ekonomi global, efek
kebijakan Trump dan sentimen lemah yang terus berlanjut dapat berdampak negatif
terhadap permintaan dan harga batubara, hal ini dapat mempengaruhi laba
perusahaan. Terkait pembiayaan bank sebagai bagian dari capital project, bank-bank
akan memperketat pinjaman di sektor pertambangan.
2.5 Managemen Risiko bagi Pertambangan.
Kelancaran operasional Perusahaan di tengah beragam risiko yang
mungkin timbul akibat faktor internal maupun eksternal merupakan harapan bagi
seluruh pihak dalam upaya mencapai tujuan dan cita-cita Perusahaan. Oleh karena
itu, diperlukan mekanisme penanggulangan risiko operasional yang baik dan
sistematis melalui penerapan manajemen risiko.
a)
Strategi Pengelolaan Risiko Politik, Hukum dan Peraturan.
Terkait dengan risiko
politik, hukum dan peraturan tidak ada cara lain kecuali mengikuti hukum dan
peraturan atau legal compliance.
b)
Strategi manajemen risiko
Menggunakan pendekatan Cash
Flow at Risk (CFAR), yaitu ekspektasi kerugian terburuk dari proyeksi arus kas
rencana bisnis dalam keadaan pasar normal pada tingkat kepercayaan 95%
c)
Kegiatan mitigasi risiko
Lindung nilai atas
pendapatan dengan instrumen keuangan, menilai CFAR vs limit BOD
d)
Strategi Lindung nilai
Atas fluktuasi nilai dolar
Amerika Serikat akan berdampak negatif terhadap kinerja keuangan perusahaan
perusahaan tambang, maka strategi yang tepat dalam mitigasi risiko mata uang
adalah dengan Lindung Nilai atau Hedging. Produksi batubara
Indonesia yang 80% ekspor harus menggunakan harga, ditagih dan dibayar
dalam bentuk USD. Demikian juga untuk biaya penjualan dan beban usaha mesti
dalam USD, dan akhirnya dalam membuat laporan keuangan baik untuk internal dan
eksternal digunakan USD.
e)
Transaksi keuangan strategis
Transaksi oportunistik dari
valuasi (over/under) yang dilaksanakan dengan instrumen keuangan.
f)
Proprietary trading
Melakukan perdagangan
derivatif dari komoditas.
g)
Risiko suku bunga
Dikelola sebagai bagian
dari strategi manajemen portofolio dalam batas CFAR. Kontrak swap suku bunga
dapat dilakukan juga untuk melindungi nilai pembayaran bunga kepada bank mitra
yang menggunakan suku bunga mengambang dengan suku bunga tetap.
h)
Strategi Operasional Risk
Beberapa strategi dalam
mitigasi operasional risk dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti: Insurance, Diversification Mining Product, Added- Value
improvement, Cost Efficiency, Best Mining Practice and Excellent Management.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Aspek Pajak atas Kegiatan Usaha Pertambangan
Terdapat berbagai
aspek perpajakan atas kegiatan usaha pertambangan, yaitu sebagai
berikut:
1.
Penyelidikan Umum
Dalam menentukan potensi mineral pada suatu daerah
tertentu, perlu dilakukan pengujian geologis, yang dilakukan dengan menggunakan
jasa
dari Peneliti Geologis sebagai Peneliti. Jasa atas
penelitian tersebut dapat dimasukkan ke dalam pengertian jasa teknik sesuai
dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE -
08/PJ.222/1984 bahwa yang dimaksud dengan jasa teknik
ialah pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan
pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat
meliputi :
a.
Untuk suatu proyek
tertentu. Dalam proyek tertentu ini jasa teknik pada umumnya hanya diberikan
sekali saja misalnya membangun gedung pabrik diperlukan penelitian misalnya
berupa :
1.
Penelitian jenis tanah
tempat bangunan itu akan didirikan;
2.
Pembuatan design
bangunan;
3.
Pengawasan pelaksanaan
bangunan itu.
b.
Untuk membuat suatu
jenis produk tertentu. Dalam membuat produk tertentu ini jasa teknik dapat
diberikan lebih dari sekali. Jasa teknik ini diberikan secara terus menerus
dalam rangka membuat produksi tertentu. Jasa teknik yang diberikan terus
menerus ini dapat berupa pemberian :
1)
informasi teknik dalam bentuk gambar-gambar,
petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya;
2)
bantuan berupa
petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh pegawai dari pemberi jasa tekhnik, dan
3)
latihan atas para petugas dari pemakai jasa.
Namun ada kalanya jasa teknik untuk pembuatan suatu jenis produk tertentu dapat
pula diberikan sekali saja, misalnya kemacetan mesin, yang mengakibatkan produksi tidak
bisa terlaksana sebagaimana mestinya.
c.
Jasa teknik dapat pula berupa pemberian informasi
yang berkenaan dengan pengalaman-pengalaman di bidang manajemen.
Sehingga, jasa atas penelitian
tersebut merupakan objek PPN karena jasa teknik merupakan Jasa Kena
Pajak sehingga penyerahan atas jasa yang dimaksud terutang PPN. Selain itu,
jasa teknik tersebut juga terutang PPh Pasal 23/26 dimana tergantung dari siapa yang
melaksanakan. Jika yang melaksanakan adalah Wajib Pajak dalam negeri terutang
PPh pasal 23, hal ini sesuai dengan PPh Pasal 23 ayat 1 huruf c, yang berbunyi
“Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh
pihak yang wajib membayarkan: c. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto
atas:
1.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2); dan
2.
