LINGKUNGAN BISNIS DAN HUKUM KOMERSIAL (LBHK)
PENYELESAIAN SENGKETA DALAM
HUKUM BISNIS
DISUSUN OLEH
KELOMPOK 3:
1. FARIDA
2. SRI NEVA LIZA
3. YENI SAPRIDAWATI
PENYELESAIAN
SENGKETA DALAM HUKUM BISNIS
A.
PENDAHULUAN
Semakin maraknya kegiatan bisnis, tidak mungkin di
hindari adanya sengketa diantara para pihak-pihak yang terlibat. Secara
konvensional penyelesaian sengketa dilakukan secara ligitasi (pengadilan),
dimana posisi para pihak berlawanan satu sama lain. Proses ini oleh kalangan
bisnis dianggap tidak efektif dan tidak efesien, terlalu formalistic,
berbelit-belit, penyelesaiannya membutuhkan waktu yang lama dan biayanya
relative mahal. Apalagi putusan pengadilan bersifat win-lose solution (menang kalah), sehingga dapat merenggangkan
hubungan kedua belah pihak di masa-masa yang akan datang. Sebagai solusinya,
kemudian berkembanglah model penyelesaian sengketa non litigasi, yang dianggap
lebih bisa mengakomodir kelemahan-kelemahan model litigasi dan memberikan jalan
keluar yang lebih baik. Proses diluar litigasi dipandang lebih menghasilkan
kesepakatan yang win-win solution, menjamin kerahasiaan sengketa para
pihak, menghindari keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan, dan
tetap menjaga hubungan baik.
B.
PENGERTIAN SENGKETA BISNIS
Dalam kamus
bahasa Indonesia sengketa adalah pertentangan atau konflik. Konflik berarti
adanya oposisi, atau pertentangan antara kelompok atau organisasi terhadap satu
objek permasalahan. Menurut
Winardi, Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu –
individu atau kelompok – kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang
sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu
dngan yang lain.
Menurut Ali Achmad, sengketa
adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang
berbeda tentang suatu kepemilikan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat
hukum antara keduanya.
Dari pendapat
diatas dapat di simpulkan bahwa Sengketa adalah perilaku pertentangan
antara kedua orang atua lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum
dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
Pertumbuhan
ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerja sama
bisnis. mengingat kegiatan bisnis yang semakin meningkat, maka tidak mungkin
dihindari terjadinya sengketa diantara para pihak yang terlibat. Sengketa
muncul dikarenakan berbagai alasan dan masalah yang melatar belakanginya,
terutama karena adanya conflict of interest diantara para pihak. Sengketa
yang timbul diantara para pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan
bisnis atau perdagangan dinamakan sengketa bisnis. Secara rinci sengketa bisnis
dapat berupa sengketa sebagai berikut :
1.
Sengketa
Perniagaan
2.
Sengketa
Perbankan
3.
Sengketa
Keuangan
4.
Sengketa
Penanaman Modal
5.
Sengketa
Perindustrian
6.
Sengketa HKI
7.
Sengketa
Konsumen
8.
Sengketa Kontrak
9.
Sengketa
Pekerjaan
10. Sengketa Perburuhan
11. Sengketa Perusahaan
12. Sengketa Hak
13. Sengketa Property
14. Sengketa Pembangunan Konstruksi
C.
MACAM-MACAM CARA PENYELESAIAN
Pertumbuhan
ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama
bisnis, yang meningkat dari hari ke hari. Semakin meningkatnya kerjasama
bisnis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat sengketa diantara para pihak
yang terlibat didalamnya. Penyelesaian
sengketa dapat berupa :
1. Litigasi
2. Non Litigasi
·
LITIGASI
Litigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur
pengadilan. Adapun sisi positif menyelesaikan sengketa di jalur pengadilan adalah :
- Hukum yang berlaku adalah sistem hukum Indonesia
- Berlangsung di wilayah Republik Indonesia
Sedangkan sisi
negatifnya adalah :
1
Partner asing
belum memberikan kepercayaan kepada efektivitas hukum di Indonesia
2
Proses peradilan
memakan waktu yang lama. Karena terbukanya kesempatan untuk mengajukan upaya hukum atas putusan hakim, melalui banding, kasasi dan peninjauan
kembali.
