2.1. REKONSILIASI
FISKAL
2.1.1.
PENGERTIAN
REKONSILIASI FISKAL
Rekonsiliasi fiskal adalah suatu mekanisme penyesuaian
pelaporan keuangan wajib pajak badan menurut ketentuan komersial diubah menjadi
menurut ketentuan perpajakan atau fiskal. Rekonsiliasi fiskal pada hakikatnya adalah
merupakan proses untuk mendapatkan angka laba fiskal atau laba kena pajak
dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap laba komersial atau laporan
laba rugi. Proses rekonsiliasi fiskal ini umumnya dilakukan oleh Wajib Pajak
yang berbentuk perusahaan. Rekonsiliasi yang dilakukan akan menghasilan koreksi
fiskal yang akan mempengaruhi besarnya laba kena pajak serta Pajak Penghasilan
(PPh) terutang. Rekonsiliasi dilakukan terhadap pos-pos biaya dan pos-pos
penghasilan dalam Laporan keuangan Komersial, antara lain :
1.
Rekonsiliasi terhadap penghasilan
yang dikenakan PPh Final.
2.
Rekonsiliasi terhadap
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak
3.
Wajib Pajak
mengeluarkan biaya-biaya yang sebenarnya tidak boleh menjadi pengurang
penghasilan bruto
4.
Wajib pajak
menggunakan metode pencatatan yang berbeda dengan ketentuan pajak
5.
WP mengeluarkan
biaya-biaya yang dikeluarkan bersama-sama untuk mendapatkan pendapatan yang
telah dikenakan PPh Final atau pendapatan yang bukan Objek Pajak serta
pendapatan yang dikenakan PPh non Final
Rekonsiliasi fiskal memiliki tujuan utama
yaitu untuk menyajikan informasi sebagai bahan menghitung besarnya penghasilan
kena pajak sesuai dengan self-assessment.
Koreksi fiskal adalah koreksi perhitungan
pajak yang diakibatkan oleh adanya perbedaan pengakuan metode, manfaat, dan
umur, dalam menghitung laba secara komersial atau dengan secara fiskal. Koreksi
fiskal dilakukan karena adanya perbedaan antara laba atau rugi menurut
perhitungan akuntansi komersial dengan akuntansi fiskal ( berdasarkan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ), maka
sebelum menghitung Pajak Penghasilan yang terutang, terlebih dahulu laba/rugi
komersial tersebut harus dilakukan koreksi-koreksi fiskal sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Dengan demikian, untuk keperluan perpajakan
wajib pajak tidak perlu membuat pembukuan ganda, melainkan cukup membuat satu
pembukuan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), dan pada waktu mengisi
SPT Tahunan PPh terlebih dahulu harus dilakukan koreksi-koreksi fiskal. Koreksi
fiskal tersebut dilakukan baik terhadap penghasilan maupun terhadap biaya-biaya
(pengurang penghasilan bruto).
2.1.2. LAPORAN KEUANGAN
FISKAL
Laporan keuangan
fiskal adalah laporan keuangan yang disusun sesuai peraturan perpajakan dan
digunakan untuk keperluan penghitungan pajak. Rekonsiliasi fiskal dilakukan
oleh Wajib Pajak karena terdapat perbedaan penghitungan, khususnya laba menurut
akuntansi (komersial) dengan laba menurut perpajakan (fiskal). Laporan keuangan
fiskal disusun berdasarkan Undang-undang dan Peraturan Perpajakan.
Pendekatan penyusunan laporan keuangan fiscal sebagai solusi antara
ketentuan akuntansi dan pajak yaitu :
1. Ketentuan pajak
secara dominan mewarnai praktek akuntansi, Dalam pendekatan ini laporan
keuangan fiscal murni disusun atas dasar perpajakan. Dengan demikian dalam
melakukan pembukuan perusahaan menyusun laporan harus menurut ketentuan
perpajakan dan menurut praktek pembukuan.
2. Ketentuan
pajakuntuk tujuan penyusunan laporan keuangan merupakan standar indepensi dari
prinsip akuntansi, dalam pendekatan ini perusahaan bebas untuk menyelenggarakan
pembukuan berdasarkan prinsif dan metode akuntansi.
3. Ketentuan pajak
merupakan sisipan terhadap standar akuntansi, pendekatan ini laporan keuangan
atas dasar standar akuntansi. Tetapi preferensi di berikan kepada ketentuan
pajak apabila tidak sesuai dan sejalan dengan standar akuntansi.
Susunan laporan keuangan fiscal :
1. Input berupa dokumen dasar
2. Dicatat dalam
buku harian jurnal
3. Diklasifikasikan
dengan pencatatan posting pada
buku besar
4. Untuk
pengawasan, konfirmasi, dan klarifikasi maka di buat buku tambahan, seperti
piutang, hutang dll
5. Akhir periode
akuntansi di susun neraca percobaan yang di sesuaikan terhadap fakta pada akhir
tahun dan catatan penutup.
6. Dari neraca
percobaan tersebut dibuat laporan keuangan komersial
7. Rekonsiliasi
antara laporan keuangan komersial dan fiscal di atur dalam ketentuan perpajakan
8. Setelah laporan
keuangan diatur dalam kketentuan perpajakan akan menghasilkan laporan keuangan
fiscal.
2.1.3.
KEBIJAKAN FISKAL
Kebijakan
fiscal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan
pendapatan (berupa pajak) pemerintah.
Pemerintah menjalankan kebijakan fiskal adalah dengan maksud untuk
mempengaruhi jalannya perekonomian atau dengan perkataan lain, dengan kebijakan
fiskal pemerintah berusaha mengarahkan jalannya perekonomian menuju keadaan
yang diinginkannya. Dengan melalui kebijakan fiskal, antara lain pemerintah dapat mempengaruhi tingkat pendapatan nasional,
dapat mempengaruhi kesempatan kerja,
dapat mempengaruhi tinggi rendahnya investasi nasional,
dan dapat mempengaruhi distribusi penghasilan nasional. Dua unsur utama dari fiskal adalah perpajakan dan pengeluaran publik.