Imbalan sehubungan dengan jasa teknik,
jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang
telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.”
Sedangkan jika yang melaksanakan
jasa tersebut adalah Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di
Indonesia maka terutang PPh pasal 26, hal ini sesuai dengan PPh pasal 26 ayat 1
huruf d yaitu: “Atas penghasilan tersebut dibawah ini, dengan nama dan dalam
bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh
tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di
Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh
pihak yang wajib membayarkan: d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan.”
2.
Eksplorasi
Eksplorasi merupakan tahapan kegiatan usaha
pertambangan untuk memperoleh informasi secara terpencil dan teliti tentang
lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan
galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan. Jasa
atas kegiatan tersebut merupakan objek PPN dan PPh Pasal 23/26 tergantung dari
siapa yang melaksanakan karena jasa tersebut memberikan output berupa pemberian
informasi yang termasuk kedalam pengertian jasa teknik yang merupakan Jasa Kena
Pajak dan objek PPh Pasal 23 apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak dalam
negeri atau objek PPh Pasal 26 apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak
luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.
3.
Studi Kelayakan
Studi kelayakan sebagai informasi kelayakan
ekonomis dan teknis pertambangan, proses analisis mengenai dampak lingkungan, serta
perencanaan pasca tambang. Studi kelayakan tersebut memuat
data dan keterangan mengenai usaha pertambangan tersebut, yang dilakukan oleh
ahli mengenai hal tersebut. Jasa atas kegiatan tersebut merupakan
objek PPN dan PPh Pasal 23/26 tergantung dari siapa yang melaksanakan karena
jasa tersebut memberikan output berupa pemberian informasi yang termasuk
kedalam pengertian jasa teknik yang merupakan Jasa Kena Pajak dan objek PPh
Pasal 23 apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak dalam negeri atau objek
PPh Pasal 26 apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap di Indonesia.
4.
Konstruksi
Setelah diketahui bahwa proyek pertambangan layak
secara ekonomis, teknis dan lingkungan, maka dilakukan pembangunan
seluruh fasilitas operasi produksi atau infrastruktur. Pembangunan
infrastruktur biasanya dilakukan oleh perusahaan konstruksi, sehingga Jasa konstruksi terkena PPN karena
merupakan Jasa Kena Pajak dan PPh Pasal 4 ayat (2) dimana
hal ini sesuai dengan PPh Pasal 4 ayat (2) huruf d yang berbunyi: “Penghasilan
di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: d. Penghasilan dari transaksi
pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah
dan/atau bangunan.”
5.
Penambangan
Penambangan merupakan bagian kegiatan
usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan atau batubara dan mineral
ikutannya. Kegiatan ini Kegiatan ini biasanya meliputi land clearing (proses pembukaan lahan),
pengeboran dan penggalian, pengolahan/pemurnian, pengangkutan dan penjualan.
Atas jasa yang dilakukan oleh pihak ketiga tersebut terutang PPN karena jasa
penambangan merupakan Jasa Kena Pajak dan merupakan objek PPh Pasal 23/26
dimana tertuang dalam pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor
244/PMK.03/2008 yang mengatakan bahwa:
1.
Imbalan sehubungan dengan jasa lain
selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008,
dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
2.
Jenis jasa lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri dari:
g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang
penambangan selain migas;
dan di tegaskan dalam pasal 2 ayat 2 yang berbunyi: “Jasa
penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf g adalah semua jasa penambangan dan jasa
penunjang di bidang pertambangan umum berupa:
a.
Jasa pengobaran;
b.
Jasa penebasan;
c.
Jasa pengupasan dan pengeboran;
d.
Jasa penambangan;
e.
Jasa pengangkutan/system transportasi,
kecuali jasa angkutan umum;
f.
Jasa pengolahan bahan galian;
g.
Jasa reklamasi tambang;
h.
Jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal,
manufaktur, fabrikasi dan penggalian/pemindahan tanah;
i.
Jasa lainnya yang sejenis di bidang
pertambangan umum.
Berdasarkan hal tersebut, karena jasa penambangan
termasuk dalam pengertian jasa lain sehingga merupakan objek PPh Pasal 23
apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak dalam negeri atau objek PPh Pasal
26 apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha
tetap di Indonesia.
6.
Reklamasi
Reklamasi menurut UU No. 4 Tahun 2009 adalah kegiatan
yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan,
dan memperbaiki kualitas lingkungan, dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali
sesuai peruntukannya. Apabila proses reklamasi dilakukan oleh pihak ketiga maka
akan terutang PPN karena merupakan Jasa
Kena Pajak dan merupakan objek PPh pasal
23/26 karena jasa reklamasi termasuk dalam jasa penambangan dan jasa penunjang
di bidang pertambangan umum sesuai dengan pasal 2 ayat 2 huruf g Peraturan
Menteri Keuangan RI Nomor 244/PMK.03/2008 yang termasuk dalam pengertian jasa
lain sehingga merupakan objek PPh Pasal 23 apabila yang melaksanakan adalah
Wajib Pajak dalam negeri atau objek PPh Pasal 26 apabila yang melaksanakan
adalah Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.
3.2 Aspek Pajak Penghasilan
3.2.1 Biaya yang Diperbolehkan Menjadi Pengurang
Penghasilan dalam Industri Pertambangan Umum (Pasal 6 UU PPh)
Mengenai
PPh, pengertian biaya-biaya yang boleh dikurangkan (deductible expenses) berdasarkan UU PPh diikuti dalam kontrak
karya. Dalam kontrak karya, deductible
expenses itu dibagi dalam kelompok-kelompok sebagai berikut (Mansury,
1999):
1.