3
Proses dilakukan
terbuka untuk umum
Mekanisme
penyelesaian sengketa dengan jalur pengadilan dilaksanakan di lembaga penyelesaian sengketa bisnis. Di indonesia ada dua lembaga penyelesaian sengketa bisnis yaitu
- Pengadilan Umum
Pengadilan Negeri berwenang memeriksa sengketa bisnis, mempunyai
karakteristik :
1. Prosesnya sangat formal
2. Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)
3. Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
4. Sifat keputusan memaksa dan mengikat (Coercive and binding)
5. Orientasi ke pada fakta hukum (mencari pihak yang bersalah)
6. Persidangan bersifat terbuka
- Pengadilan Niaga
Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan
pengadilan umum yang mempunyai kompetensi untuk memeriksa dan memutuskan
Permohonan Pernyataan Pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
dan sengketa HAKI. Pengadilan Niaga mempunyai karakteristik sebagai berikut :
- Prosesnya sangat formal
- Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk
oleh negara (hakim)
- Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
- Sifat keputusan memaksa dan mengikat (coercive and
binding
- Orientasi pada fakta hukum (mencari pihak yang
salah)
- Proses persidangan bersifat terbuka
- Waktu singkat.
·
NON-LITIGASI
Non litigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Pada masa
sekarang ini masyarakat mulai beralih ke metode alternative penyelesaian
sengketa diluar pengadilan yang sering dikenal dengan istilah ADR (Alternative
Dispute Resolution).
Menurut Yahya Harahap dkk, ada faktor-faktor
yang menjadi alasan perlunya alternative penyelesaian sengketa
(ADR) sebagai berikut :
- Adanya tuntutan dunia bisnis.
- Adanya berbagai kritik yang dilontarkan kepada
lembaga peradilan.
- Peradilan pada umumnya tidak responsif.
- Keputusan pengadilan tidak menyelesaikan
masalah.
- Kemampuan para hakim bersifat generalis.
- Adanya berbagai ungkapan yang mengurangi citra
pengadilan.
- Pencegahan terjadinya sengketa akan
memperkecil sengketa.
Dasar hukum Alternativ Dispute Resolution/ADR
sebagai berikut :
- Dasar filosofi yaitu pancasila.
- Reglement op de Burgerlijke Rechvordering (RV)
atau pengaturan Arbitrase.
- Konvensi Washinton/dengan UU No 5/1968.
- Konvensi New York dan Keppres No : 34/1981.
- UU No : 14/1970 sekarang UU No : 4/2004.
- Tahun 1977 didirikan BANI.
- UU Nomor 30/1999 tentang Arbitrase.
Alternatif Penyelesaian Sengketa (termasuk arbitrase)
dapat diberi batasan sebagai sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi
memberi alternatif atau pilihan suatu tata cara penyelesaian sengketa melalui
bentuk arbitrase agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak. Secara
umum, tidak selalu dengan melibatkan intervensi dan bantuan pihak ketiga yang
independent yang diminta membantu memudahkan penyelesaian sengketa tersebut”
(Abdulrasyid, 2002).
Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud dengan ADR (Alternative
Dispute Resolution) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah suatu
pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para
pihak dengan menyampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan.
Dalam UU No. 30 Tahun 1999, dapat kita temui sekurangnya ada lima macam cara
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu
1
Konsultasi
2
Negosiasi.
3
Mediasi.
4
Konsiliasi.
5
Arbitrase.
- KONSULTASI
Dalam Black’s Law Dictionary yang dikutip oleh Gunawan
Widjaja, pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat
personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak
lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada
kliennya untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut (Widjaya,
2001). Peran konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada
tidaklah dominan sama sekali. Konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana
diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa
tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak, meskipun adakalanya pihak
konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian
sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.
- NEGOSIASI
Istilah negosiasi berasal dari
bahasa Inggris “Negotiation” yang berarti perundingan, sedangkan orang yang
mengadakan perundingan disebut dengan “negosiator”.