Prinsip
Dasar Fiskal
a. Adam Smith
-
Keadilan (Equality)
-
Kepastian (Certainty)
-
Kemudahan (Convenience)
-
Efisiensi
(Efficiency)
b. Edwin R.A.
Seligman
- Fiskal
(Fiscal)
- Administratif
(Administrative)
- Ekonomi
(Economic)
- Etika
(Ethical)
c. Fritz
Neumark
- Kesepadanan
pembiayaan (Revenue productivity)
- Keadilan
sosial (Social justice)
- Pencapaian
ekonomi (Economic goals)
- Kemudahan
(Ease Administration and compliance)
Jenis kebijakan fiscal
dilihat dari segi teori :
a.
Jenis
kebijakan fiscal pembiayaan fungsional
Merupakan
kebijakan fiscal yang mengatur pengeluaran pemeritah dengan mempertimbangkan
segala akibat tidak langsung terhadap pendapatan nasional dan bertujuan untuk meningkatkan kesempatan
kerja.
b.
Jenis
kebijakatan stabilisasi anggaran otomatis
Merupakan
kebijakan fiscal yang mengatur pengeluaran pemeritah dengan mempertimbangkan
besarnya biaya dan manfaat dari berbagai program yang bertujuan agar menghemat
pengeluaran pemerintah.
c.
Jenis
kebijakan pengelolaan anggaran
Merupakan
kebijakan yang dilakukan dengan mengatur pengeluaran pemerintah, perpajakan dan
hutang untuk mencapai stabilitas ekonomi.
Jenis
kebijakan fiscal dilihat dari segi perbandingan jumlah pengeluaran dengan
jumlah penerimaan :
a. Kebijakan Anggaran Seimbang
Kebijakan anggaran yang
menyusun laporan seimbang antara jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran.
b. Kebijakan Anggaran Surplus
Kebijakan anggaran
dengan menyusun jumlah pengeluaran lebih kecil dibanding jumlah penerimaan.
c. Kebijakan Anggaran Deficit
Kebijakan anggaran
dengan menyusun jumlah pengeluaran lebih besar dibanding jumlah penerimaan.
d. Kebijakan Anggaran Dinamis
Kebijakan anggaran yang
dilakukan dengan cara terus menambah jumlah pengeluaran dan jumlah penerimaan
sehingga semakin lama semakin besar jumlah penerimaan dan pengeluaran negara.
2.1.4.
JENIS-JENIS
KOREKSI FISKAL
Jenis koreksi fiskal di sini merupakan jenis –
jenis perbedaan antara akuntansi komersial dengan ketentuan fiskal
(UU Nomor 10 Tahun 1994 dan UU Nomor 17 Tahun 2000). Perbedaan antara
standar akuntansi (SAK) dengan peraturan pajak (Fiskal) disebabkan oleh
perbedaan yang sifatnya tetap dan perbedaan yang sifatnya temporer. Untuk
memahami penerapan PSAK 46 langkah pertama adalah memahami kedua perbedaan
tersebut di atas.
Secara umum terdapat dua perbedaan pengakuan
baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan perpajakan
(fiskal) yang menyebabkan terjadinya koreksi fiskal, yaitu:
1.
Beda Tetap (Permanen)
Beda tetap merupakan perbedaan pengakuan baik
penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan
Undang-undang PPh yang sifatnya permanen artinya koreksi fiskal yang dilakukan
tidak akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun pajak berikutnya. Dalam
hal pengakuan penghasilan koreksi karena
beda tetap terjadi karena :
a)
Menurut akuntansi
komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan
merupakan penghasilan, contohnya dividen atau bagian laba yang diterima atau
diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan
Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada
badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat
dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan serta kepemilikan saham pada
badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (Pasal 4 ayat 3 UU PPh)
b)
Menurut akuntansi
komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh telah
dikenakan PPh Final, contohnya:
-
Bunga Deposito dan
Tabungan lainnya
-
Penghasilan berupa
hadiah undian
-
Penghasilan dari
transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan,
-
Penghasilan dari usaha
jasa konstruksi dan
-
Penghasilan dari
persewaan tanah dan/atau bangunan
-
dan sebagainya (Pasal
4 ayat 2 UU PPh)
Dalam hal pengakuan biaya/beban koreksi karena beda tetap terjadi
karena menurut akuntansi komersial merupakan biaya, sedangkan menurut
Undang-undang PPh bukan merupakan biaya yang dapat mengurangi penghasilan
bruto, misalnya:
a)
Biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan ;
-
yang bukan objek pajak
-
yang pengenaan
pajaknya bersifat final
-
yang dikenakan pajak berdasarkan
norma penghitungan penghasilan
b)
Penggantian atau
imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura dan kenikmatan
c)
Pajak Penghasilan
d)
Sanksi administrasi
berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
e)
Biaya-biaya lainnya
yang menurut Undang-undang PPh tidak dapat dibebankan (Pasal 9 ayat 1 UU PPh)
Koreksi atas beda tetap penghasilan akan
menyebabkan koreksi negatif atau koreksi positif. Koreksi negatif artinya
penghasilan yang diakui oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus
dikoreksi baik itu karena bukan merupakan objek pajak maupun karena telah
dikenakan PPh final, menyebabkan laba kena pajak berkurang yang akhirnya
akan menyebabkan PPh terutang lebih kecil. Sedangkan koreksi atas beda
tetap biaya akan menyebabkan koreksi positif artinya biaya yang diakui oleh
akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi, akan menyebabkan laba
kena pajak bertambah yang akhirnya akan menyebabkan PPh
terutang menjadi lebih besar.
2.
