Perpajakan atas Usaha Pertambangan

DOUNLOWD MAKALAH PERPAJAKAN PADA USAHA PERTAMBANGAN
Perpajakan atas Usaha Pertambangan


link 1
BAB I

PENDAHULUAN



1.1              Latar Belakang Masalah

            Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Menurut United States Geological Survey (2015), dalam sektor pertambangan, Indonesia menempati posisi produsen terbesar ketujuh untuk komoditas tembaga, posisi kedelapan untuk komoditas emas dan timah, dan posisi kesembilan untuk komoditas nikel. Selain itu, berdasarkan Coal Facts 2014  pada tahun 2014, Indonesia menempati posisi produsen terbesar keempat dan peringkat pertama sebagai eksportir untuk komoditas batubara (World Coal Association, 2014).  Dengan profil demikian, Indonesia menjadi negara yang menjanjikan bagi kalangan pelaku industri pertambangan, khususnya bagi para investor.
             Sektor pertambangan menjadi salah satu sektor yang memberikan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia. Kontribusi sektor pertambangan dalam perekonomian Indonesia dapat dilihat pada gambar 1.1 berikut:

Gambar 1.1

Kontribusi Sektor Pertambangan terhadap Perekonomian Indonesia


Sumber: BKPM dalam Winzenried dan Adhitya (2014)

            Berdasarkan gambar 1.1 diatas, sektor pertambangan menyumbang sebesar rata-rata 5.26% pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2010-2013 dan rata-rata 18.55% untuk penerimaan ekspor. Namun, Bob Searle (2007) mengatakan bahwa penerimaan atas pemanfaatan sumber daya alam dapat mempengaruhi ketimpangan fiskal vertikal, sehingga terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam pengelolaannya, salah satunya aspek regulasi terkait sistem penerimaan itu sendiri. Penerimaan atas pemanfaatan sumber daya alam yang dikelola harus diatur dengan baik sebagai penggantian belanja investasi untuk penggalian tambang, ongkos manajemen publik karena penyediaan fasilitas, dan biaya untuk menanggulangi dampak lingkungan yang terjadi.
            Sektor pertambangan umum, dimana mencakup mineral dan batubara adalah sumber daya alam (SDA) yang tak terbarukan (non-renewable natural resources) dan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi negara yakni UUD 1945 dalam Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Selanjutnya, dalam Pasal yang sama ayat (4) ditegaskan, bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Disinilah peran pemerintah untuk mengatur dan mengelola regulasi terkait sistem penerimaan, terutama ketentuan-ketentuan perpajakan dalam industri pertambangan, dimana pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara.
Selain diatur didalam UUD 1945 peraturan yang mengatur pengenai usaha pertambangan juga diatur didalam  Undang-Undang No. 11 tahun 1967 yang telah diperbaharui menjadi UU no. 4 tahun 2009 tentang ketentuan-ketentuan Pokok pertambangan dan Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang penanaman modal, sektor pertambangan kira mengalami transformasi yang mengesankan dimana pemerintah melakukan berbagai upaya untuk memberbaiki proses perizinan, transparasi, keringanan pajak, penegakan hukum dan pematapan situasi keamanan dengan harapan untuk menginkatkan sumber penerimaan Negara dari sektor pajak pada bidang pertambangan.
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas maka kelompok kami membuat makalah yang membahas materi tentang Perpajakan pada Usaha Pertambangan.

1.2              Pokok Permasalahan

Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah apa dan bagaimana aspek perpajakan yang terdapat dalam industri pertambangan.

1.3              Tujuan Penulisan

            Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk membahas apa dan bagaimana aspek perpajakan dalam industri pertambangan.

BAB II

KERANGKA TEORI


2.1  Industri Pertambangan

Industri sektor pertambangan dapat dibagi menjadi tiga subsektor yaitu pertambangan umum, minyak dan gas bumi, serta panas bumi atau geothermal (Mansury, 1999). Industri pertambangan memiliki sifat dan karakteristik tertentu antara lain (Muljono, 2009):
·         Eksplorasi bahan galian tambang merupakan kegiatan yang memiliki ketidakpastian tinggi karena meskipun telah dipersiapkan secara cermat dengan biaya yang besar, tidak adajaminan bahwa kegiatan tersebut akan berakhir dengan penemuan cadangan bahan galian yang secara komersial layak untuk ditambang.
·         Bahan galian bersifat deplesi dan tidak dapat diperbaharui (non-renewable) serta untuk melaksanakan kegiatan pertambangan ini, mulai tahap eksplorasi sampai dengan tahap pengolahannya, membutuhkan biaya investasi yang relatif besar, padat modal, berjangka panjang, sarat risiko dan membutuhkan teknologi yang tinggi.
·         Pada umunya operasi perusahaan pertambangan berlokasi di daerah terpencil dan kegiatannya menimbulkan kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup, sehingga setiap perusahaan pertambangan wajib memenuhi ketentuan perundangan yang berlaku mengenai lingkungan hidup, disamping mempunyai konsep pasca tambang yang jelas.
·         Pemerintah Indonesia tidak memberi konsensi penambangan karena menurut peraturan perundangan yang berlaku, segala bahan galian yang berada di wilayah hukum Indonesia adalah kekayaan nasional bangsa Indonesia yang dikuasai dan digunakan oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Untuk dapat berusaha dalam industri pertambangan umum, pemerintah mengeluarkan peraturan yang memberi wewenang kepada badan usaha atau perseorangan untuk melaksanakan pertambangan umum.


            Tulisan akan membahas lebih dalam mengenai pertambangan umum. Pertambangan umum yang dimaksud yaitu pertambangan mineral dan pertambangan batubara. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 23 Tahun 2010  Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara, pertambangan mineral dan batubara dapat digolongkan dalam lima komoditas tambang yaitu, pertambangan mineral radioaktif seperti radium, thorium, uranium, monasit; pertambangan mineral logam seperti itium, berilium, magnesium, kalium, kalsium, emas, tembaga, perak, timbal, seng, timah, nikel, mangaan, platina; pertambangan mineral bukan logam seperti intan, korundum, grafit, arsen, pasir kuarsa, fluorspar, kriolit, yodium, brom, klor, belerang, fosfat;  pertambangan batuan seperti pumice, obsidian, marmer, dan batubara meliputi bitumen padat, batuan aspal, batubara, dan gambut. Pelaku usaha di industri pertambangan dapat berupa instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri, Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan Daerah, koperasi, badan atau perseorangan swasta, perusahaan dengan modal bersama antara negara dan atau daerah dengan koperasi dan atau badan perseorangan swasta, dan pertambangan rakyat.

2.2  Dasar Hukum Usaha Pertambangan di Indonesia

2.2.1        UUD 1945 dalam Pasal 33 ayat (3)

 

Sektor pertambangan umum, dimana mencakup mineral dan batubara adalah sumber daya alam (SDA) yang tak terbarukan (non-renewable natural resources) dan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi negara yakni UUD 1945 dalam Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Selanjutnya, dalam Pasal yang sama ayat (4) ditegaskan, bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Disinilah peran pemerintah untuk mengatur dan mengelola regulasi terkait sistem penerimaan, terutama ketentuan-ketentuan perpajakan dalam industri pertambangan, dimana pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara.