Pre-production
expenses
Pre-production expenses termasuk biaya yang dikeluarkan pemegang
saham asing sebelum didirikannya PT perusahaan pertambangan. Pemegang saham
dapat diberi izin, untuk melakukan “preliminary
survey”di daerah atau area yang akan diberikan kepadanya. Biaya yang
dikeluarkan pemegang saham tersebut dapat menjadi biaya perusahaan pertambangan
yang nantinya boleh diamortisasi. Selain itu, yang termasuk biaya ini misalnya,
adalah biaya perjalanan ke lokasi area dan biaya untuk mendapat izin “preliminary survey” tersebut.
2.
Exploration
expenses
Exploration expenses merupakan biaya untuk memperkirakan
nilai dari kandungan mineral atau mineral
deposits yang meliputi:
a.
Biaya pembuatan camp
b.
Imbalan untuk sumber daya manusia
c.
Sewa tanah atau land rent yang dibayar kepada pemerintah
d.
Biaya pembuatan jalan menuju ke lokasi
pertambangan yang bersangkutan
e.
Biaya penyambungan listrik dan pengadaan
air
f.
Pembuatan fasilitas komunikasi proyek
serta semua biaya lain dalam pengembangan mining
area yang bersangkutan
3.
Operating
expenses, meliputi:
a.
Premi asuransi untuk harta berwujud dan
inventaris
b.
Premi asuransi guna menjamin
berlangsungnya operasi perusahaan agar tidak terganggu dan premi untuk menjamin
biaya guna tuntutan kerugian
c.
Biaya untuk menutup kerusakan dan
kerugian yang tidak sepenuhnya dipikul oleh perusahaan asuransi
d.
Pembayaran jasa yang diberikan pihak
lain berdasarkan suatu kontrak
e.
Biaya pembayaran listrik, air, dan
telepon.
f.
Royalti
g.
Bunga
h.
Pembayaran lain sehubungan dengan paten,
design, dan jasa teknik.
i.
Kerugian sebagai akibat keausan,
pencurian, inventaris yang menyebabkan inventaris tersebut tidak dapat dipakai
lagi dalam operasi perusahaan
j.
Pembayaran sewa harta berwujud
k.
PBB
l.
Royalti yang dibayar kepada pemerintah
sehubungan dengan hak menambang yang diberikan pemerintah kepada perusahaan
pertambangan yang bersangkutan
m.
PPN yang tidak dapat dikreditkan
n.
Bea Materai
o.
Bea Pengalihan Harta
p.
Bea Masuk
q.
Biaya processing hasil tambang
r.
Biaya pengepakan, pemuatan, pengangkutan
dan pengapalan hasil tambang
s.
Biaya perbaikan dan pemeliharaan
t.
Commissions
and discounts termasuk yang dibayarkan kepada afiliasi yang sama
besarnya dengan yang dibayarkan kepada pihak lain sehubungan dengan transaksi
serupa
u.
Cadangan biaya aklamasi yang dihitung
atas dasar taksiran dari biaya aklamasi sejak permulaan operating period hingga dengan selesainya kontrak.
v.
Biaya bunga juga diperkenankan
dikurangkan, termasuk untuk pinjaman dari pemegang saham (asalkan modal
perseroan telah disetor penuh). Biaya bunga tersebut dapat dikurangkan asalkan debt equity ratio sesuai dengan tabel
berikut:
Tabel 3.1 Debt
Equity Ratio
Investasi dalam US$
|
Debt Equity Ratio
|
200.000.000,00 atau kurang
|
5:1 (untuk generasi V, VI, dan
VII)
|
Lebih dari 200.000.000,00
|
8:1 (untuk generasiV, VI, dan
VII) atau 3:1 (untuk generasi III dan IV)
|
Sumber:
Mansury, 1999
4.
Selling
expenses & General and
administration expenses, meliputi:
a.
Gaji, upah, dan imbalan pekerjaan lain
b.
Semua fasilitas yang diperlukan di
daerah pertambangan untuk pendidikan dan pelatihan karyawan beserta keluarganya
dan untuk kegiatan keagamaan
c.
Biaya administratif umum untuk melakukan
penelitian dan pengembangan, pengembangan pasar, serta jasa teknik, jasa hukum,
dan jasa akuntansi
5.
Capital
cost
3.2.2
Biaya yang Tidak
Diperbolehkan Menjadi Pengurang Penghasilan dalam Industri Pertambangan Umum
(Pasal 9 UU PPh)
Berdasarkan
Pasal 9 ayat 1 huruf e UU PPh, penggantian atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali
penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan di daerah tertentu yang berkaitan
dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan, tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan
Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
Menurut
Mansury (1999), imbalan kepada karyawan dalam bentuk natura atau kenikmatan,
perlakuan pajaknya dalam kontrak karya tidak berbeda dengan peraturan dalam UU
PPh, dengan pengecualian, bahwa apabila imbalan dalam bentuk natura atau
kenikmatan tersebut diberikan di daerah terpencil maka tidak termasuk dalam
biaya yang tidak diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan. Dalam kontrak
karya, benefit in kind yang diberikan
di daerah terpencil, meliputi:
1.
Fasilitas pengangkutan bagi karyawan dan
keluarga dari tempat penerimaan pegawai di Indonesia ke daerah pertambangan
yang bersangkutan, baik lewat darat, laut, maupun udara dengan kelas ekonomi,
2.