Beda Waktu (Temporer)
Beda Waktu merupakan perbedaan pengakuan baik
penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan
Undang-undang PPh yang sifatnya sementara artinya koreksi fiskal yang dilakukan
akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun-tahun pajak berikutnya.
Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena
beda waktu terjadi karena : Penerimaan penghasilan cash basis untuk lebih dari
satu tahun.Secara akuntansi komersial penghasilan tersebut harus dialokasi
sesuai dengan masa perolehannya sesuai dengan prinsip matching cost with
revenue.Sedangkan menurut Undang-undang PPh, penghasilan tersebut harus diakui
sekaligus pada saat diterima.
Dalam hal pengakuan biaya koreksi karena beda
waktu terjadi karena :
a)
Perbedaan metode
penyusutan, dimana menurut Undang-undang PPh metode penyusutan yang
diperbolehkan hanya metode garis lurus dan saldo menurun
b)
Perbedaan metode
penilaian persediaan, dimana menurut Undang-undang PPh metode penilaian
persediaan yang diperbolehkan hanya metode rata-rata dan FIFO
c)
Penyisihan piutang tak
tertagih, dimana menurut Undang-undang Penyisihan piutang tak tertagih tidak
diperkenankan kecuali untuk usaha-usaha tertentu dan sebagainya
Koreksi atas beda waktu penghasilan akan
menyebabkan koreksi positif pada saat penghasilan diterima dan akan menyebabkan
koreksi negatif pada tahun-tahun berikutnya. Koreksi positif ini akan
menyebabkan laba kena pajak akan bertambah, sedangkan koreksi negatif
tahun-tahun berikutnya akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang.
Koreksi atas beda waktu biaya dapat
menyebabkan koreksi positif maupun koreksi negatif tergantung dari metode yang
digunakan.
1)
Koreksi Positif
Koreksi positif adalah koreksi fiskal yang
mengakibatkan adanya pengurangan biaya yang telah diakuai dalam laporan laba
rugi secara komersial menjadi semakin kecil apabila dilihat secara fiskal, atau
yang akan mengakibatkan adanya penambahan Penghasilan Kena Pajak. Koreksi
fiskal positif diantaranya:
-
Biaya yg dikeluarkan
untuk kepentingan pemegang saham
-
Pembentukan atau
pemupukan dana cadangan
-
Pengeluaran dalam
bentuk natura
-
Jumlah yang melebihi
kewajaran yang dibayarkan kpd pemegang saham
-
Sumbangan atau bantuan
-
Pajak Penghasilan
-
Sanksi administrasi
(Pajak)
-
Penyusutan/amortisasi
-
Dan lain – lain
2)
Koreksi Negatif
Koreksi negatif adalah koreksi fiskal yang
mengakibatkan adanya penambahan biaya yang telah diakui dalam laporan laba rugi
secara komersial sehingga semakin besar apabila dilihat secara fiskal, atau yang
akan mengakibatkan adanya pengurangan Penghasilan Kena Pajak. Koreksi fiskal negatif diantaranya:
-
Penyusutan/amortisasi
-
Penghasilan yang
ditangguhkan pengakuannya
-
Dan lain - lain
Penyusutan bisa menimbulkan koreksi negatif
atau positif tergantung hasil perhitungan apa lebih besar atau malah lebih
kecil.Untuk lebih mendalami koreksi fiskal kita dapat juga membaca laporan
audit akuntan publik atas laporan keuangan suatu perusahaan. Setiap perusahaan
akan mempunyai pos yang berbeda atas koreksi fiskalnya.
2.1.5.
Teknik
Rekonsiliasi Fiskal
Penghasilan
Jika suatu penghasilan
diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui menurut fiskal, rekonsiliasi
dilakukan dengan mengurangkan sejumlah penghasilan tersebut dari
penghasilan menurut akuntansi, yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi.
Jika suatu penghasilan
tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui menurut fiskal, rekonsiliasi
dilakukan dengan menambahkan sejumlah penghasilan tersebut pada penghasilan
menurut akuntansi, yang berarti menambah laba menurut akuntansi.
Pasal 4 ayat (1) yang berisi : yang menjadi objek
pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan konomis yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, termasuk:
a.
penggantian atau imbalan
berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk
gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun,
atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang
ini;
b.
hadiah dari undian atau
pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c.
laba usaha;
d.
keuntungan karena penjualan
atau karena pengalihan harta termasuk:
1)
keuntungan karena pengalihan
harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham
atau penyertaan modal;
2)
keuntungan karena pengalihan
harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya;
3)
keuntungan karena likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau
reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
4)
keuntungan karena pengalihan
harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan,
badan pendidikan, badan social termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi
yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak pihak yang
bersangkutan; dan
5)
keuntungan karena penjualan
atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam
pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
e.
Penerimaan kembali pembayaran
pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian
pajak;
f.
bunga termasuk premium,
diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g.
dividen, dengan nama dan
dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h.
royalti atau imbalan atas
penggunaan hak;
i.
sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta;
j.
penerimaan atau perolehan
pembayaran berkala;
k.
keuntungan karena pembebasan
utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah;
l.
keuntungan selisih kurs mata
uang asing;
m.
selisih lebih karena
penilaian kembali aktiva;
n.
premi asuransi;
o.
iuran yang diterima atau
diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p.
tambahan kekayaan neto yang
berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
q.
penghasilan dari usaha
berbasis syariah;
r.
imbalan bunga sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata
cara perpajakan; dan surplus Bank Indonesia.
Pasal 4 Ayat (2) yang berisi Penghasilan di bawah
ini dapat dikenai pajak bersifat final:
a.
penghasilan berupa bunga
deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara,dan bunga
simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
b.
penghasilan berupa hadiah
undian;
c.
penghasilan dari transaksi
saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa,
dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan
pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d.
penghasilan dari transaksi
pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
e.
penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 4 Ayat (3) yang berisi Yang dikecualikan
dari objek pajak adalah:
a.