 

 

2.2.2        Undang-Undang No. 4 Tahun 2009

Kegiatan usaha dalam sektor pertambangan umum diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atas perubahan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Pertambangan (UUPP).Pengertian menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 2009, pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Secara ringkas terdapat dua tahapan kegiatan dalam pertambangan umum yaitu eksplorasi yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan serta tahap operasi produksi yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan. Setiap tahap tersebut akan diuraikan sebagai berikut :
1.      Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regions dan indikasi adanya mineralisasi;
2.      Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terpencil dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup;
3.      Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan,termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta, perencanaan pascatambang;
4.      Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan;
5.      Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan atau batubara dan mineral ikutannya;
6.      Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/ atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan;
7.      Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertamhangan untuk rnemindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan/ atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai ternpat penyerahan, sedangkan penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral atau batubara;
8.      Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usai serta penambangan untuk memuiihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.

2.2.3        Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010

 

Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”) mengatur bahwa IUP diberikan oleh Menteri, gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.IUP diberikan kepada:(i) Badan usaha, yang dapat berupa badan usaha swasta, Badan Usaha Milik Negara,atau Badan Usaha Milik Daerah;(ii) Koperasi; dan(iii) Perseorangan, yang dapat berupa orang perseorangan yang merupakan warga NegaraIndonesia, perusahaan firma, atau perusahaan komanditer.Pemberian IUP akan dilakukan setelah diperolehnya WIUP (Wilayah Izin UsahaPertambangan). Dalam satu WIUP dimungkinkan untuk diberikan satu IUP maupunbeberapa IUP.Pasal 36 UU Minerba membagi IUP ke dalam dua tahap, yakni:(i) IUP eksplorasi, yang meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studikelayakan; dan(ii) IUP Operasi Produksi, yang meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahandan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.Dalam Pasal 40 UU Minerba diatur bahwa IUP diberikan terbatas pada 1 jenismineral atau batubara. Dalam hal pemegang IUP menemukan mineral lain dalam WIUPyang dikelolanya, maka pemegang IUP tersebut mendapatkan prioritas untuk mengusahakan mineral yang ditemukannya. Sebelum pemegang IUP tersebutmengusahakan mineral lain yang ditemukannya, diatur bahwa pemegang IUP tersebutwajib mengajukan permohonan IUP baru kepada Menteri, gubernur, bupati/walikotasesuai dengan kewenangannya masing-masing. Dalam hal pemegang IUP tersebut tidakberminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukannya, maka pemegang IUPtersebut memiliki kewajiban untuk menjaga mineral tersebut agar tidak dimanfaatkanpihak lainnya yang tidak berwenang

 

 

2.2.4        Kepmen ESDM No.1453 K/29/MEM/2000

Menurut peraturan perundang-undangan Penanaman Modal Pengusahaan Pertambangan Umum yang tertuang dalam Kepmen ESDM No.1453 K/29/MEM/2000, usaha pertambangan umum dapat dilaksanakan apabila telah mendapatkan persetujuan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral/Gubernur/Bupati/Walikota sesuai lingkup kewenangan masing-masing, bentuk persetujuan tersebut adalah :
1.      Kuasa Pertambangan (KP);
2.      Kontrak Karya (KK) / Contract of Work (CoW);
3.      Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) / Coal Contract of Work (CcoW)
Kuasa Pertambangan (KP) merupakan izin yang diterbitkan pemerintah daerah.  Kontrak Karya (KK) adalah persetujuan yang dibuat antara Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk bidang pertambangan umum, khususnya mineral, yang disetujui oleh pemerintah dengan investor. Sedangkan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) berlaku untuk pengusaha yang menjalankan usaha di bidang pertambangan batubara.

2.3  Wilayah Pertambangan

Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diatur pula mengenai wilayah pertambangan. Wilayah pertambangan adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang verupakan bagian dari tata ruang nasional. Wilayah pertambangan dibagi menjadi tiga. Pertama, Wilayah Usaha Pertambangan yaitu bagian dari wilayah pertambangan yang telah memiliki ketersediaan data potensi, dan/atau informasi geologi. Kepada pemegang IUP akan diberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan. Kedua, Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat. Ketiga, Wilayah Pencadangan Negara, yang selanjutnya disebut WPN, adalah bagian dari wilayah pertambangan yang dicadangkan untuk kepentingan strategis  nasional. Selain itu terdapat  Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang merupakan bagian dari WPN yang dapat diusahakan.