Perumahan bagi karyawan dan keluarganya
di daerah pertambangan,
3.
Imbalan yang diberikan dalam bentuk
natura, seperti makanan dan minuman yang diberikan di daerah pertambangan, baik
untuk karyawan di tempat kerja maupun bahan makanan untuk keluarganya,
4.
Perawatan kesehatan yang diberikan di
tempat pekerjaan maupun di tempat lain di Indonesia asalkan tidak dapat
diperoleh dalam wilayah pertambangan, termasuk:
-
Medical
check-ups dan perawatan kesehatan yang diperlukan untuk dapat
melakukan pekerjaan di daerah pertambangan,
-
Perawatan kesehatan dan perawatan rumah
sakit, baik di daerah pertambangan maupun di wilayah lain di Indonesia,
5.
Fasilitas pendidikan bagi keluarga
karyawan terbatas pada pendidikan umum, seperti SD, SMP, SMU, ataupun
pendidikan lain yang setingkat,
6.
Fasilitas olahraga di daerah
pertambangan, tidak termasuk golf, perahu, berburu, pacuan kuda, dan
berselancar,
7.
Fasilitas perjalanan dalam negeri bagi
karyawan, termasuk karyawan asing, sekali setahun paling lama 14 hari, terbatas
penggantian tunjangan perjalanan pulang pergi,
8.
Tunjangan atau fasilitas pengangkutan
bagi karyawan dan keluarganya, dari daerah pertambangan ke daerah asal
karyawan, pada saat pemutusan hubungan kerja, pensiun, atau sebab lainnya.
Benefit in kind dalam
kontrak karya tersebut diatas merupakan ketentuan pelaksanaan dari pasal 9 ayat
1 huruf e UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor. 83/PMK.03/2009, yang
ketentan selengkapnya adalah sebagai berikut:
Pasal 2
Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan
penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah
:
- Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau
minuman bagi seluruh Pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan.
- Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau
kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah
tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong
pembangunan di daerah
tersebut.
- Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan
keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja
atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya.
Pasal 3
Pengeluaran untuk
penyediaan makanan dan/atau minuman bagi Pegawai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf a
meliputi:
- pemberian makanan dan/atau minuman yang disediakan
oleh pemberi kerja di tempat kerja,
atau
- pemberian kupon makanan dan/atau minuman bagi
Pegawai yang karena sifat pekerjaannya tidak dapat memanfaatkan pemberian
sebagaimana dimaksud pada huruf a, meliputi Pegawai bagian pemasaran,
bagian transportasi, dan dinas luar lainnya.
Pasal 4
1.
Penggantian atau imbalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf b adalah sarana dan fasilitas di lokasi kerja untuk :
a. tempat tinggal, termasuk
perumahan bagi Pegawai dan keluarganya;
b. pelayanan kesehatan;
c. pendidikan bagi Pegawai dan
keluarganya;
d. peribadatan;
e. pengangkutan bagi Pegawai dan
keluarganya;
f. olahraga bagi Pegawai dan
keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan kuda, dan terbang
layang,
sepanjang sarana dan fasilitas
tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus menyediakannya
sendiri.
2.
Daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf b adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak
dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan
sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut maupun udara,
sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi
yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa
pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai
kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan
mineral.
3.
Pengeluaran untuk pembangunan sarana dan fasilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun disusutkan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Pasal 5
Pemberian natura dan kenikmatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf c meliputi pakaian dan peralatan untuk keselamatan
kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), sarana antar jemput Pegawai,
serta penginapan untuk awak kapal, dan yang sejenisnya.
3.2.3
Undang-undang Pajak Penghasilan Pasal
11
Berdasarkan
UU PPh pasal 11 ayat 6, untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif
penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:
Tabel 3.2. Tarif Penyusutan atau Amortisasi UU PPh Pasal
11
Kelompok Harta Berwujud
|
Masa Manfaat (tahun)
|
Tarif Penyusutan atau Amortisasi
|
SLM (%)
|
DDM (%)
|
I.
Bukan Bangunan
|
|
|
|
Kelompok 1
|
4
|
25
|
50
|
Kelompok 2
|
8
|
12,5
|
25
|
Kelompok 3
|
16
|
6,25
|
12,5
|
Kelompok 4
|
20
|
5
|
10
|
II.
Bangunan
|
|
|
|
Permanen
|
20
|
5
|
-
|
Tidak Permanen
|
10
|
10
|
-
|
Sumber:
Diolah kembali oleh Penulis
Dalam
beberapa generasi kontrak karya, yaitu generasi keenam dan ketujuh, harta yang
dapat disusutkan juga dibagi menjadi dua golongan yaitu bukan bangunan dan
bangunan, serta kepada perusahaan pertambangan diberikan fasilitas untuk
melakukan penyusutan lebih cepat sesuai dengan tabel berikut (Mansury, 1999):
Tabel 3.3 Tarif Penyusutan atau Amortisasi Kontrak Karya
Generasi 6 dan 7
Group of Assets
|
Economic Life (years)
|
Tarif Penyusutan atau Amortisasi
|
SLM (%)
|
DDM (%)
|
I.
Non-Building (Intangible assets)
|
|
|
|
Group 1
|
2
|
50
|
100
|
Group 2
|
4
|
25
|
50
|
Group 3
|
8
|
12,5
|
25
|
Group 4
|
10
|
10
|
20
|
II.