1. bantuan atau sumbangan,
termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat
yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama
yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang
berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan
kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan,
atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b.
warisan;
c.
harta termasuk setoran tunai
yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b
sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d.
penggantian atau imbalan
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk
natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang
diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final
atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
e.
pembayaran dari perusahaan
asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f.
dividen atau bagian laba yang
diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri,
koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat:
-
dividen berasal dari cadangan
laba yang ditahan; dan
-
bagi perseroan terbatas,
badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
g.
iuran yang diterima atau diperoleh
dana pension yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang
dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h.
penghasilan dari modal yang
ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam
bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i.
bagian laba yang diterima
atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi
atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
j.
dihapus;
k.
penghasilan yang diterima
atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan
usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan
syarat badan pasangan usaha tersebut:
l.
merupakan perusahaan mikro,
kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan sahamnya tidak
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; beasiswa yang memenuhi persyaratan
tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
m.
sisa lebih yang diterima atau
diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan
dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi
yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu
paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
n.
bantuan atau santunan yang
dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
Beban (Biaya)
Jika suatu biaya atau
pengeluaran diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui sebagai pengurang
penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan mengurangkan
sejumlah biaya atau pengeluaran tersebut dari biaya menurut akuntansi, yang
berarti menambah laba menurut akuntansi.
Jika suatu biaya atau
pengeluaran tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui sebagai pengurang
penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan menambahkan
sejumlah biaya atau pengeluaran teersebut pada biaya menurut akuntansi yang
berarti mengurangi laba menurut akuntansi.
Pasal 6 Ayat (1)
berisi tentang Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri
dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
a. biaya yang secara langsung atau
tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
1. biaya pembelian bahan;
2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau
jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang
diberikan dalam bentuk uang;
3. bunga, sewa, dan royalti;
4. biaya perjalanan;
5. biaya pengolahan limbah;
6. premi asuransi;
7. biaya promosi dan penjualan yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
8. biaya administrasi; dan
9. pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. penyusutan atas pengeluaran untuk
memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak
dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
c. iuran kepada dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau
pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
e. kerugian selisih kurs mata uang
asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan
perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya beasiswa, magang, dan
pelatihan;
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih dengan syarat:
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam
laporan laba rugi komersial;
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar
piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
3. telah diserahkan perkara
penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani
piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau
telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan
dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
4. syarat sebagaimana dimaksud pada
angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;
yang pelaksanaannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
i.
sumbangan
dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
j.
sumbangan
dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
k. biaya pembangunan infrastruktur
sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
l.
sumbangan
fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
m. sumbangan dalam rangka pembinaan
olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9 Ayat 1 berisi tentang besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri
dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk
apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk
kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan,
kecuali:
1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank
dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi,
perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk
cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin
Simpanan;
4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha
pertambangan;
5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha
kehutanan; dan
6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan
tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah
industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh
Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi
tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali
penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan
kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan,
dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b,
kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai
dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima
oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
i.
biaya yang dibebankan
atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi
tanggungannya;
j.
gaji yang dibayarkan
kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
2.2.
KREDIT PAJAK
2.2.1. Pengertian Kredit Pajak
Pengertian kredit pajak adalah memperhitungkan pajak penghasilan
yang telah dibayar atau dipungut di muka dengan jumlah pajak yang terutang pada
akhir tahun pajak. Sebagaimana telah diketahui, bahwa wajib pajak dalam negeri
dikenakan pajak pada saat penghasilan diperoleh atau diterima dan bersifat
tidak final (dapat sebagai kredit pajak), terkait dengan PPh pasal 21, PPh
pasal 22 dan PPh pasal 23.
Sedangkan segala bentuk penghasilan yang
sudah dikenakan pajak yang bersifat final, tidak boleh diperlakukan sebagai kredit pajak. Demikian pula untuk pajak penghasilan
yang dipungut atau dibayar di luar negeri oleh wajib pajak dalam negeri. Pajak
penghasilan yang telah dipungut di luar negeri dapat dikurangkan dengan pajak
penghasilan yang terhutang di Indonesia, bila telah ada perjanjian kerjasama
timbal balik (tax treaty) di bidang perpajakan antara Indonesia dengan Negara
lain. Bila belum ada perjanjian pajak, maka wajib pajak tidak dapat melakukan kredit pajak. Perhitungan besarnya pajak yang dapat
dikreditkan terhadap pajak terutang atas seluruh penghasilan yang telah
dipungut di luar negeri diatur dalam pasal 24.
Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah
pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak
yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam
tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang
dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang
dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan
pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang
terutang.
2.2.2. Dasar Hukum
-
UU
No. 6/1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 18/2009 (UU KUP).
-
UU
No. 7/1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 36/2008 (UU PPh).
-
Keputusan
Menteri Keuangan No.164/KMK.03/2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri
2.2.3. Perlakuan Dalam Praktek
Berdasarkan pasal 24 ayat 1 dan ayat 2
UU PPh dinyatakan bahwa:
• Pajak yang dibayar atau terutang di luar
negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib
pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan
Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
• Besarnya kredit pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang
terutang berdasarkan Undang-undang ini.