2.4  Resiko Dari Usaha Pertambangan

Kelancaran operasional Perusahaan di tengah beragam risiko yang mungkin timbul akibat faktor internal maupun eksternal merupakan harapan bagi seluruh pihak dalam upaya mencapai tujuan dan cita-cita Perusahaan. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme penanggulangan risiko operasional yang baik dan sistematis melalui penerapan manajemen risiko. Tujuan utama pendekatan manajemen risiko Perusahaan adalah memastikan bahwa Perusahaan selalu melakukan kajian risiko secara menyeluruh atas setiap kegiatan yang telah ditetapkan guna melindungi dan mencapai kepentingan Perusahaan. Selain itu, manajemen risiko memungkinkan Perusahaan mengenali dan mengelola risiko-risikonya dengan membangun sebuah sistem pengawasan dan pengelolaan, sehingga akan meningkatkan kemampuan Perusahaan dalam mencapai visi, misi dan tujuan strategisnya.
Di bawah ini analisa beberapa risiko pertambangan yang  sesuai dengan karakteristik industri pertambangan, yaitu :
1.        Politic Risk
Risiko tambang di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi politik di Indonesia yang diatur dan ditentukan dalam perundangan dan kebijakan seperti : UUD 1945, visi pembangunan nasional, nawacita, Kedaulatan energi, pergantian pemerintahan, pergantian kementerian dan kebijakan-kebijakan lainnya. Sebagai negara yang ekonominya berbasis komoditas, Indonesia sangat terpengaruh oleh perlambatan ekonomi di Cina.
2.        Changing Regulation
Pertambangan di Indonesia telah diatur pada Undang-Undang (UU) No. 4 2009, UU ini mengatur tentang peningkatan nilai tambah batubara dan mineral. Kemudian pelaksanaannya diatur lebih detil oleh Peraturan Menteri (Permen No. 7 tahun 2012) dan mulai efektif setelah diberlakukan PERMEN ini. Implikasi Permen ini adalah  (i) kewajiban perusahan tambang untuk melakukan pengolahan bahan galian tambang di dalam negeri. (ii) pelarangan ekspor bijih mentah atau hasil tambang yang belum dilakukan pengolahan. Dengan adanya Permen ini, maka perusahaan tambang berkewajiban untuk melakukan pembangunan smelter atau pabrik pengolahan mineral. Berapa regulasi yang berimplikasi pada bisnis tambang adalah Domestic Market Obligation (DMO) dan perubahan Royalty (fee). Pada awal tahun ini juga dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) 1/2017 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara serta peraturan turunannya termasuk untuk melakukan divestasi saham hingga 51% secara bertahap. 
3.        Market Price
 Risiko bisnis pertambangan batubara sangat dipengaruhi oleh harga batubara, mengingat batubara adalah sebuah komoditas, sehingga sangat dipengaruhi oleh harga global yang berfluktuasi karena dinamika volume penawaran dan permintaan, sebagaimana yang terjadi pada tahun 2016, komoditas secara keseluruhan mengalami penurunan harga :
a.       Harga minyak (oil) turun drastis sekitar 20% (Brent: dari US$ 48 ke US$ 39 dan WTI dari US$ 46 ke US$ 37). Kondisi ini disebabkan oleh oversupply yang muncul akibat adanya perang kepentingan antara OPEC dan Non OPEC.
b.      Harga komoditas lainnya menurun sebagai dampak dari memburuknya perekonomian Cina yang berimbas pada turunnya demand komoditas.
c.       Harga batubara yang terus menurun sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 dari 141 $/ton menjadi 55 $/ton, sementara ongkos produksi dari tahun ke tahun yang selalu meningkat, membuat perusahaan-perusahaan tambang dan kontraktor pertambangan terus mengalami kerugian sehingga terjadi pengurangan volume proyek sampai dengan proyek ditutup.
Saat ini pasar batubara global masih berada dalam kondisi oversupply, melemahnya pasar batubara global dan rendahnya harga komoditas mengakibatkan produksi dan ekspor Indonesia menurun dan diprediksi kondisi masih akan terus berlanjut di tahun ini dan tahun depan.
4.        Financial Risk
Dari sisi keuangan atau financial risk, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi risiko yaitu ; risiko mata uang, tingkat suku bunga, risiko default counterparty, risiko likuiditas dan risiko yang terkait dengan pasar modal.
Menurunnya harga komoditas dan turunnya kebutuhan menyebabkan market volatility dan ini merupakan tantangan bagi industri tambang.
Menghadapi risiko keuangan, perusahaan memiliki prinsip bahwa “Cash is king”, Perusahaan harus menjaga balance sheet liquidity, dan implementasi memaksimalkan operational cash flow for long-term profitability. Perusahaan tambang dapat secara efektif mengelola liquidity  dengan sustainable cost reductions, increase focus on working capital dan meningkatkan capital effectiveness.
5.        Operational Risk
Pertambangan merupakan proyek pengoperasian dengan keahlian yang tinggi, beberapa risiko terkait operasional yang dapat diidentifikasi adalah : Mining Engineering, Health, Safety, Environment, Proses dan probem produksi, Kualitas Produk, Kontraktor, Rencana Operasi, Ketersediaan lahan, Manajemen Proyek, Kegagalan untuk menemukan sumber daya baru / mempertahankan dan mengembangkan operasi baru (ketidakpastian memperkirakan sumber daya baru), pola cuaca yang tidak normal dan tidak mengikuti musim, pasokan bahan bakar, pergerakan harga batubara, kemampuan untuk mendapatkan alat berat, hubungan masyarakat, terkena peningkatan litigasi, biaya kepatuhan, biaya rehabilitasi lingkungan yang tak terduga, bencana alam, klaim pihak ketiga dapat melebihi polis asuransi yang ada.
6.        Capital Project
Proyek pertambangan merupakan proyek dengan investasi modal yang besar, ada banyak prosedur dan tahapan yang harus dilakukan baik sebelum produksi maupun saat produksi. Mengingat investasi yang besar, maka risiko awal adalah pendanaan pada saat sebelum melakukan produksi (pre-produksi).
Investasi proyek tambang selain membutuhkan modal yang besar, umumnya juga proyek dengan jangka panjang, sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk pengembalian modal, bilamana tidak dilakukan management proyek yang baik, maka dapat terjadi kebangkrutan. The best opportunity to make a positive impact on the lifecycle of a major capital project is during early planning, even before the capital outlay occurs.” Nathan Roost, Advisory, EY.
Pernyataan di atas, mengharuskan para pelaku tambang untuk sangat berhati-hati, cermat dan teliti dalam menghitung studi kelayakan serta digunakan teknik What if AnalysisScenario Planning, Sensitity Analysis dan Simulation. Hal ini sangat penting, apalagi menurut data dari PWC dikatakan bahwa more than 75% of capital projects run over budget.
Dengan ketidakpastian kondisi ekonomi global, efek kebijakan Trump dan sentimen lemah yang terus berlanjut dapat berdampak negatif terhadap permintaan dan harga batubara, hal ini dapat mempengaruhi laba perusahaan. Terkait pembiayaan bank sebagai bagian dari capital project, bank-bank akan memperketat pinjaman di sektor pertambangan.

2.5  Managemen Risiko bagi Pertambangan.

Kelancaran operasional Perusahaan di tengah beragam risiko yang mungkin timbul akibat faktor internal maupun eksternal merupakan harapan bagi seluruh pihak dalam upaya mencapai tujuan dan cita-cita Perusahaan. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme penanggulangan risiko operasional yang baik dan sistematis melalui penerapan manajemen risiko.
a)      Strategi Pengelolaan Risiko Politik, Hukum dan Peraturan.
Terkait dengan risiko politik, hukum dan peraturan tidak ada cara lain kecuali mengikuti hukum dan peraturan atau legal compliance.
b)     Strategi manajemen risiko
Menggunakan pendekatan Cash Flow at Risk (CFAR), yaitu ekspektasi kerugian terburuk dari proyeksi arus kas rencana bisnis dalam keadaan pasar normal pada tingkat kepercayaan 95%
c)      Kegiatan mitigasi risiko
Lindung nilai atas pendapatan dengan instrumen keuangan, menilai CFAR  vs limit BOD
d)     Strategi Lindung nilai
Atas fluktuasi nilai dolar Amerika Serikat akan berdampak negatif terhadap kinerja keuangan perusahaan perusahaan tambang, maka strategi yang tepat dalam mitigasi risiko mata uang  adalah dengan Lindung Nilai atau Hedging. Produksi batubara Indonesia yang 80% ekspor harus menggunakan harga, ditagih dan dibayar dalam bentuk USD. Demikian juga untuk biaya penjualan dan beban usaha mesti dalam USD, dan akhirnya dalam membuat laporan keuangan baik untuk internal dan eksternal digunakan USD.
e)      Transaksi keuangan strategis
Transaksi oportunistik dari valuasi (over/under) yang  dilaksanakan dengan instrumen keuangan.
f)       Proprietary trading
Melakukan perdagangan derivatif  dari komoditas.
g)      Risiko suku bunga
Dikelola sebagai bagian dari strategi manajemen portofolio dalam batas CFAR. Kontrak swap suku bunga dapat dilakukan juga untuk melindungi nilai pembayaran bunga kepada bank mitra yang menggunakan suku bunga mengambang dengan suku bunga tetap.
h)     Strategi Operasional Risk
Beberapa strategi dalam mitigasi operasional risk dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti: Insurance, Diversification Mining Product, Added- Value improvement, Cost Efficiency, Best Mining Practice and Excellent Management.