Building
|
|
|
|
Permanent
|
20
|
10
|
-
|
Semi-Permanent
|
10
|
20
|
-
|
Sumber:
Diolah kembali oleh Penulis
Adapun
harta yang dapat diamortisasi adalah harta berwujud yang mempunyai masa manfaat
lebih dari satu tahun seperti (Mansury, 1999)
1.
Biaya untuk mendapatkan hak paten,
konsessi, dan hak pemakaian yang diizinkan, kontrak sewa menyewa harta tak
berwujud,
Semua biaya yang dipikul sebelum mulainya operating period, termasuk biaya untuk
mendapatkan hak penambangan atau untuk mendapatkan hak melakukan survey atau biaya untuk memperoleh
informasi penambangan dan informasi survey, survey umum, exploration feasibility and development, serta biaya pelatihan
karyawan.
3.3
Aspek
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Industri Pertambangan
3.3.1
Aspek PPN pada
Pertambangan Mineral (kecuali Batubara)
Produk dalam rangka proses penambangan
dan pabrikasi terdapat objek yang dikenakan PPN, khususnya pada pertambangan
mineral berupa emas, seperti yang digambarkan pada tabel berikut (Muljono,
2009):
Tabel 3.4 Perlakuan PPN Tambang Emas
Produk
|
Perlakuan perpajakan
|
Bijih emas, bijih perak, gold ore
|
Non- BKP
|
Dore ingot
|
BKP
|
Butiran emas, kristal perak
|
BKP
|
Emas batangan
|
Non-BKP
|
Emas koin*
|
BKP
|
Sumber:
Muljono, 2009
Berdasarkan
Surat Edaran Dirjen Pajak S-871/PJ.51/2005 tentang Penegasan Perlakuan PPN atas
Emas Koin Logam Mulia: (a.) Emas koin
tidak termasuk sebagai jenis barang yang tidak dikenakan PPN, oleh karena itu
atas penyerahannya dikenakan PPN. Selain itu, Berdasarkan UU PPN pasal 4A ayat
2, jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok
barang yang salah satunya adalah barang hasil pertambangan atau hasil
pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, yaitu dalam penjelasan
disebutkan salah satunya, berupa bijih besi, bijih timah, bijih tembaga, bijih
nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.
3.3.2
Aspek PPN pada
Pertambangan Batubara
Berdasarkan UU PPN pasal 4A ayat 2,
jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok
barang yang salah satunya adalah barang hasil pertambangan atau hasil
pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, yaitu berupa batubara sebelum
diproses menjadi briket batubara.
Selain
itu, berdasarkan peraturan lain, terdapat \pengenaan PPN atas Dana Hasil
Produksi Batubara (DHPB)
Perusahaan
Kontrak Swasta dalam pertambangan batubara, yaitu sebagai berikut:
a.
Keputusan Presiden No. 75/1996 Pasal 3
ayat (1) Perusahaan Kontraktor Swasta wajib menyerahkan 13.5% dari hasil
produksi batubaranya secara tunai kepada pemerintah atas harga pada saat di
atas kapal (Free on Board) atau pada
harga setempat (at sale point).
b.
Keputusan Menteri Keuangan No.
72/KMK/04/1996 Pasal 1 ayat (2) dan (3) DPP PPN adalah 100/110 dari nilai
imbalan sebesar 13.5% dari hasil produksi batubara Perusahaan Kontraktor Swasta
yang diserahkan ke pemerintah. Tarif PPN yang berlaku tetap 10%.
Berdasarkan
peraturan tersebut, dapat dilihat bahwa DHPB sudah termasuk PPN maka Kontraktor
Swasta tidak perlu menghitung dan menyetor sendiri PPN yang terhutang terpisah
dari DHPB dan sebagian DHPB akan digunakan oleh pemerintah untuk membayar PPN
yang terutang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Keputusan
Presiden Nomor 75 Tahun 1996 berarti yang menanggung PPN tersebut adalah
pemerintah. Selanjutnya, PPN yang terutang atas DHPB tersebut tidak dapat
dikreditkan oleh Kontraktor Swasta yang bersangkutan.
3.4
Aspek PPnBM pada
Industri Pertambangan
Berdasarkan UU PPN No.42 Tahun 2009 Pasal 5, PPnBM
dikenai atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan
oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya, dan impor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah. Pengenaan PPnBM ini hanya dikenakan satu kali, ini sesuai dengan pasal 5 ayat 2 UU PPN yang
berbunyi “Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada
waktu penyerahan Barang Kena Pakal yang tergolong mewah oleh pengusaha yang
menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
Barang-barang yang dikenakan PPnBM berdasarkan
Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2013 merupakan barang
yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari emas atau platina atau dari logam
yang dipalut dengan emas atau platina atau campuran dari padanya, dan kelompok
barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu mulia (seperti
intan, rubi, safir dan jamrud) dan/atau mutiara atau campuran daripadanya.
Tarif pajak yang di kenakan terhadap barang mewah terendah adalah 10% dan tarif
tertinggi adalah 75% yang spesifikasinya diatur dalam lampiran
130/PMK.011/2013.
3.5 Aspek Pajak Bumi dan Bangunan pada Industri Pertambangan
1.
Sesuai dengan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara pada:
a.
Pasal 1 Angka 1
menyatakan bahwa Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam
rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang
rneliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta
kegiatan pascatambang;
b.