Agar dapat melakukan kredit pajak dengan
baik, ada baiknya kita perlu memperhatikan dasar pengakuan penghasilan. Dari
dua ayat tadi kita dapat peroleh pengertian bahwa:
a. Penghasilan
yang “diterima” mengindikasikan bahwa penghasilan diakui pada saat
dibayar (cash basis), sedangkan penghasilan “diperoleh” menunjukkan
penghasilan diakui pada saat terjadinya walaupun uang belum
diterima (accrual basis). Pajak penghasilan di luar negeri ini bisa
jadi telah dibayar (cash basis) atau belum dibayar atau
terutang (accrual basis)oleh wajib pajak
b. Pajak
yang telah dibayar atau terutang di luar negeri dapat digunakan sebagai
pengurang (kredit pajak) pajak
yang terutang atas seluruh penghasilan pada tahun pajak yang sama
c. Batas
kredit ditentukan menurut undang-undang
2.2.4. Penggabungan Penghasilan
Wajib pajak menggabungkan (menjumlahkan) penghasilan yang
diterima atau diperoleh di luar negeri dengan penghasilan yang diterima atau
diperoleh didalam negeri, guna menentukan jumlah pajak penghasilan yang
terutang pada tahun pajak berdasarkan tarif normal (pasal 17). Penggabungan
penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan dengan ketentuan berikut :
-
Untuk penghasilan dari usaha dilakukan penggabungan
dengan penghasilan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut
-
Untuk penghasilan lainnya dilakukan penggabungan
dengan penghasilan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut
-
Untuk penghasilan berupa dividen, dilakukan penggabungan
dengan penghasilan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut
ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Indonesia menganut kredit pajak dengan
metode ordinary credit.Kredit pajak luar
negeri lebih lanjut diatur berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.
164/KMK.03/2002. Pajak penghasilan luar negeri yang dapat dikreditkan hanyalah
pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
oleh wajib pajak. Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang
dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang
terutang menurut UU ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun
pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.
Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa
Negara, maka pengitungan kredit pajak dilakukan
untuk masing-masing Negara. Kredit pajak dihitung
dengan perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan
kena pajak dikalikan dengan pajak yang terutang atas Penghasilan kena pajak,
paling tinggi sama dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena pajak dalam
hal Penghasilan kena pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.
Kredit Pajak Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri
dan BUT
• Pasal 22 : Pemungutan PPh dari
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
• Pasal 23 : Pemotongan PPh dari
dividen, bunga, royalty, sewa, hadiah dan penghargaan, dan imbalan lain.
• Pasal 24 : Pajak yang dibayar
atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh dikreditkan.
• Pasal 25 : Pembayaran yang
dilakukan oleh wajib pajak sendiri
:
Pajak
yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga-lembaga Negara lainnya. Pajak ini berkenaan dengan pembayaran atas
penyerahan barangdan badan-badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta
berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
Tarif
Pajak
-
Atas
Impor:
o
Ada
API (Angka Pengenal Impor)Ã 2.5% x nilai impor (CIF + BM)
o
Tdk
ada API Ã 7.5% x nilai impor
o
Lelang à 7.5% x harga jual lelang
-
Atas
pembelian barang yang dipungut oleh Pemungut Pajak:
o
1.5%
x harga pembelian
-
Yang
wajib dipungut oleh industri dan eksportir yang bergerak di sektor perhutanan,
perkebunan, pertanian, dan perikanan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan
industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul:
o
0.5%
x harga pembelian (tdk termasuk PPN)
-
Atas
penjualan hasil produksi atau pembelian yang dilakukan oleh badan usaha yang
bergerak di bidang tertentu:
o
Di
bidang industri semen: 0.25% x DPP PPN
o
Di
bidang industri baja: 0.3% x DPP PPN
o
Di
bidang industri kertas: 0.1% x DPP PPN
-
Atas
penjualan semua jenis kendaraan bermotor: 0.45% x DPP PPN
-
Tarif
PPh Pasal 22 yang ditetapkan untuk Pertamina dan Badan Usaha lainnya yang
bergerak di bidang bahan bakar minyak:
SPBU
Swasta
SPBU
Pertamina
Premix 0.3% x penjualan 0.25%
x penjualan
Solar
0.3% x penjualan 0.25%
x penjualan
Premix/
0.3% x penjualan 0.25%
x penjualan
Super TT
Minyak
tanah
0.3% x penjualan
Gas LPG
0.3% x penjualan
Pelumas
0.3% x penjualan
Pajak
Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari: modal, penyerahan
jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Ps. 21 yang dibayarkan atau terutang oleh Badan
Pemerintah atau Subjek Pajak Dalam Negeri, penyelenggara kegiatan, BUT.
Saat
terutangnya pajak
Terutang pada akhir bulan dilakukannya
pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan bersangkutan, mana yang
terjadi terlebih dulu.
Pemotong
Pajak
-
Badan
Pemerintah
-
Subjek
Pajak badan dalam negeri
-
Penyelenggara
kegiatan
-
BUT
-
Orang
pribadi sebagai WP dalam negeri tertentu (akuntan, arsitek, dokter, notaris,
orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas
pembayaran berupa sewa).
Tarif
Pajak
-
15%
dari jumlah bruto atas dividen, bunga, royalti, hadiah dan penghargaan selain
yang telah dipotong PPh ps. 21 (yang diperoleh oleh WP badan dalam negeri
berkenaan dengan suatu kegiatan yang diselenggarakan)
-
15%
dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta (kecuali sewa tanah dan bangunanà final tax)
-
imbalan
sehubungan dengan jasa lain, misal jasa manajemen, jasa kesehatan, dll. sebesar
2%
PPh
pasal 24 mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang
dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak
penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri
Pengkreditan
pajak luar negeri dilakukan dalam tahun digabungkannya penghasilan dari luar
negeri dengan penghasilan di Indonesia. Indonesia menganut Tax credit yang ordinary credit method dengan
menerapkan per country
limitation
Penggabungan Penghasila yang berasal dari LN
dilakukan sbb:
-
Penggabungan
penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan
tersebut (accrual basis)
-
Penggabungan
penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan
tersebut (cash basis)
-
Penggabungan
penghasilan yang berupa dividen (pasal 18 ayat 2 UU PPh) dilakukan dalam tahun
pajak pada saat perolehan dividen tersebut di tetapkan sesuai dengan Keputusan
Menteri Keuangan .