BAB III

PEMBAHASAN


3.1 Aspek Pajak atas Kegiatan Usaha Pertambangan

      Terdapat berbagai aspek perpajakan atas kegiatan usaha pertambangan, yaitu sebagai berikut:
1.             Penyelidikan Umum
Dalam menentukan potensi mineral pada suatu daerah tertentu, perlu dilakukan pengujian geologis, yang dilakukan dengan menggunakan jasa dari Peneliti Geologis sebagai Peneliti. Jasa atas penelitian tersebut dapat dimasukkan ke dalam pengertian jasa teknik sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 08/PJ.222/1984 bahwa yang dimaksud dengan jasa teknik ialah pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi :
a.              Untuk suatu proyek tertentu. Dalam proyek tertentu ini jasa teknik pada umumnya hanya diberikan sekali saja misalnya membangun gedung pabrik diperlukan penelitian misalnya berupa :
1.      Penelitian jenis tanah tempat bangunan itu akan didirikan;
2.      Pembuatan design bangunan;
3.      Pengawasan pelaksanaan bangunan itu.
b.             Untuk membuat suatu jenis produk tertentu. Dalam membuat produk tertentu ini jasa teknik dapat diberikan lebih dari sekali. Jasa teknik ini diberikan secara terus menerus dalam rangka membuat produksi tertentu. Jasa teknik yang diberikan terus menerus ini dapat berupa pemberian :
1)       informasi teknik dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya;
2)      bantuan berupa petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh pegawai dari pemberi jasa tekhnik, dan
3)      latihan atas para petugas dari pemakai jasa. Namun ada kalanya jasa teknik untuk pembuatan suatu jenis produk tertentu dapat pula diberikan sekali saja, misalnya kemacetan mesin, yang mengakibatkan produksi tidak bisa terlaksana sebagaimana mestinya.
c.              Jasa teknik dapat pula berupa pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman-pengalaman di bidang manajemen.
Sehingga, jasa atas penelitian tersebut merupakan objek PPN karena jasa teknik merupakan Jasa Kena Pajak sehingga penyerahan atas jasa yang dimaksud terutang PPN. Selain itu, jasa teknik tersebut juga terutang PPh Pasal 23/26 dimana tergantung dari siapa yang melaksanakan. Jika yang melaksanakan adalah Wajib Pajak dalam negeri terutang PPh pasal 23, hal ini sesuai dengan PPh Pasal 23 ayat 1 huruf c, yang berbunyi “Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan: c. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
1.      Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
2.      Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.”
Sedangkan jika yang melaksanakan jasa tersebut adalah Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia maka terutang PPh pasal 26, hal ini sesuai dengan PPh pasal 26 ayat 1 huruf d yaitu: “Atas penghasilan tersebut dibawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan: d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.”



2.             Eksplorasi
Eksplorasi merupakan tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terpencil dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan. Jasa atas kegiatan tersebut merupakan objek PPN dan PPh Pasal 23/26 tergantung dari siapa yang melaksanakan karena jasa tersebut memberikan output berupa pemberian informasi yang termasuk kedalam pengertian jasa teknik yang merupakan Jasa Kena Pajak dan objek PPh Pasal 23 apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak dalam negeri atau objek PPh Pasal 26 apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.

3.             Studi Kelayakan
Studi kelayakan sebagai informasi kelayakan ekonomis dan teknis pertambangan, proses analisis mengenai dampak lingkungan, serta perencanaan pasca tambang.  Studi kelayakan tersebut memuat data dan keterangan mengenai usaha pertambangan tersebut, yang dilakukan oleh ahli mengenai hal tersebut. Jasa atas kegiatan tersebut merupakan objek PPN dan PPh Pasal 23/26 tergantung dari siapa yang melaksanakan karena jasa tersebut memberikan output berupa pemberian informasi yang termasuk kedalam pengertian jasa teknik yang merupakan Jasa Kena Pajak dan objek PPh Pasal 23 apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak dalam negeri atau objek PPh Pasal 26 apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.

4.             Konstruksi
Setelah diketahui bahwa proyek pertambangan layak secara ekonomis, teknis dan lingkungan, maka dilakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi atau infrastruktur. Pembangunan infrastruktur biasanya dilakukan oleh perusahaan konstruksi, sehingga Jasa konstruksi terkena PPN karena merupakan Jasa Kena Pajak dan PPh Pasal 4 ayat (2) dimana hal ini sesuai dengan PPh Pasal 4 ayat (2) huruf d yang berbunyi: “Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.”



5.             Penambangan
Penambangan merupakan bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan atau batubara dan mineral ikutannya. Kegiatan ini Kegiatan ini biasanya meliputi land clearing (proses pembukaan lahan), pengeboran dan penggalian, pengolahan/pemurnian, pengangkutan dan penjualan. Atas jasa yang dilakukan oleh pihak ketiga tersebut terutang PPN karena jasa penambangan merupakan Jasa Kena Pajak dan merupakan objek PPh Pasal 23/26 dimana tertuang dalam pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 244/PMK.03/2008 yang mengatakan bahwa:
1.      Imbalan sehubungan dengan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
2.      Jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;
dan di tegaskan dalam pasal 2 ayat 2 yang berbunyi: “Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf g adalah semua jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang pertambangan umum berupa:
a.    Jasa pengobaran;
b.    Jasa penebasan;
c.    Jasa pengupasan dan pengeboran;
d.   Jasa penambangan;
e.    Jasa pengangkutan/system transportasi, kecuali jasa angkutan umum;
f.     Jasa pengolahan bahan galian;
g.    Jasa reklamasi tambang;
h.    Jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur, fabrikasi dan penggalian/pemindahan tanah;
i.      Jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum.

Berdasarkan hal tersebut, karena jasa penambangan termasuk dalam pengertian jasa lain sehingga merupakan objek PPh Pasal 23 apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak dalam negeri atau objek PPh Pasal 26 apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.

6.             Reklamasi
Reklamasi menurut UU No. 4 Tahun 2009 adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan, dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Apabila proses reklamasi dilakukan oleh pihak ketiga maka akan terutang  PPN karena merupakan Jasa Kena Pajak dan merupakan objek  PPh pasal 23/26 karena jasa reklamasi termasuk dalam jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang pertambangan umum sesuai dengan pasal 2 ayat 2 huruf g Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 244/PMK.03/2008 yang termasuk dalam pengertian jasa lain sehingga merupakan objek PPh Pasal 23 apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak dalam negeri atau objek PPh Pasal 26 apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.

3.2 Aspek Pajak Penghasilan

3.2.1  Biaya yang Diperbolehkan Menjadi Pengurang Penghasilan dalam Industri Pertambangan Umum (Pasal 6 UU PPh)

Mengenai PPh, pengertian biaya-biaya yang boleh dikurangkan (deductible expenses) berdasarkan UU PPh diikuti dalam kontrak karya. Dalam kontrak karya, deductible expenses itu dibagi dalam kelompok-kelompok sebagai berikut (Mansury, 1999):
1.             Pre-production expenses
Pre-production expenses termasuk biaya yang dikeluarkan pemegang saham asing sebelum didirikannya PT perusahaan pertambangan. Pemegang saham dapat diberi izin, untuk melakukan “preliminary survey”di daerah atau area yang akan diberikan kepadanya. Biaya yang dikeluarkan pemegang saham tersebut dapat menjadi biaya perusahaan pertambangan yang nantinya boleh diamortisasi. Selain itu, yang termasuk biaya ini misalnya, adalah biaya perjalanan ke lokasi area dan biaya untuk mendapat izin “preliminary survey” tersebut.