Pasal 128 menyatakan
bahwa Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan
daerah. Pendapatan negara yang dimaksud yang terdiri atas penerimaan pajak dan
penerimaan negara bukan pajak. Adapun penerimaan pajak yang dimaksud terdiri
atas pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan serta bea masuk dan cukai.
Sedangkan penerimaan negara bukan pajak terdiri atas iuran tetap, iuran
eksplorasi, iuran produksi, dan kompensasi data informasi. Dalam hal pendapatan
daerah terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah dan pendapatan lain yang sah
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.
Sesuai dengan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang pajak Bumi dan
Bangunan yang menjadi obyek pajak bumi dan bangunan adalah bumi dan/atau
bangunan dan yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara
nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi,
dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
3.
Sesuai dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan
Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 1 Angka 8, Sektor Pertambangan adalah objek
Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan
galian dari semua golongan yaitu bahan galian strategis, bahan galian vital dan
bahan galian lainnya;
4.
Sesuai dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan
Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 8, Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas
objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas selain Pertambangan Energi Panas Bumi
dan Galian C ditentukan sebagai berikut:
a.
Areal Produktif
adalah sebesar 9,5 x hasil bersih galian tambang dalam satu tahun sebelum tahun
pajak berjalan.
b.
Areal belum
produktif, tidak produktif dan emplasemen serta areal lainnya didalam atau
diluar wilayah kuasa pertambangan, adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa
tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.
c.
Objek Pajak berupa
bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal
1 angka 15.
5.
Sesuai dengan Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ.6/1999 Tentang Penyempurnaan Tata
Cara Pengenaan Pbb Sektor Pertambangan Non Migas Selain Pertambangan Energi
Panas Bumi Dan Galian C Sebagaimana Diatur Dengan Surat Edaran Nomor :
Se-26/Pj.6/1999, pengenaan PBB atas areal belum produktif dan areal tidak
produktif disempurnakan dengan memperhitungkan tahapan kegiatan penambangan
sebagai berikut:
a.
Penyelidikan umum,
adalah sebesar 5% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual
Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
b.
Eksplorasi pada
tahun ke-satu s/d ke-lima, masing-masing sebesar 20% dari luas areal Wilayah
Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana
ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas
nama Menteri Keuangan;
c.
Eksplorasi untuk
perpanjangan I dan II, adalah sebesar 50% dari luas areal Wilayah Kuasa
Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan
dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama
Menteri Keuangan;
d.
Pembangunan Fasilitas
Eksploitasi (konstruksi) sampai dengan produksi adalah luas areal Wilayah Kuasa
Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan
dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama
Menteri Keuangan.
Formula perhitungan Ketetapan PBB untuk pertambangan yang
dikelola berdasarkan Kontrak Karya (Contract
of Work), dasar hukumnya adalah: Pasal 30 UU No.
12/1985. Terhadap obyek pajak dalam bidang penambanganminyak dan gas
bumi serta dalam bidang penambangan lainnya, sehubungan denganKontrak Karya dan
Kontrak Bagi Hasil yang masih berlaku pada saat iniberlakunya Undang-undang
ini, tetap dikenakan Iuran Pembangunan Daerah (Perda) berdasarkan
ketentuan-ketentuan dalam perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang
masih berlaku.
Dalam Penjelasan Pasal 30, dijelaskan bahwa Ketentuan
Undang-undang ini baru berlaku terhadap objek pajak yang digunakan dalam rangka
Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil dalam bidang penambangan minyak dan gas
bumi serta dalam bidang penambangan lainnyayang perjanjiannya ditandatangani
sejak berlakunya Undang-undang ini yaitu tanggal 1 Januari 1986, sedangkan
untuk Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang telah ada tetap berlaku
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil
tersebut.
- Kep. Menkeu No. 174/KMK.04/1991 jo Kep. Menkeu 273/KMK.04/ 1995
- SE DJP No. SE-20/PJ.6/1993
- SE DJP No. SE-40/PJ.6/1995
Formula perhitungan:
NJOP maupun
pengenaan PBB-nya dalam setiap Kontrak Karya yang bersangkutan:
- Tahap Pra Produksi
PBB = Iuran Tetap (deadrent)
- Tahap Produksi
PBB = Iuran Tetap + (0,5% x
20% x Penerimaan Kotor)
Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) untuk:
a. Wilayah Kontrak Karya atau Wilayah Pertambangan; dan
b. Penggunaan bumi dan bangunan dimana perusahaan
membangun fasilitas untuk operasi penambanganannya.
Perusahaan harus membayar
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam Rupiah atau dalam mata uang lain yang disetujui
bersama, sebagai berikut:
1.
Pada tahap-tahap Pra-Produksi (Penyelidikan Umum,
Explorasi, studi kelayakan dan konstruksi), perusahaan harus membayar Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) yang jumlahnya sama dengan jumlah iuran tetap
(deadrent).
2.
Pada tahap operasi/produksi perusahaan harus membayar PBB
yang jumlahnya sama dengan jumlah iuran tetap ditambah dengan jumlah yang
besarnya 0,5% x 20% dari penerimaan kotor hasil operasi pertambangan.
3.
Selain itu, perusahaan juga harus membayar Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) atas tanah/perairan bangunan yang berada di luar atau di dalam
areal Kontrak Karya/ Wilayah pertambangan yang dipakai oleh perusahaan untuk
fasilitas yang tertutup untuk umum, yang besarnya ditetapkan berdasarkan meter
persegi luas tanah/perairan dan luas serta jenis bangunan sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 dan klasifikasi dan besarannya Nilai
Jual Obyek Pajak (NJOP) yang ditetapkan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak serta pembayaran PBB tersebut akan dilakukan sepanjang berlakunya
persetujuan ini.