Pengertian negosiasia secara umum
“adalah : suatu upaya penyelesaian sengketa pihak tanpa melalui proses
peradilan dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja
sama yang lebih harmonis dan kreatif”.
Menurut Alan Fowler menjelaskan
bahwa negosiasi terdiri dari beberapa elemen yang merupakan prinsip-prinsip
umum, yaitu :
1)
Negosiasi melibatkan dua pihak atau lebih.
2)
Pihak-pihak itu harus membutuhkan keterlibatan satu sama
lain dalam mencapai hasil yang diinginkan bersama.
3)
Pihak-pihak yang bersangkutan setidak-tidaknya pada
awalnya menganggap negosiasi sebagai cara yang lebih memuaskan untuk
menyelesaikan perbedaan mereka dibandingkan dengan metode lain.
4)
Masing-masing pihak harus beranggapan bahwa ada
kemungkinan untuk membujuk pihak lain untuk memodifikasi posisi awal mereka.
5)
Setiap pihak harus mempunyai harapan akan sebuah hasil
akhir yang mereka terima dan suatu konsep tentang seperti apakah hasil akhir
itu.
6)
Masing-masing pihak harus mempunyai suatu tingkat kuasa
atas kemampuan pihak lain untuk bertindak.
7)
Proses negosiasi itu sendiri pada dasarnya merupakan
salah satu interaksi diantara orang-orang, terutama antar komunikasi lisan yang
langsung, walaupun kadang dengan elemen tertulis yang penting.
Ada 2 Model Negosiasi yaitu :
1.
Positional
Dalam model positional ada 2 hal yang penting yaitu :
- Hard Negosiator (kompetetitif); Masing-masing
pihak berusaha untuk mendapatkan bagian yang terbesar dan memenangkan
negosiasi tersebut.
- Soft Negosiator; Selalu memberikan konsesi atau mengikuti kemauan
yang diminta pihak lain, karena ia lebih mementingkan hubungan baik dan
dinomorsatukan.
Model perundingan positional memiliki ciri-ciri berikut
ini :
•
Dimulai dengan
menawarkan sebuah solusi
•
Sikap dan
perilaku negosiator seperti membagi kue
•
Tujuannya
bagaimana memperoleh potongan kue yang terbesar
•
Mereka
memposisikan pihak sebagai musuh yang harus dikalahkan bukan sebagai teman
untuk menyelesaikan masalah
•
Solusi hanya
satu, yakni solusi saya
•
Memberikan
konsesi adalah suatu kekalahan
2.
Interest Based
Perundingan interest based ini didasarkan pada kepentingan bersama (joint problem solving). Para
pihak melihat permasalahan yang ada tidak hanya milik satu orang, tetapi
permasalahan bersama, sehingga dicari bagaimana cara menyelesaikan persoalan
yang ada.
Perundingan berdasar kepentingan dimulai dengan:
- Mengembangkan
dan menjaga hubungan
- Para pihak
berusaha mendidik satu dengan yang lain akan kebutuhan mereka
- Mereka akan
selalu mencoba menyelesaikan masalah berdasarkan pada kepentingan atau
kebutuhan belah pihak
Ciri-Ciri Perundingan
Berdasarkan Kepentingan
•
Tujuannya adalah win-win
•
Kebutuhan para pihak harus dibahas dalam rangka mencapai tujuan
•
Para negosiator adalah adalah individu yang menyelesaikan masalah secara
kooperatif
•
Menjaga pola hubungan positif selama perundingan
•
Mencoba mencari solusi, sehingga didapat penyelesaian yang memuaskan
•
Bagaimana mereka saling menjaga kepercayaan diri dan kepercayaan pihak
lain. Kunci negosiasi adalah trust.
Tahap-tahap dalam bernegosiasi, ada 3 tahapan
antara lain :
1)
Tahapan sebelum negosiasi dimulai
Dalam tahap sebelum negosiasi
dimulai maka berlaku prinsip-prinsip dasar tahap pra negosiasi, prinsip dasar
tersebut sebagai berikut :
a.