2.             Exploration expenses
Exploration expenses merupakan biaya untuk memperkirakan nilai dari kandungan mineral atau mineral deposits  yang meliputi:
a.       Biaya pembuatan camp
b.      Imbalan untuk sumber daya manusia
c.       Sewa tanah atau land rent yang dibayar kepada pemerintah
d.      Biaya pembuatan jalan menuju ke lokasi pertambangan yang bersangkutan
e.       Biaya penyambungan listrik dan pengadaan air
f.       Pembuatan fasilitas komunikasi proyek serta semua biaya lain dalam pengembangan mining area yang bersangkutan
3.             Operating expenses, meliputi:
a.         Premi asuransi untuk harta berwujud dan inventaris
b.         Premi asuransi guna menjamin berlangsungnya operasi perusahaan agar tidak terganggu dan premi untuk menjamin biaya guna tuntutan kerugian
c.         Biaya untuk menutup kerusakan dan kerugian yang tidak sepenuhnya dipikul oleh perusahaan asuransi
d.        Pembayaran jasa yang diberikan pihak lain berdasarkan suatu kontrak
e.         Biaya pembayaran listrik, air, dan telepon.
f.          Royalti
g.         Bunga
h.         Pembayaran lain sehubungan dengan paten, design, dan jasa teknik.
i.           Kerugian sebagai akibat keausan, pencurian, inventaris yang menyebabkan inventaris tersebut tidak dapat dipakai lagi dalam operasi perusahaan
j.           Pembayaran sewa harta berwujud
k.         PBB
l.           Royalti yang dibayar kepada pemerintah sehubungan dengan hak menambang yang diberikan pemerintah kepada perusahaan pertambangan yang bersangkutan
m.       PPN yang tidak dapat dikreditkan
n.         Bea Materai
o.         Bea Pengalihan Harta
p.         Bea Masuk
q.         Biaya processing hasil tambang
r.          Biaya pengepakan, pemuatan, pengangkutan dan pengapalan hasil tambang
s.          Biaya perbaikan dan pemeliharaan
t.          Commissions and discounts termasuk yang dibayarkan kepada afiliasi yang sama besarnya dengan yang dibayarkan kepada pihak lain sehubungan dengan transaksi serupa
u.         Cadangan biaya aklamasi yang dihitung atas dasar taksiran dari biaya aklamasi sejak permulaan operating period hingga dengan selesainya kontrak.
v.         Biaya bunga juga diperkenankan dikurangkan, termasuk untuk pinjaman dari pemegang saham (asalkan modal perseroan telah disetor penuh). Biaya bunga tersebut dapat dikurangkan asalkan debt equity ratio sesuai dengan tabel berikut:

Tabel 3.1 Debt Equity Ratio

Investasi dalam US$
Debt Equity Ratio
200.000.000,00 atau kurang
5:1 (untuk generasi V, VI, dan VII)
Lebih dari 200.000.000,00
8:1 (untuk generasiV, VI, dan VII) atau 3:1 (untuk generasi III dan IV)
Sumber: Mansury, 1999
4.             Selling expenses & General and administration expenses, meliputi:
a.       Gaji, upah, dan imbalan pekerjaan lain
b.      Semua fasilitas yang diperlukan di daerah pertambangan untuk pendidikan dan pelatihan karyawan beserta keluarganya dan untuk kegiatan keagamaan
c.       Biaya administratif umum untuk melakukan penelitian dan pengembangan, pengembangan pasar, serta jasa teknik, jasa hukum, dan jasa akuntansi
5.             Capital cost

3.2.2        Biaya yang Tidak Diperbolehkan Menjadi Pengurang Penghasilan dalam Industri Pertambangan Umum (Pasal 9 UU PPh)

Berdasarkan Pasal 9 ayat 1 huruf e UU PPh, penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan di daerah tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
Menurut Mansury (1999), imbalan kepada karyawan dalam bentuk natura atau kenikmatan, perlakuan pajaknya dalam kontrak karya tidak berbeda dengan peraturan dalam UU PPh, dengan pengecualian, bahwa apabila imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut diberikan di daerah terpencil maka tidak termasuk dalam biaya yang tidak diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan. Dalam kontrak karya, benefit in kind yang diberikan di daerah terpencil, meliputi:
1.             Fasilitas pengangkutan bagi karyawan dan keluarga dari tempat penerimaan pegawai di Indonesia ke daerah pertambangan yang bersangkutan, baik lewat darat, laut, maupun udara dengan kelas ekonomi,
2.             Perumahan bagi karyawan dan keluarganya di daerah pertambangan,
3.             Imbalan yang diberikan dalam bentuk natura, seperti makanan dan minuman yang diberikan di daerah pertambangan, baik untuk karyawan di tempat kerja maupun bahan makanan untuk keluarganya,
4.             Perawatan kesehatan yang diberikan di tempat pekerjaan maupun di tempat lain di Indonesia asalkan tidak dapat diperoleh dalam wilayah pertambangan, termasuk:
-          Medical check-ups dan perawatan kesehatan yang diperlukan untuk dapat melakukan pekerjaan di daerah pertambangan,
-          Perawatan kesehatan dan perawatan rumah sakit, baik di daerah pertambangan maupun di wilayah lain di Indonesia,
5.             Fasilitas pendidikan bagi keluarga karyawan terbatas pada pendidikan umum, seperti SD, SMP, SMU, ataupun pendidikan lain yang setingkat,
6.             Fasilitas olahraga di daerah pertambangan, tidak termasuk golf, perahu, berburu, pacuan kuda, dan berselancar,
7.             Fasilitas perjalanan dalam negeri bagi karyawan, termasuk karyawan asing, sekali setahun paling lama 14 hari, terbatas penggantian tunjangan perjalanan pulang pergi,
8.             Tunjangan atau fasilitas pengangkutan bagi karyawan dan keluarganya, dari daerah pertambangan ke daerah asal karyawan, pada saat pemutusan hubungan kerja, pensiun, atau sebab lainnya.
Benefit in kind dalam kontrak karya tersebut diatas merupakan ketentuan pelaksanaan dari pasal 9 ayat 1 huruf e UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor. 83/PMK.03/2009, yang ketentan selengkapnya adalah sebagai berikut:

Pasal 2

Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah :     
  1. Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.                    
  2. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut.                    
  3. Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya. 
Pasal 3
Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan/atau minuman bagi Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi:                        
  1. pemberian makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja, atau                    
  2. pemberian kupon makanan dan/atau minuman bagi Pegawai yang karena sifat pekerjaannya tidak dapat memanfaatkan pemberian sebagaimana dimaksud pada huruf a, meliputi Pegawai bagian pemasaran, bagian transportasi, dan dinas luar lainnya.