4.
Pengenaan dan pembayaran PBB untuk areal Kontrak Karya/
Wilayah pertambangan pada tahap Operasi Produksi dan untuk tanah/ perairan dan
bangunan yang dipakai oleh perusahaan, mengikuti tata cara pengenaan
sebagaimana dimaksud pada butir (ii) dan butir (iii) di atas dan tata cara
pembayaran PBB yang berlaku secara umum.
3.6
Aspek
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan pada Industri Pertambangan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adadalah
pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang
selanjutnya disebut pajak. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut
merupakan perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak
atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Sehingga, berkaitan
dengan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) di sektor pertambangan
erat kaitannya dengan bagaimana orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak
memperoleh hak atas tanahnya untuk kegiatan pertambangan. Untuk mengetahui berapa
besarnya bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang terutang sebagaimana
dijelaskan di atas, adapun Nilai Perolehan Objek Kena Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP) sebagai dasar perhitungan pajak terutang secara regional paling
banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan Rp 300.000.000,-(tiga
ratus juta rupiah) atas waris atau hibah wasiat. Ketentuan ini sebagimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah an
Bangunan.
3.7
Aspek Bea Meterai pada Industri Pertambangan
Berdasarkan
Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang
Bea Materai disebutkan bahwa bea meterai terhutang oleh pihak yang menerima
atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak
yang bersangkutan menentukan lain. Sehingga, subjek pajak bea meterai adalah
pihak yang mendapatkan manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak
yang bersangkutan menentukan lain.
Sedangkan objek bea mterai adalah dokumen. Tarif bea materai adalah Rp 3.000,-
dan Rp 6.000,-
Berkaitan dengan
bea meterai di sektor pertambangan, seperti yang kita ketahui bahwa keberadaan
perusahaan pertambangan yang mempunyai hak pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian tambang erat kaitannya
dengan kontrak karya, kuasa pertambangan atau kontrak production
sharing antara pemerintah dengan perusahaan tersebut yang dibuat lebih dari
satu pihak dimana berisi surat perjanjian, akta-akta perjanjian, surat berharga
dan lain sebagainya. Untuk itu tarif bea materai atas kontrak karya, kuasa
pertambangan atau kontrak production sharing adalah Rp 3.000,-
atau Rp 6.000,- bergantung pada jenis dan isi dari dokumen yang akan
disepakati.
3.8
Aspek Pajak Daerah pada Industri Pertambangan
Berdasarkan
Pasal 2 ayat 2 huruf f UU Nomor 34 Tahun 2000
tentang Pajak dan Retribusi Daerah, dalam industri pertambangan, pajak
atas pengambilan bahan galian golongan C termasuk dalam pajak kabupaten/kota.
Tarif pajak bahan galian golongan C adalah sebesar 20% (dua puluh persen).
Besarnya pajak pengambilan bahan galian golongan C yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif pajak bahan galian golongan C tersebut dengan
dasar pengenaan pajak.
Sebagai
salah satu contoh peraturan daerah yang mengatur mengenai pajak pengambilan
bahan galian golongan C adalah Peraturan Daerah Kabupaten Sawahlunto Nomor 2
Tahun 2006 tentang Pajak Bahan Galian Golongan C. Dalam peraturan tersebut,
permasalahan yang dibahas tidak jauh berbeda dengan UU Nomor 34 Tahun 2000
dimana dimuat secara jelas mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak,
cara pembayaran pajak, cara penagihan pajak, pengurangan, peringanan, dan
pembebasan pajak.
3.9
Aspek
Penerimaan Negara Bukan Pajak Berupa Royalti
3.9.1 Royalti sehubungan produksi Perseroan Mineral
Perusahaan harus membayar royalti sehubungan dengan kandungan
mineral produk dari kawasan pertambangan, sejauh bahwa setiap mineral dalam
produk tersebut harus mineral yang nilai sesuai dengan praktik umum dibayarkan
atau dibayarkan kepada Perseroan dengan pembeli. Royalti harus dibayar dalam
Rupiah atau mata uang lainnya yang disetujui bersama dan harus dibayar pada
atau sebelum hari terakhir dari bulan berikutnya setiap kuartal kalender.
Setiap pembayaran harus disertai dengan pernyataan secara rinci yang wajar
menunjukkan dasar perhitungan royalti sehubungan dengan pengiriman atau
penjualan selama kuartal kalender sebelumnya.
Tarif pengenaan royalti sehubungan dengan mineral diatur
dalam PP no 9 tahun 2012. Dalam PP tersebut dapat dilihat daftar tarif pengenaan
royalti seperti contohnya tarif untuk emas adalah sebesar 3,75% dari harga
jual, perak sebesar 3.25% dari harga jual dan untuk tembaga sebesar 4.00% dari
harga jual. Namun, pada kenyataannya tarif yang diatur pada PP no 9 taahun 2012
tidak berjalan karena, perusahaan membayar royalti sesuai dengan tarif yang
disepakati dalam kontrak. Seperti contohnya pada kontrak karya PT. Freeport
Indonesia, Royalti akan dihitung dari tarif yang ditentukan sebagai berikut:
(I)
Dalam kasus emas:
1.
Jika harga penjualan emas adalah US $ 300 per troy ounce atau lebih rendah, tarif
royalti yang berlaku adalah: 1% dari harga jual.
2.