Batas Maksimum Kredit Pajak diambil yang terendah dari 3 unsur/perhitungan
berikut:
-
Jumlah
Pajak yang terutang atau dibayar di Luar Negeri
-
(
Penghasilan Luar Negeri : Seluruh Penghasilan Kena Pajak ) x PPh atas seluruh
yang dikenakan tarif pasal 17
-
Jumlah
pajak yang terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak (dalam hal penghasilan
kena pajak adalah lebih kecil daripada penghasilan luar negeri).
Batas Maksimum Kredit Pajak untuk setiap Negara (per Country Limitation): Apabila penghasilan luar negeri
berasal dari beberapa negara, maka perhitungan batas maksimum kredit pajak dilakukan untuk masing-masing Negara.
Rugi Usaha di Luar Negeri
Dalam menghitung penghasilan kena pajak,
kerugian yang diderita oleh Wajib Pajak di luar Negeri tidak boleh dikompensasikan dengan penghasilan yang
diterima di dalam negeri (Indonesia).
Dalam sistem perpajakan
Indonesia dikenal istilah cicilan bulan Pajak Penghasilan yang merupakan
pembayaran pendahuluan atas PPh yang akan terutang di akhir tahun berdasarkan
SPT Tahunan PPh, yang dikenal dengan Angsuran PPh Pasal 25.
Perhitungan Kredit Pajak
1. PPh
Dipotong/Dipungut pihak lain
a) Kredit Pajak Dalam Negeri
• PPh Pasal 21
xxx
• PPh Pasal 22
xxx
• PPh Pasal 23
xxx
xxx
b) Kredit Pajak Luar Negeri
• PPh Pasal 24
xxx
2. PPh
Yang dibayar sendiri
• PPh Pasal 25
xxx
Jumlah Kredit
Pajak
xxx
Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang
pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan beban pajak ganda yang
dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh di luar negeri, ketentuan ini mengatur tentang perhitungan
besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan
Wajib Pajak dalam negeri.
Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang
di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di
Indonesia hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak.
Contoh :
PT A di
Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di Negara X. Z Inc.
tersebut dalam tahun 1995 memperoleh keuntungan sebesar US$ 100,000.00. Pajak
Penghasilan yang berlaku di negara X adalah 48% dan Pajak Dividen adalah
38%.
Penghitungan
pajak atas dividen tersebut adalah sebagai berikut:
Keuntungan
Z Inc
US$ 100,000.00
Pajak
Penghasilan (Corporate income tax) atas Z Inc.: (48%) US$ 48,000.00 (-)
US$ 52,000.00
Pajak
atas dividen (38%) US$ 19,760.00 (-)
Dividen
yang dikirim ke Indonesia US$ 32,240.00
Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap
seluruh Pajak Penghasilan yang terutang atas PT A adalah pajak yang langsung
dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam
contoh di atas yaitu jumlah sebesar US$ 19,760.00.
Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z
Inc. sebesar US$ 48,000.00 tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak
Penghasilan yang terutang atas PT A, karena pajak sebesar US$48,000.00
tersebut tidak dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh PT A dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas
keuntungan Z Inc. di negara X.
2.3.
Pajak Akhir Tahun
Dalam UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan Pasal 28 ayat 1 disebutkan bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun
pajak yang bersangkutan berupa :
a.
pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
b.
pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan
usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22;
c.
pemotongan pajak atas penghasilan berupa deviden, bunga, royalti sewa, hadiah
dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;
d. pajak
yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
e.
pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25;
f.
pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5).
Pasal tersebut memiliki penjelasan bahwa pajak yang
telah dilunasi dalam tahun berjalan, baik yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
ataupun yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain, dapat dikreditkan
terhadap pajak yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan
Contoh:
Pajak
Penghasilan yang terutang
Rp
80.000.000,00
Kredit
pajak:
Pemotongan
pajak dari pekerjaan (Pasal 21)
Rp 5.000.000,00
Pemungutan
pajak oleh pihak lain (Pasal 22)
Rp 10.000.000,00
Pemotongan
pajak dari modal (Pasal 23)
Rp 5.000.000,00
Kredit
pajak luar negeri (Pasal 24) Rp
15.000.000,00
Dibayar
sendiri oleh wajib pajak (Pasal 25) Rp 10.000.000,00
Jumlah
Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp
45.000.000,00
Pajak
Penghasilan yang masih harus dibayar
Rp 35.000.000,00
Dalam pasal 28 ayat 2 disebutkan bahwa sanksi
administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda
yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan yang berlaku tidak boleh dikreditkan dengan pajak yang terutang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 28A disebutkan bahwa apabila pajak
yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah dilakukan
pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan
dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya. Pasal ini memiliki penelasan bahwa
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat
yang ditunjuk berwenang untuk mengadakan pemeriksaan sebelum dilakukan
pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak. Hal-hal yang harus menjadi
pertimbangan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak
adalah:
a.
kebenaran materiil tentang besarnya pajak penghasilan yang terutang;
b. keabsahan
bukti-bukti pungutan dan bukti-bukti potongan pajak serta bukti pembayaran
pajak oleh Wajib Pajak sendiri selama dan untuk tahun pajak yang
bersangkutan.
Oleh karena itu untuk kepentingan pemeriksaan,
Direktur Jenderal Pajak atau pejabat lain yang ditunjuk diberi wewenang untuk
mengadakan pemeriksaan atas laporan keuangan, buku-buku, dan catatan lainnya
serta pemeriksaan lain yang berkaitan dengan penentuan besarnya pajak
penghasilan yang terutang, kebenaran jumlah pajak dan jumlah pajak yang telah
dikreditkan dan untuk menentukan besarnya kelebihan pembayaran pajak yang harus
dikembalikan. Maksud pemeriksaan ini untuk memastikan bahwa uang yang akan
dibayar kembali kepada Wajib Pajak sebagai restitusi itu adalah benar merupakan
hak Wajib Pajak.