Pokok persoalan apa yang cenderung timbul dalam konteks
kerja yang umum yang memerlukan negosiasi.
b.
Siapa yang terlibat dalam negosiasi ?
c.
Apakah negosiasi itu perlu ?
d.
Bagaimana kualitas hubungan diantara pihak-pihak itu?
2)
Tahap berlangsungnya negosiasi
Pada tahap ini, beberapa hal yang
perlu diperhatikan oleh negosiasi, yaitu :
a.
Menetapkan persoalan.
b.
Menetapkan posisi awal.
c.
Argumentasi.
d.
Menyelidiki kemungkinan.
e.
Menetapkan proposal.
f.
Menetapkan dann menanda tangani persetujuan.
3)
Tahap setelah negosiasi disimpulkan
Pada tahap negosiasi disimpulkan
ini, hasil persetujuan tersebut harus ditindak lanjuti, maka para pihak perlu
melakukan beberapa langkah sebagai berikut :
a.
Memasukkan program pelaksanaan kedalam persetujuan itu.
b.
Adakan tim bersama untuk meninjau pelaksanaan.
c.
Pastikan informasi dan penjelasan yang memadai.
Faktor-Faktor
Negosiasi, menurut garry Goodp aster terdapat
beberapa hal yang sangat mempengaruhi jalannya negosiasi, antara lain :
1
Kekuatan tawar menawar.
2
Pola tawar menawar.
3
Strategi dalam tawar menawar.
Dalam negosiasi akan selalu terdapat tawar menawar
diantara para pihak, tawar menawar tersebut bersifat relatif yang tergantung
pada beberapa hal, yaitu :
1)
Bagaimana kebutuhan anda terhadap pihak lain.
2)
Bagaimana kebutuhan pihak lain terhadap anda.
3)
Bagaimana alternatif kedua belah pihak.
4)
Apa persepsi para pihak mengenai kebutuhann serta
pilihan-pilihannya.
Strategi
dan Taktik Bernegosiasi
- Menurut Garry Goodparter. Agar suatu negosiasi
dapat berhasil dengan baik setiap negosiator harus menggunakan strategi
atau taktik bernegosiasi, antara lain :
1)
Bersaing (competing).
2)
Berkompromi (compromising).
3)
Pemecahan masalah (problem solving).
- Menurut James G. Patterson, strategi
bernegosiasi ada lima cara antara lain:
1)
Withdrawal/Avoidance
Yaitu : strategi menghindar atau
melarikan diri, strategi ini sangat baik dipergunakan bila :
a)
Permasalahan tersebut sederhana atau sepele.
b)
Bila pihak-pihak dalam suatu konflik kurang mampu
menawarkan solution.
c)
Bila potensi kekalahan dalam konflik lebih berat
berdasarkan analisis Cost Benefit.
d)
Bila tidak cukup waktu untuk menyelesaikan konflik.
2)
Smoothing/Accommodation
Pengikut strategi ini merasa
peduli terhadap orang dan mereka mencoba menyelesaikan konflik dengan menjaga
agar setiap orang senang. Strategi ini baik digunakan bila :
a.
Permasalahannya kecil.
b.
Kerugian yang berhubungan akan diderita oleh semua pihak
yang terlibat dalam konflik.
c.
Ada pengurangan tingkat konflik agar mendapatkan
informasi yang lebih banyak.
d.
Sifat melembut juga berkembang.
3)
Compromise, yaakni dimana para pihak mendapatkan hak yang
sama untuk mengekspresikan pendapat. Strategi ini sering digunakan untuk
mendapatkan solusi. Kompromi ini dapat dilakukan bila
a)
Kedua belah pihak berkemungkinan mendapatkan keuntungan
dalam kompromi tersebut.
b)
Bila solusi idela tidak diperlukan.
c)
Bila anda perlu solusi sementara untuk masalah yang
komplek.
d)
Bila kedua belah pihak memiliki kekuatan yang sama.
4)
Force/Competition. Para pihak hanya melihat konflik
sebagai suatu keadaan menang-kalah (win-lose), dimana pihak lawan mereka
harus kalah.