Jika harga jual emas adalah US $ 400 per troy ounce atau lebih tinggi, tarif royalti yang berlaku adalah: 2%
dari harga jual.
3.
Jika harga jual (G) dari emas adalah antara US $ 300 per troy ounce dan US $ 400 per troy ounce, tarif royalti yang berlaku
adalah:
{1 + (G - 300)} %
dari harga jual
100
(II) Dalam kasus
perak:
1.
Jika harga jual perak adalah US $ 10 per troy ounce atau lebih rendah, tarif royalti yang berlaku adalah: 1%
dari harga jual.
2.
Jika harga jual perak adalah US $ 15 per troy ounce atau lebih tinggi, tarif royalti yang berlaku adalah: 2%
dari harga jual.
3.
Jika harga penjualan (S) dari perak adalah antara US $ 10 per
troy ounce dan US $ 15 per troy
ounce, tarif royalti yang berlaku adalah:
{1 + (S -
10)} % dari harga jual
5
(III) Dalam kasus
tembaga:
0.
Jika harga penjualan tembaga adalah US $ 750 per troy ounce atau lebih rendah, tarif
royalti yang berlaku adalah: 1% dari harga jual.
1.
Jika harga penjualan tembaga adalah US $ 925 per troy ounce atau lebih tinggi, tarif
royalti yang berlaku adalah: 2% dari harga jual.
2.
Jika harga penjualan (P) dari tembaga adalah antara US $ 750 per troy ounce dan US $ 925 per troy ounce,
tarif royalti yang berlaku adalah:
{1 + (P -
750)} % dari harga jual
175
Keterangan:
- “Harga Tembaga Yang Berlaku” harus diartikan, sehubungan dengan tembaga
yang terkandung dalam konsentrat
yang dijual oleh perusahaan dalam
setiap kuartal kalender, harga akan sama seperti harga
resmi London Metal Exchange, harga jual untuk tembaga-kelas yang lebih tinggi yang diterbitkan
oleh "Metals
Week" dengan memakai harga rata-rata pada kuartal kalender tersebut.
- Istilah “Harga Emas Yang Berlaku” berarti, sehubungan dengan emas yang terkandung sebagai mineral yang terasosiasi dalam konsentrat yang
dijual oleh perusahaan dalam setiap kuartal kalender,
harga akan sama dengan rata-rata
harga di London bullion market spot morning ("initial") and
afternoon ("final”), untuk harga emas yang dijual dalam mata uang Amerika Serikat diberitahukan pada "Metals Week" harga tersebut
merupakan harga rata-rata pada kuartal kalender tersebut.
- Istilah “Harga Silver Yang Berlaku”
berarti, sehubungan dengan perak
yang terkandung sebagai mineral yang tergabung dalam konsentrat yang dijual oleh perusahaan dalam setiap kuartal kalender, dengan
harga sama dengan harga emas
tempat para broker London berkumpul, untuk harga emas yang dijual dalam mata uang Amerika Serikat
diberitahukan pada "Metals Week"
harga tersebut merupakan harga rata-rata pada kuartal kalender tersebut.
- Istilah “hutang”,
bila digunakan dalam hubungannya dengan kadar tembaga, emas dan perak yang
termasuk dalam koten konsentrat yang dijual oleh Perusahaan, berarti bahwa sebagian
dari konten tersebut untuk harga
yang dibayar kepada Perusahaan.
- “pound” harus diartikan, sehubungan dengan tembaga,
enam belas ons (avoirdupois).
- “ons” harus diartikan, sehubungan dengan emas
dan perak, per troy ounce
dari 31,1035 gram.
- “biaya peleburan dan pemurnian, pengangkutan dan biaya penjualan lain” harus diartikan sehubungan dengan konsentrat yang dijual oleh Perusahaan, jumlah keseluruhan biaya dalam hal seperti konsentrat dapat dikurangkan
dari penjualan kotor dalam menentukan Penjualan Bersih.
3.9.2
Royalti sehubungan dengan
Batubara
Tarif
pengenaan royalti untuk batubara diatur dalam PP no 9 tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif
atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral. Menurut PP ini, bagi
pemegang IUP, batubara dengan kualitas di bawah 5.100 kcal/kg dikenakan royalti
sebesar 3%, batubara berkalori antara 5.100 kcal/kg hingga 6.100 kcal/kg
dikenakan royalti sebesar 5%, dan batubara dengan kualitas di atas 6.100 kcal
dikenakan royalti mencapai 7%. Kemudian, pemegang PKP2B dikenakan royalti
sebesar 13,5%.
BAB
IV
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan
sebelumnya mengenai aspek perpajakan pada industri pertambangan, maka dapat
diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut:
4.1
Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang sebagaimana
telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, hasil pembahasan ini mendapat
simpulan bahwa aspek perpajakan yang terdapat pada industri pertambangan
umum dapat berupa Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan
atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, BPHTB, dan Bea Meterai. Namun aspek
perpajakan dalam industri pertambangan harus memperhatikan peraturan pada
setiap generasi Kontrak Karya maupun PKP2B. Selain
itu, terdapat juga aspek Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa royalti pada
industri pertambangan umum.
DAFTAR PUSTAKA
Fitriandi, Primandita.; Aryanto, Yuda.; dan Priyono
Agus Puji. 2015. Kompilasi Undang-Undang Perpajakan Terlengkap. Jakarta:
Salemba Empat
Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Nomor : 1453 K/29/MEM/2000 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas
Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 23
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara.
Republik Indonesia. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Jakarta, 2009.
Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
33 ayat 3