Dalam Pasal 29 disebutkan apabila pajak yang
terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran pajak
yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan. Yang memiliki penjelasan bahwa pasal 29 mewajibkan
Wajib Pajak untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutang menurut
ketentuan Undang-Undang ini sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan dan paling lambat pada batas akhir penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan. Apabila tahun buku sama dengan tahun kalender,
kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi paling lambat tanggal 31 Maret bagi
Wajib Pajak orang pribadi atau 30 April bagi Wajib Pajak badan setelah tahun
pajak berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak sama dengan tahun
kalender, misalnya dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan 30 Juni,
kekurangan pajak wajib dilunasi paling lambat tanggal 30 September bagi Wajib
Pajak orang pribadi atau 31 Oktober bagi Wajib Pajak badan.
2.4.
Contoh Kasus
URAIAN
|
KOMERSIAL
|
Peredaran
Usaha
|
|
|
Penjualan
|
40.500.000.000
|
Harga
Pokok Penjualan
|
|
|
Pembelian
|
35.000.000.000
|
|
Persediaan
Awal
|
6.000.000.000
|
|
Persediaan
Akhir
|
4.000.000.000
|
Harga
Pokok Penjualan
|
37.000.000.000
|
Laba
Bruto
|
3.500.000.000
|
|
|
|
Biaya
Operasi dan Umum:
|
1
|
Gaji
|
1.200.000.000
|
2
|
Sewa
|
250.000.000
|
3
|
Biaya
Perjalanan
|
191.000.000
|
4
|
Perbaikan
& Pemeliharaan+B34
|
135.000.000
|
5
|
Promosi
|
220.000.000
|
6
|
Penelitian
dan Pengembangan
|
300.000.000
|
7
|
Penghapusan
Piutang Tidak Tertagih
|
125.000.000
|
8
|
Bongkar
Muat
|
35.000.000
|
9
|
PKB,
PBB, Bea Meterai
|
20.000.000
|
10
|
Telp
/ Fax
|
50.000.000
|
11
|
Listrik
/ Air
|
45.000.000
|
12
|
Pajak
& Perijinan
|
30.000.000
|
13
|
Profesional
Fee
|
17.500.000
|
14
|
Asuransi
Kerugian & Kebakaran
|
15.000.000
|
15
|
Penyusutan
|
200.000.000
|
16
|
Training
Ke Luar Negeri -Manager
|
150.000.000
|
17
|
Sumbangan
& Bantuan
|
122.000.000
|
18
|
Natura
|
150.000.000
|
19
|
Lain-lain
|
82.000.000
|
Total
Biaya
|
3.337.500.000
|
Laba
Usaha
|
162.500.000
|
Pendapatan
& Beban Lain-lain:
|
|
1
|
Dividen
dari PT. AGAR (saham 20%)
|
50.000.000
|
2
|
Dividen
dari PT. KITA (saham 26%)
|
30.000.000
|
3
|
Pendapatan
Sewa Mobil
|
40.000.000
|
4
|
Keuntungan
Penj. Tanah
|
25.000.000
|
5
|
Bantuan
Dari PT. SEGALANYA
|
10.000.000
|
6
|
Jasa
Giro di Bank BCA
|
1.500.000
|
7
|
Keuntungan
Selisih Kurs
|
5.000.000
|
Total
Pendapatan & Beban Lain-lain
|
161.500.000
|
Laba
Tahun Berjalan Sebelum PPh
|
324.000.000
|
|
|
|
|
Keterangan
Data Keuangan :
|
|
|
|
|
|
1
|
Dalam
pembelian terdapat pembelian, ada biaya yang tidak dapat dibuktikan (tidak
ada daftar nominatif) sebesar Rp 5.000.000.
|
|
2
|
Dalam
biaya gaji & tunjangan, dapat dirinci sbb:
|
|
|
|
-
|
Gaji,
bonus, THR
|
|
|
|
1.050.000.000
|
|
|
-
|
Premi
JKK, JKM, JPK Ke Jamsostek
|
30.000.000
|
|
|
-
|
Iuran
Pensiun Karyawan Dibayar Perush.
|
20.000.000
|
|
|
-
|
PPh 21
( Ditanggung Perusahaan)
|
30.000.000
|
|
|
-
|
Tunjangan
Kesehatan & Tunjangan Transportasi
|
70.000.000
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1.200.000.000
|
|
4
|
Dalam
biaya sewa, dapat dirinci sbb:
|
|
|
|
-
|
Sewa
Gedung Kantor
|
|
|
200.000.000
|
|
|
-
|
Sewa
Kendaraan
|
|
|
|
50.000.000
|
|
|
|
|
|
|
|
|
250.000.000
|
|
5
|
Dalam
biaya perjalanan dinas, dapat dirinci sbb:
|
|
|
|
-
|
Perjalanan
Dinas Dalam Negeri
|
30.000.000
|
|
|
-
|
Perjalanan
Dinas Dalam Rangka Litbang Luar Negeri
|
145.000.000
|
|
|
-
|
Uang
Saku Untuk Perjalanan Dinas
|
15.000.000
|
|
|
-
|
Airport
Tax
|
|
|
|
1.000.000
|
|
|
|
|
|
|
|
|
191.000.000
|
|
6
|
Dalam
Biaya Perbaikan dan Pemeliharaan, dapat dirinci sbb:
|
|
|
-
|
Bangunan
Kantor
|
|
|
|
110.000.000
|
|
|
-
|
Mobil
Yang Disewakan
|
|
25.000.000
|
|
|
|
|
|
|
|
|
135.000.000
|
|
7
|
Dalam
biaya promosi, dapat dirinci sbb:
|
|
|
|
-
|
Pameran
Produk Baru
|
|
130.000.000
|
|
|
-
|
Presentasi
(Tidak dapat dibuktikan)
|
50.000.000
|
|
|
-
|
Iklan
Surat Kabar
|
|
|
|
40.000.000
|
|
|
|
|
|
|
|
|
220.000.000
|
|
8
|
Dalam
biaya Litbang, dapat dirinci sbb:
|
|
|
|
-
|
Survei
di Vietnam
|
|
|
|
250.000.000
|
|
|
-
|
Survei
di Irian Jaya
|
|
|
|
50.000.000
|
|
|
|
|
|
|
|
|
300.000.000
|
|
9
|
Biaya
tersebut merupakan penghapusan kepada 1 rekanan, sudah dijurnal, dibuatkan
daftar nominatif, tapi tidak diiklankan di media.