                    
Pasal 4
1.             Penggantian atau imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah sarana dan fasilitas di lokasi kerja untuk :                   
a.       tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan keluarganya;               
b.      pelayanan kesehatan;
c.       pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya;               
d.      peribadatan;               
e.       pengangkutan bagi Pegawai dan keluarganya;               
f.       olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan kuda, dan terbang layang,               
sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus menyediakannya sendiri.  
2.             Daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral.                   
3.             Pengeluaran untuk pembangunan sarana dan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun disusutkan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Pajak Penghasilan.



         
Pasal 5
                        
Pemberian natura dan kenikmatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c meliputi pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), sarana antar jemput Pegawai, serta penginapan untuk awak kapal, dan yang sejenisnya.           

3.2.3        Undang-undang Pajak Penghasilan Pasal 11

Berdasarkan UU PPh pasal 11 ayat 6, untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:

Tabel 3.2. Tarif Penyusutan atau Amortisasi UU PPh Pasal 11

Kelompok Harta Berwujud
Masa Manfaat (tahun)
Tarif Penyusutan atau Amortisasi
SLM (%)
DDM (%)
I.     Bukan Bangunan



Kelompok 1
4
25
50
Kelompok 2
8
12,5
25
Kelompok 3
16
6,25
12,5
Kelompok 4
20
5
10
II.  Bangunan



Permanen
20
5
-
Tidak Permanen
10
10
-
Sumber: Diolah kembali oleh Penulis
Dalam beberapa generasi kontrak karya, yaitu generasi keenam dan ketujuh, harta yang dapat disusutkan juga dibagi menjadi dua golongan yaitu bukan bangunan dan bangunan, serta kepada perusahaan pertambangan diberikan fasilitas untuk melakukan penyusutan lebih cepat sesuai dengan tabel berikut (Mansury, 1999):


Tabel 3.3 Tarif Penyusutan atau Amortisasi Kontrak Karya Generasi 6 dan 7

Group of Assets
Economic Life (years)
Tarif Penyusutan atau Amortisasi
SLM (%)
DDM (%)
I.     Non-Building (Intangible assets)



Group 1
2
50
100
Group 2
4
25
50
Group 3
8
12,5
25
Group 4
10
10
20
II.  Building



Permanent
20
10
-
Semi-Permanent
10
20
-
Sumber: Diolah kembali oleh Penulis
Adapun harta yang dapat diamortisasi adalah harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun seperti (Mansury, 1999)
1.             Biaya untuk mendapatkan hak paten, konsessi, dan hak pemakaian yang diizinkan, kontrak sewa menyewa harta tak berwujud,
Semua biaya yang dipikul sebelum mulainya operating period, termasuk biaya untuk mendapatkan hak penambangan atau untuk mendapatkan hak melakukan survey atau biaya untuk memperoleh informasi penambangan dan informasi survey, survey umum, exploration feasibility and development, serta biaya pelatihan karyawan.

3.3         Aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Industri Pertambangan

3.3.1   Aspek PPN pada Pertambangan Mineral (kecuali Batubara)

   Produk dalam rangka proses penambangan dan pabrikasi terdapat objek yang dikenakan PPN, khususnya pada pertambangan mineral berupa emas, seperti yang digambarkan pada tabel berikut (Muljono, 2009):


Tabel 3.4 Perlakuan PPN Tambang Emas

Produk
Perlakuan perpajakan
Bijih emas, bijih perak, gold ore
Non- BKP
Dore ingot
BKP
Butiran emas, kristal perak
BKP
Emas batangan
Non-BKP
Emas koin*
BKP







Sumber: Muljono, 2009

Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak S-871/PJ.51/2005 tentang Penegasan Perlakuan PPN atas Emas Koin Logam Mulia:  (a.) Emas koin tidak termasuk sebagai jenis barang yang tidak dikenakan PPN, oleh karena itu atas penyerahannya dikenakan PPN. Selain itu, Berdasarkan UU PPN pasal 4A ayat 2, jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok barang yang salah satunya adalah barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, yaitu dalam penjelasan disebutkan salah satunya, berupa bijih besi, bijih timah, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.

3.3.2   Aspek PPN pada Pertambangan Batubara

Berdasarkan UU PPN pasal 4A ayat 2, jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok barang yang salah satunya adalah barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, yaitu berupa batubara sebelum diproses menjadi briket batubara.
Selain itu, berdasarkan peraturan lain, terdapat \pengenaan PPN atas Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB)Perusahaan Kontrak Swasta dalam pertambangan batubara, yaitu sebagai berikut:
a.              Keputusan Presiden No. 75/1996 Pasal 3 ayat (1) Perusahaan Kontraktor Swasta wajib menyerahkan 13.5% dari hasil produksi batubaranya secara tunai kepada pemerintah atas harga pada saat di atas kapal (Free on Board) atau pada harga setempat (at sale point).
b.             Keputusan Menteri Keuangan No. 72/KMK/04/1996 Pasal 1 ayat (2) dan (3) DPP PPN adalah 100/110 dari nilai imbalan sebesar 13.5% dari hasil produksi batubara Perusahaan Kontraktor Swasta yang diserahkan ke pemerintah. Tarif PPN yang berlaku tetap 10%.
Berdasarkan peraturan tersebut, dapat dilihat bahwa DHPB sudah termasuk PPN maka Kontraktor Swasta tidak perlu menghitung dan menyetor sendiri PPN yang terhutang terpisah dari DHPB dan sebagian DHPB akan digunakan oleh pemerintah untuk membayar PPN yang terutang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996 berarti yang menanggung PPN tersebut adalah pemerintah. Selanjutnya, PPN yang terutang atas DHPB tersebut tidak dapat dikreditkan oleh Kontraktor Swasta yang bersangkutan.

3.4         Aspek PPnBM pada Industri Pertambangan

Berdasarkan UU PPN No.42 Tahun 2009 Pasal 5, PPnBM dikenai atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya, dan impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Pengenaan PPnBM ini hanya dikenakan satu kali,  ini sesuai dengan pasal 5 ayat 2 UU PPN yang berbunyi “Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pakal yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
Barang-barang yang dikenakan PPnBM berdasarkan Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2013 merupakan barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari emas atau platina atau dari logam yang dipalut dengan emas atau platina atau campuran dari padanya, dan kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu mulia (seperti intan, rubi, safir dan jamrud) dan/atau mutiara atau campuran daripadanya. Tarif pajak yang di kenakan terhadap barang mewah terendah adalah 10% dan tarif tertinggi adalah 75% yang spesifikasinya diatur dalam lampiran 130/PMK.011/2013.