Strategi ini dapat digunakan bila
:
a)
Anda atau group perlu tindakan atau keputusan segera.
b)
Semua pihak dalam konflik mengharapkan dan senang dengan
penggunaan kekuasaan/kekuatan.
c)
Semua pihak dalam konflik mengerti dan menerima hubungan
kekuasaan diantara mereka.
5)
Problem Solving. Strategi ini memberikan dasar
pertimbangan bahwa dengan strategi akan dapat dihasilkan keuntungan jika
diselesaikan dengan cara terbuka.
Strategi ini dapat efektif
digunakan oleh para pihak yang tengah menyelesaikan konflik bila :
a.
Setiap orang dalam konflik terlatih menggunakan metode
pemecahan masalah.
b.
Para pihak memiliki tujuan yang sama.
c.
Konflik menghasilkan masalah pahaman.
- MEDIASI
Istilah mediasi berasal dari bahasa Inggris “mediation” artinya adalah
penyelesaian sengketa dengan menengahi. Mediator adalah orang yang menjadi
penengah.
Pengertian
Mediasi Adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama
melalui mediator yang bersikap netral, dan tidak membuat keputusan atau
kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya
dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran, dann tukar pendapat untuk
tercapainya mufakat.
Dengan kata lain proses negosiasi pemecahan masalah adalah : proses dimana
pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang
bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian secara
memuaskan.
Beberapa elemen mediasi antara
lain :
- Penyelesaian sengketa sukarela.
- Intervensi/bantuan.
- Pihak ketiga yang tidak berpihak.
- Pengambilan keputusan oleh para pihak secara
konsesus.
- Partisipasi aktif.
Keuntungan-keuntungan dari metode penyelesaian melalui mediasi sebagai
berikut :
- Keputusan yang hemat.
- Penyelesaian secara cepat.
- Hasil yang memuaskan bagi seluruh pihak.
- Kesepakatan komprehensif dan customizea.
- Praktek dan belajar prosedur penyelesaian
masalah secara kreatif.
- Tingkat pengendalian lebih besar dan hasil
yang bisa didengar.
- Pemberdayaan individu.
- Keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan.
- Melestarikan hubungan yang sudah berjalan.
- Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu.
Tujuan penyelesaian konflik
melalui mediasi adalah sebagai berikut :
- Untuk menghasilkan suatu rencana/kesepakatan
kedepan yang dapat diterima dan dijalankan oleh para pihak yang
bersengketa.
- Untuk mempersiapkan para pihak yang
bersengketa untuk menerima konsekuensi dari keputusan yang mereka buat.
- Mengurangi kekhawatiran dan dampak negatif
lainnya dari suatu konflik.
Mediator yang dipilih atau yang ditunjuk akan
membantu penyelesaian konflik, seperti :
- Sebagai
katalisator (mendorong suasana yang kondusif).
- Sebagai
pendidik (memahami kehendak, aspirasi, prosedur kerja, dan kendala usaha
para pihak).
- Sebagai
penerjemah (harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang
satu kepada pihak yang lain).
- Sebagai nara
sumber (mendaya gunakan informasi).
- Sebagai
penyandang berita jelek (para pihak dapat emosional).
- Sebagai agen
realitas (terus terang dijelaskan bahwa sasarannya tidak mungkin dicapai
melalui suatu proses perundingan).
- Sebagai
kambing hitam (pihak yang dipersalahkan)
Selain hal diatas seorang mediator juga berperan
sebagai :
- Pembuka jalur komunikasi.
- Legitimizer/orang yang berwenang untuk
mengesahkan.
- Fasilitator proses.
- Nara sumber.
- Pelatih.
- Pembahas masalah.
- Perantara untuk melihat kenyataan.
- Pemimpin.
Dalam menjalankan tugasnya seorang
mediator dapat melakukan 2 macam peran, yaitu :
- Peran lemah/pasif.
- Peran kuat/aktif.
Tipe-Tipe Mediator
- Mediator hubungan sosial.
- Mediator autoritatif.
- Mediator mandiri.