|
10
|
Dalam
biaya PKB, PBB, Bea Meterai terdapat pembayaran untuk Mess karyawan Rp
3.000.000.
|
11
|
Beban
Pajak & Perijinan adalah pembayaran kepada Notaris karena pengurusan
surat-surat perusahaan
|
12
|
Atas
jasa pembuatan DSIGN LOGO, perusahaan mengeluarkan beban fee sebesar Rp
17.500.000 kepada Tuan SAPTO yang
|
|
tercatat
sbg komisaris PT. TERSENYUMLAH. Jasa Design sejenis bila diselesaikan pihak
lain, hanya memerlukan biaya Rp 15.000.000
|
13
|
Penyusutan
Fiskal Rp 110.000.000
|
|
|
14
|
Dalam
biaya sumbangan, bantuan, zakat dapat dirinci sbb:
|
|
|
-
|
Sumbangan
HUT RI
|
|
|
5.000.000
|
|
|
-
|
CSR:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1.
Dalam bentuk uang
|
|
25.000.000
|
|
|
|
2.
Dalam bentuk sarana/barang
|
15.000.000
|
|
|
-
|
Hibah
ke Yayasan Panti Asuhan
|
50.000.000
|
|
|
-
|
Sumbangan
olah raga ke PBSI
|
20.000.000
|
|
|
-
|
Zakat
langsung diberikan ke Saudara karyawan Perush.
|
7.000.000
|
|
|
|
|
|
|
|
|
122.000.000
|
|
15
|
Dalam
biaya natura & kenikmatan, dapat dirinci sbb:
|
|
|
|
-
|
Beras,
Kecap, Gula (jika dinilai harga pasar)
|
25.000.000
|
|
|
-
|
Pulsa
HP untuk Manager
|
10.000.000
|
|
|
-
|
Rumah
(Mess) Untuk Karyawan
|
5.000.000
|
|
|
-
|
Biaya
Makan Minum Karyawan
|
100.000.000
|
|
|
-
|
Biaya
Operasional Sedan Direksi Dibawa Pulang
|
10.000.000
|
|
|
|
|
|
|
|
|
150.000.000
|
|
16
|
Dalam
biaya lain-lain, dapat dirinci sbb:
|
|
|
|
-
|
Biaya
Jamuan Makan Relasi / Entertainment
|
50.000.000
|
|
|
-
|
Biaya rekreasi
karyawan (Outbond)
|
25.000.000
|
|
|
-
|
Biaya
Ikut Seminar Pajak SPT Tahunan
|
2.000.000
|
|
|
-
|
Biaya
Keperluan Dapur Kantor (Ada Bukti)
|
5.000.000
|
|
|
|
|
|
|
|
|
82.000.000
|
|
17
|
Harga
Beli Rp 600.000.000,- Dijual Rp 625.000.000,-
|
|
|
18
|
Tidak
ada hubungan apapun antara PT. TERSENYUMLAH dengan PT. SEGALANYA
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Rekonsiliasi Fiskal, yaitu suatu mekanisme
untuk menyesuaikan laporan keuangan komersial perusahaan menjadi sesuai dengan
ketentuan perpajakan yang berlaku.
2. Secara umum terdapat dua perbedaan pengakuan
baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan perpajakan
(fiskal) yang menyebabkan terjadinya koreksi fiskal, yaitu beda tetap
(permanen) dan beda waktu (sementara). Beda waktu dibedakan menjadi koreksi
positif dan negatif.
3. Teknik rekonsiliasi fiskal dilakukan dengan
cara; Jika suatu penghasilan diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui
menurut fiskal, maka kurangkan sejumlah penghasilan tersebut dari
penghasilan menurut akuntansi, begitupun sebaliknya, dan Jika suatu biaya
atau pengeluaran diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui sebagai pengurang
penghasilan bruto menurut fiskal rekonsiliasi dilakukan dengan mengurangkan
sejumlah biaya atau pengeluaran tersebut dari biaya menurut akuntansi, yang
berarti menambah laba menurut akuntansi, begitupun sebaliknya.
4. Formulir SPT Tahunan PPh Badan ada dua jenis;
yaitu SPT dengan kode 1771 dan SPT berkode 1771/$. SPT 1771 diperuntukkan untuk
WP Badan pada umumnya yang meliputi WP Badan yang berbentuk hukum : PT, CV,
perseroan lainnya, BUMN/D, koperasi, yayasan dan lain-lain.
3.2 Saran
Dengan adanya Rekonsiliasi Fiskal diharapkan para Wajib Pajak
dapat memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan.Sedangkan bagi pemerintah diharapakan dapat meningkatkan
pengawasan dalam penyelenggaraan pembayaran pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Mardiasmo, M. A. (2011). Perpajakan Edisi
Revisi 2011. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta.
Resmi, Siti. 2014. Perpajakan Teori dan Kasus.
Jakarta: Salemba Empat
Waluyo. 2011. “Perpajakan Indonesia”. Jakarta: Penerbit Salemba
Empat.
Seno. 2012. Teknik Rekonsiliasi Fiskal dalam http://senoverserira.blogspot.com/2012/12/teknik-rekonsiliasi-fiskal.html
diakses tanggal 01 Juni 2015