3.5        Aspek Pajak Bumi dan Bangunan pada Industri Pertambangan
1.      Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada:
a.       Pasal 1 Angka 1 menyatakan bahwa Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang rneliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang;
b.      Pasal 128 menyatakan bahwa Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah. Pendapatan negara yang dimaksud yang terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Adapun penerimaan pajak yang dimaksud terdiri atas pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan serta bea masuk dan cukai. Sedangkan penerimaan negara bukan pajak terdiri atas iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran produksi, dan kompensasi data informasi. Dalam hal pendapatan daerah terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah dan pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.      Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang pajak Bumi dan Bangunan yang menjadi obyek pajak bumi dan bangunan adalah bumi dan/atau bangunan dan yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
3.      Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 1 Angka 8, Sektor Pertambangan adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua golongan yaitu bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian lainnya;
4.      Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 8, Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas selain Pertambangan Energi Panas Bumi dan Galian C ditentukan sebagai berikut:
a.      Areal Produktif adalah sebesar 9,5 x hasil bersih galian tambang dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan.
b.     Areal belum produktif, tidak produktif dan emplasemen serta areal lainnya didalam atau diluar wilayah kuasa pertambangan, adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.
c.      Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 15.
5.      Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ.6/1999 Tentang Penyempurnaan Tata Cara Pengenaan Pbb Sektor Pertambangan Non Migas Selain Pertambangan Energi Panas Bumi Dan Galian C Sebagaimana Diatur Dengan Surat Edaran Nomor : Se-26/Pj.6/1999, pengenaan PBB atas areal belum produktif dan areal tidak produktif disempurnakan dengan memperhitungkan tahapan kegiatan penambangan sebagai berikut:
a.       Penyelidikan umum, adalah sebesar 5% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
b.      Eksplorasi pada tahun ke-satu s/d ke-lima, masing-masing sebesar 20% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
c.       Eksplorasi untuk perpanjangan I dan II, adalah sebesar 50% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
d.      Pembangunan Fasilitas Eksploitasi (konstruksi) sampai dengan produksi adalah luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan.

Formula perhitungan Ketetapan PBB untuk pertambangan yang dikelola berdasarkan Kontrak Karya (Contract of Work), dasar hukumnya adalah: Pasal 30 UU No. 12/1985. Terhadap obyek pajak dalam bidang penambanganminyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya, sehubungan denganKontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang masih berlaku pada saat iniberlakunya Undang-undang ini, tetap dikenakan Iuran Pembangunan Daerah (Perda) berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang masih berlaku.
Dalam Penjelasan Pasal 30, dijelaskan bahwa Ketentuan Undang-undang ini baru berlaku terhadap objek pajak yang digunakan dalam rangka Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnyayang perjanjiannya ditandatangani sejak berlakunya Undang-undang ini yaitu tanggal 1 Januari 1986, sedangkan untuk Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang telah ada tetap berlaku ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut.
-    Kep. Menkeu No. 174/KMK.04/1991 jo Kep. Menkeu 273/KMK.04/ 1995
-    SE DJP No. SE-20/PJ.6/1993
-    SE DJP No. SE-40/PJ.6/1995
Formula perhitungan:
NJOP maupun pengenaan PBB-nya dalam setiap Kontrak Karya yang bersangkutan:
-    Tahap Pra Produksi
PBB = Iuran Tetap (deadrent)
-    Tahap Produksi
PBB = Iuran Tetap + (0,5% x 20% x Penerimaan Kotor)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk:
a.  Wilayah Kontrak Karya atau Wilayah Pertambangan; dan
b.  Penggunaan bumi dan bangunan dimana perusahaan membangun fasilitas untuk operasi penambanganannya.
Perusahaan harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam Rupiah atau dalam mata uang lain yang disetujui bersama, sebagai berikut:
1.    Pada tahap-tahap Pra-Produksi (Penyelidikan Umum, Explorasi, studi kelayakan dan konstruksi), perusahaan harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang jumlahnya sama dengan jumlah iuran tetap (deadrent).
2.    Pada tahap operasi/produksi perusahaan harus membayar PBB yang jumlahnya sama dengan jumlah iuran tetap ditambah dengan jumlah yang besarnya 0,5% x 20% dari penerimaan kotor hasil operasi pertambangan.
3.    Selain itu, perusahaan juga harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas tanah/perairan bangunan yang berada di luar atau di dalam areal Kontrak Karya/ Wilayah pertambangan yang dipakai oleh perusahaan untuk fasilitas yang tertutup untuk umum, yang besarnya ditetapkan berdasarkan meter persegi luas tanah/perairan dan luas serta jenis bangunan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 dan klasifikasi dan besarannya Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang ditetapkan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak serta pembayaran PBB tersebut akan dilakukan sepanjang berlakunya persetujuan ini.
4.    Pengenaan dan pembayaran PBB untuk areal Kontrak Karya/ Wilayah pertambangan pada tahap Operasi Produksi dan untuk tanah/ perairan dan bangunan yang dipakai oleh perusahaan, mengikuti tata cara pengenaan sebagaimana dimaksud pada butir (ii) dan butir (iii) di atas dan tata cara pembayaran PBB yang berlaku secara umum.

3.6         Aspek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan pada Industri Pertambangan

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adadalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut merupakan perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Sehingga, berkaitan dengan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) di sektor pertambangan erat kaitannya dengan bagaimana orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak memperoleh hak atas tanahnya untuk kegiatan pertambangan. Untuk mengetahui berapa besarnya bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang terutang sebagaimana dijelaskan di atas, adapun Nilai Perolehan Objek Kena Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) sebagai dasar perhitungan pajak terutang secara regional paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan Rp 300.000.000,-(tiga ratus juta rupiah) atas waris atau hibah wasiat. Ketentuan ini sebagimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah an Bangunan.

3.7         Aspek Bea Meterai pada Industri Pertambangan

Berdasarkan Undang-undang  No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai disebutkan bahwa bea meterai terhutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain. Sehingga, subjek pajak bea meterai adalah pihak yang mendapatkan manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang  bersangkutan menentukan lain. Sedangkan objek bea mterai adalah dokumen. Tarif bea materai adalah Rp 3.000,- dan Rp 6.000,-
Berkaitan dengan bea meterai di sektor pertambangan, seperti yang kita ketahui bahwa keberadaan perusahaan pertambangan yang mempunyai hak pengelolaan dan  pemanfaatan bahan galian tambang erat kaitannya dengan kontrak karya, kuasa pertambangan atau kontrak  production sharing antara pemerintah dengan perusahaan tersebut yang dibuat lebih dari satu pihak dimana berisi surat perjanjian, akta-akta perjanjian, surat berharga dan lain sebagainya. Untuk itu tarif bea materai atas kontrak karya, kuasa pertambangan atau kontrak  production sharing adalah Rp 3.000,- atau Rp 6.000,- bergantung pada jenis dan isi dari dokumen yang akan disepakati.

3.8         Aspek Pajak Daerah pada Industri Pertambangan

Berdasarkan Pasal 2 ayat 2 huruf f UU Nomor 34 Tahun 2000  tentang Pajak dan Retribusi Daerah, dalam industri pertambangan, pajak atas pengambilan bahan galian golongan C termasuk dalam pajak kabupaten/kota. Tarif pajak bahan galian golongan C adalah sebesar 20% (dua puluh persen). Besarnya pajak pengambilan bahan galian golongan C yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak bahan galian golongan C tersebut dengan dasar pengenaan pajak.
Sebagai salah satu contoh peraturan daerah yang mengatur mengenai pajak pengambilan bahan galian golongan C adalah Peraturan Daerah Kabupaten Sawahlunto Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pajak Bahan Galian Golongan C. Dalam peraturan tersebut, permasalahan yang dibahas tidak jauh berbeda dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 dimana dimuat secara jelas mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, cara pembayaran pajak, cara penagihan pajak, pengurangan, peringanan, dan pembebasan pajak.