Tahap-tahap mediasi, Garis besar pentahapan proses mediasi adalah sebagai
berikut :
- Tahap pertama, pembentukan forum.
Dalam tahap ini kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
·
Rapat gabungan.
·
Pernyataan
pembukaan oleh mediator, dalam hal ini yang dilakukan adalah:
·
mendidik para
pihak;
·
menentukan
pokok-pokok aturan main;
·
membina hubungan
dan kepercayaan.
·
Pernyataan para
pihak, dalam hal ini yang dilakukan adalah:
·
dengar pendapat (hearing);
·
menyampaikan dan
klarifikasi informasi;
·
cara-cara
interaksi.
- Tahap kedua, saling mengumpulkan dan membagi
informasi.
Dalam tahap ini kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan
mengadakan rapat-rapat terpisah yang bertujuan untuk:
- Mengembangkan informasi selanjutnya;
- Mengetahui lebih dalam
keinginan para pihak ;
- Membantu para pihak untuk
dapat mengetahui kepentingannya ;
- Mendidik para pihak tentang
cara tawar menawar penyelesaian masalah.
- Tahap ketiga, tawar menawar penyelesaian
masalah.
Dalam tahap ketiga yang dilakukan mediator mengadakan
rapat bersama atau lanjutan rapat terpisah, dengan tujuan untuk:
- Menetapkan agenda.
- Kegiatan pemecahan masalah.
- Menfasilitasi kerja sama.
- Identifikasi dan klarifikasi
isu dan masalah.
- Mengembangkan alternatif dan
pilihan-pilihan.
- Memperkenalkan
pilihan-pilihan tersebut.
- Membantu para pihak untuk
mengajukan, menilai dan memprioritaskan kepentingan-kepentingannya.
- Tahap keempat pengambilan keputusan.
Dalam tahap ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan
sebagai berikut:
- Rapat-rapat bersama.
- Melokalisasikan pemecahan masalah dan mengevaluasi pemecahan
masalah.
- Membantu para pihak untuk memperkecil perbedaan-perbedaan.
- Mengkonfirmasi dan klarifikasi kontrak.
- Membantu para pihak untuk memperbandingkan proposal penyelesaian
masalah dengan alternatif di luar kontrak.
- Mendorong para pihak untuk menghasilkan dan menerima pemecahan
masalah.
- Mengusahakan formula pemecahan masalah berdasarkan “win-win
solution” dan tidak ada satu pihakpun yang merasa kehilangan muka.
- Membantu para pihak untuk mendapatkan pilihannya.
- Membantu para pihak untuk mengingat kembali kontraknya.
Taktik
Mediator, Dalam memimpin penyelesaian
sengketa, seorang mediator harus memiliki taktik yang dapat membantu
penyelesaian konflik, yaitu :
- Taktik menyusun rangka/keputusan.
- Taktik untuk mendapatkan wewenang dan kerja
sama.
- Taktik mengendalikan emosi dan menciptakan
suasana yang tepat.
- Taktik yang bersifat informatif.
- Taktik pemecahan masalah.
- Taktik menghindarkan rasa malu.
- Taktik pemaksaan.
Teknik-Teknik
Mediator, Untuk membantu proses penyelesaian
sengketa, seorang mediator dapat menggunakan beberapa teknik, yaitu :
- Membangun kepercayaan.
- Menganalisis konflik.
- Mengumpulkan informasi.
- Berbicara secara jelas.
- Mendengarkan dengan penuh perhatian.
- Meringkas/merumuskan ulang pembicaraan para
pihak.
- Menyusun aturan perundingan.
- Mengorganisir pertemuan perundingan.
- Mengatasi emosi para pihak.
- Memanfaatkan “Causus/bilik kecil.
- Mengungkapkan kepentingan yang masih
tersembunyi.
- Membujuk salah satu pihak/para pihak “BATNA”.
- Menyusun kesepakatan.