3.9         Aspek Penerimaan Negara Bukan Pajak Berupa Royalti

3.9.1   Royalti sehubungan produksi Perseroan Mineral
Perusahaan harus membayar royalti sehubungan dengan kandungan mineral produk dari kawasan pertambangan, sejauh bahwa setiap mineral dalam produk tersebut harus mineral yang nilai sesuai dengan praktik umum dibayarkan atau dibayarkan kepada Perseroan dengan pembeli. Royalti harus dibayar dalam Rupiah atau mata uang lainnya yang disetujui bersama dan harus dibayar pada atau sebelum hari terakhir dari bulan berikutnya setiap kuartal kalender. Setiap pembayaran harus disertai dengan pernyataan secara rinci yang wajar menunjukkan dasar perhitungan royalti sehubungan dengan pengiriman atau penjualan selama kuartal kalender sebelumnya.
Tarif pengenaan royalti sehubungan dengan mineral diatur dalam PP no 9 tahun 2012. Dalam PP tersebut dapat dilihat daftar tarif pengenaan royalti seperti contohnya tarif untuk emas adalah sebesar 3,75% dari harga jual, perak sebesar 3.25% dari harga jual dan untuk tembaga sebesar 4.00% dari harga jual. Namun, pada kenyataannya tarif yang diatur pada PP no 9 taahun 2012 tidak berjalan karena, perusahaan membayar royalti sesuai dengan tarif yang disepakati dalam kontrak. Seperti contohnya pada kontrak karya PT. Freeport Indonesia, Royalti akan dihitung dari tarif yang ditentukan sebagai berikut:
(I)  Dalam kasus emas:
1.             Jika harga penjualan emas adalah US $ 300 per troy ounce atau lebih rendah, tarif royalti yang berlaku adalah: 1% dari harga jual.
2.             Jika harga jual emas adalah US $ 400 per troy ounce atau lebih tinggi, tarif royalti yang berlaku adalah: 2% dari harga jual.
3.             Jika harga jual (G) dari emas adalah antara US $ 300 per troy ounce dan US $ 400 per troy ounce, tarif royalti yang berlaku adalah:                        

{1 + (G - 300)} % dari harga jual
                                                   100
(II) Dalam kasus perak:
1.             Jika harga jual perak adalah US $ 10 per troy ounce atau lebih rendah, tarif royalti yang berlaku adalah: 1% dari harga jual.
2.             Jika harga jual perak adalah US $ 15 per troy ounce atau lebih tinggi, tarif royalti yang berlaku adalah: 2% dari harga jual.
3.             Jika harga penjualan (S) dari perak adalah antara US $ 10 per troy ounce dan US $ 15 per troy ounce, tarif royalti yang berlaku adalah:
                                  {1 + (S - 10)} % dari harga jual
                                      5
(III) Dalam kasus tembaga:
0.             Jika harga penjualan tembaga adalah US $ 750 per troy ounce atau lebih rendah, tarif royalti yang berlaku adalah: 1% dari harga jual.
1.             Jika harga penjualan tembaga adalah US $ 925 per troy ounce atau lebih tinggi, tarif royalti yang berlaku adalah: 2% dari harga jual.
2.             Jika harga penjualan (P) dari tembaga adalah antara US $ 750 per troy ounce dan US $ 925 per troy ounce, tarif royalti yang berlaku adalah:

                                   {1 + (P - 750)} % dari harga jual
                                               175
Keterangan:
  • “Harga Tembaga Yang Berlakuharus diartikan, sehubungan dengan tembaga yang terkandung dalam konsentrat yang dijual oleh perusahaan dalam setiap kuartal kalender, harga akan sama seperti harga resmi London Metal Exchange, harga jual untuk tembaga-kelas yang lebih tinggi yang diterbitkan oleh "Metals Week" dengan memakai harga rata-rata pada kuartal kalender tersebut.
  • Istilah “Harga Emas Yang Berlaku” berarti, sehubungan dengan emas yang terkandung sebagai mineral yang terasosiasi dalam konsentrat yang dijual oleh perusahaan dalam setiap kuartal kalender, harga akan sama dengan rata-rata harga di  London bullion market spot morning ("initial") and afternoon ("final”), untuk harga emas yang dijual dalam mata uang Amerika Serikat diberitahukan pada "Metals Week" harga tersebut merupakan harga rata-rata pada kuartal kalender tersebut.
  • Istilah “Harga Silver Yang Berlaku” berarti, sehubungan dengan perak yang terkandung sebagai mineral yang tergabung dalam konsentrat yang dijual oleh perusahaan dalam setiap kuartal kalender, dengan harga sama dengan harga emas tempat para broker London berkumpul, untuk harga emas yang dijual dalam mata uang Amerika Serikat diberitahukan pada "Metals Week" harga tersebut merupakan harga rata-rata pada kuartal kalender tersebut.
  • Istilah “hutang”, bila digunakan dalam hubungannya dengan kadar tembaga, emas dan perak yang termasuk dalam koten konsentrat yang dijual oleh Perusahaan, berarti bahwa sebagian dari konten tersebut untuk harga yang dibayar kepada Perusahaan.
  • “poundharus diartikan, sehubungan dengan tembaga, enam belas ons (avoirdupois).
  • ons” harus diartikan, sehubungan dengan emas dan perak, per troy ounce dari 31,1035 gram.
  • “biaya peleburan dan pemurnian, pengangkutan dan biaya penjualan lain” harus diartikan sehubungan dengan konsentrat yang dijual oleh Perusahaan, jumlah keseluruhan biaya dalam hal seperti konsentrat dapat dikurangkan dari penjualan kotor dalam menentukan Penjualan Bersih.

3.9.2   Royalti sehubungan dengan Batubara
Tarif pengenaan royalti untuk batubara diatur dalam PP no 9 tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Menurut PP ini, bagi pemegang IUP, batubara dengan kualitas di bawah 5.100 kcal/kg dikenakan royalti sebesar 3%, batubara berkalori antara 5.100 kcal/kg hingga 6.100 kcal/kg dikenakan royalti sebesar 5%, dan batubara dengan kualitas di atas 6.100 kcal dikenakan royalti mencapai 7%. Kemudian, pemegang PKP2B dikenakan royalti sebesar 13,5%.

BAB IV

SIMPULAN


Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai aspek perpajakan pada industri pertambangan, maka dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut:

4.1         Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, hasil pembahasan ini mendapat simpulan bahwa aspek perpajakan yang terdapat pada industri pertambangan umum dapat berupa Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, BPHTB, dan Bea Meterai. Namun aspek perpajakan dalam industri pertambangan harus memperhatikan peraturan pada setiap generasi Kontrak Karya maupun PKP2B.  Selain itu, terdapat juga aspek Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa royalti pada industri pertambangan umum.

DAFTAR PUSTAKA

Fitriandi, Primandita.; Aryanto, Yuda.; dan Priyono Agus Puji. 2015. Kompilasi Undang-Undang Perpajakan Terlengkap. Jakarta: Salemba Empat

Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor : 1453 K/29/MEM/2000 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Republik Indonesia. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Jakarta, 2009.

Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. jangan lupa klik suka ya