- KONSILIASI
Jika mengacu kepada asal kata konsiliasi yaitu
“conciliation” dalam bahasa Inggris yang berarti perdamaian dalam bahasa
Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya konsiliasi merupakan
perdamaian. Konsiliasi sebagai proses penyelesaian sengketa yang melibatkan
pihak ketiga yang netral dan tidak memihak dengan tugas sebagai fasilitator
untuk menemukan para pihak agar dapat dilakukan penyelesaian sengketa.
Konsiliator dalam menjalankan tugasnya harus mengetahui hak dan kewajiban para
pihak, kebiasaan bisnis, sehingga dapat mengarahkan penyelesaian sengeta dengan
berpegang kepada prinsip keadilan, kepastian dan objektivitas dari setiap kasus
tertentu.
Tugas dari konsiliator seperti juga mediator hanyalah
sebagai pihak fasilitator untuk melakukan komunikasi diantara pihak sehingga
dapat ditemukan solusi oleh para pihak. Pihak konsiliator hanya melakukan
tindakan- tindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan para pihak,
mengarahkan subjek pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain
jika pesan tersbut tidak mungkin disampaikan langsung, dan lain-lain. Sementara
pihak mediator melakukan lebih jauh dari itu. Namun, keputusan dan persetujuan
terhadap keputusan perkara tetap terletak penuh di tangan para pihak yang
bersengketa.
- ARBITRASE
Kata
arbitrase berasal dari bahasa Latin arbitrare yang artinya kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan“. Dikaitkannya istilah arbitrase
dengan kebijaksanaan seolah – olah memberi petunjuk bahwa majelis arbitrase
tidak perlu memerhatikan hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi
cukup mendasarkan pada kebijaksanaan. Pandangan tersebut keliru karena arbiter
juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim di pengadilan.
Secara
umum arbitrase adalah suatu proses di mana dua pihak atau lebih menyerahkan
sengketa mereka kepada satu orang atau lebih yang imparsial (disebut arbiter)
untuk memperoleh suatu putusan yang final dan mengikat. Dari pengertian itu
terdapat tiga hal yang harus dipenuhi, yaitu : adanya suatu sengketa;
kesepakatan untuk menyerahkan ke pihak ketiga; dan putusan final dan mengikat
akan dijatuhkan.
Menurut
Mertokusumo, arbitrase adalah suatu
prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para
pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang
wasit atau arbiter.
Dalam
Pasal 1 butir 1 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan : “Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa“. Dari pengertian Pasal 1 butir 1 tersebut diketahui pula
bahwa dasar dari arbitrase adalah perjanjian di antara para pihak sendiri, yang
didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Hal ini sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa apa yang telah diperjanjikan
oleh para pihak mengikat mereka sebagai undang – undang.
Pada
tanggal 12 Agustus 1999, telah disahkan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999.
Undang – Undang ini merupakan perubahan atas pengaturan mengenai arbitrase yang
sudah tidak memadai lagi
dengan tuntutan
perdagangan Internasional.
JENIS ARBITRASE, Jenis
– jenis arbitrase menurut Rv yaitu :
- Arbitrase
Ad Hoc (Volunter Arbitrase)
Arbitrase Ad Hoc (Volunter Arbitrase); Disebut
dengan arbitrase ad hoc atau volunteer arbitrase karena sifat dari arbitrase
ini yang tidak permanan atau insidentil. Arbitrase ini keberadaannya hanya
untuk memutuskan dan menyelesaikan suatu kasus sengketa tertentu saja. Setelah
sengketa selesai diputus, maka keberadaan arbitrase ad hoc inipun lenyap dan
berakhir dengan sendirinya. (para) arbiter yang menangani penyelesaian sengketa
ini ditentukan dan dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa; demikian
pula tata cara pengangkatan (para) arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian
sengketa, tenggang waktu penyelesaian sengketa tidak memiliki bentuk yang baku.
Hanya saja dapat dijadikan patokan bahwa pemilihan-pemilihan dan penentuan
hal–hal tersebut terdahulu tidak boleh menyimpang dari apa yang telah
ditentukan oleh undang – undang.
- Arbitrase
Institusional (Lembaga Arbitrase)
Arbitrase
Institusional (Lembaga Arbitrase); Arbitrase
Institusional ini merupakan suatu lembaga arbitrase yang khusus didirikan untuk
menyelesaikan sengketa yang terbit dari kalangan dunia usaha. Hampir pada semua
negara – negara maju terdapat lembaga arbitrase ini, yang pada umumnya
pendiriannya diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri Negara tersebut.
Lembaga arbitrase ini mempunyai aturan
main sendiri – sendiri yang telah dibakukan. Secara umum dapat dikatakan bahwa
penunjukan lembaga ini berarti menundukkan diri pada aturan –aturan main dari
dan dalam lembaga ini. Untuk jelasnya, hal ini dapat dilihat dari peraturan – peraturan
yang berlaku untuk masing–masing lembaga tersebut.
Arbitrase
Institusional adalah arbitrase yang melembaga yang didirikan dan melekat pada
suatu badan (body) atau lembaga (Institution) tertentu. Sifatnya
permanen dan sengaja dibentuk guna menyelesaikan sengketa yang terjadi sebagai
akibat pelaksanaan perjanjian. Setelah selesai memutus sengketa, arbitrase
institusional tidak berakhir. Pada umumnya, arbitrase institusional memiliki
prosedur dan tata cara pemeriksaan sengketa tersendiri. Arbiternya ditentukan
dan diangkat oleh lembaga arbitrase institusional sendiri.
SYARAT – SYARAT
ARBITRASE
Berdasarkan
ketentuan Pasal 2 Undang–Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang dapat diselesaikan
melalui Arbitrase atau Alternatif penyelesaian Sengketa adalah sengketa atau
perbedaan pendapat yang timbul atau mungkin timbul antar para pihak dalam suatu
hubungan hukum tertentu yang telah diperjanjikan sebelumnya bahwa penyelesaiannya
akan ditentukan dengan cara arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selanjutnya
dalam Pasal 9 ayat (3) Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan
perjanjian tertulis arbitrase harus memuat :
a. Masalah
yang dipersengketakan
b. Nama
lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. Nama
lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbiter;
d. Tempat
arbiter atau majelis arbiter akan mengambil keputusan;
e. Nama
lengkap Sekretaris;
f. Jangka
waktu penyelesaian sengketa;
g. Pernyataan
kesediaan dari arbiter, dan
h. Pernyataan
kesediaan dari para pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang
diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Apabila
perjanjian yang dibuat tidak memuat syarat– syarat seperti yang disebutkan di
atas, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, akan tetapi dalam Pasal 10
Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi
batal dengan alasan – alasan sebagai berikut :
a. Meninggalkan
salah satu pihak;
b. Bangkrutnya
salah satu pihak;
c. Novasi;
d. Insolvensi
salah satu pihak;
e. Pewarisan;
f. Berlakunya
syarat – syarat hapusnya perikatan pokok
g. Bilamana
pelaksanaan perjanjian tersebut dialih tugaskan pada pihak ketiga dengan
persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau
h. Berakhirnya
atau batalnya perjanjian pokok.
Dalam
hal para pihak sudah memperjanjikan bahwa sengketa yang terjadi atau yang akan
terjadi antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase, maka apabila timbul
sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks,
faksimili, email atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat
arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku. Surat pemberitahuan
untuk mengadakan arbitrase tersebut harus memuat dengan jelas;
1
Nama dan alamat
2
Penunjukan kepada klausula atau
perjanjian arbitrase yang berlaku
3
Perjanjian atau masalah yang terjadi
sengketa;
4
Dasar gugatan dan jumlah yang digugat,
apabila ada;
5
cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
6
Perjanjian yang diadakan oleh para pihak
tentang jumlah arbitrase atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam
itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki
dalam jumlah ganjil.
MEKANISME
ARBITRASE
Pada
prinsipnya para pihak yang bersengketa bebas untuk menentukan acara arbitrase
yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999, penentuan acara arbitrase ini
harus diperjanjikan secara tegas dan tertulis. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase
dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional
berdasarkan kesepakatan para pihak.
Apabila
sudah ditentukan lembaga yang dipilih, maka penyelesaian sengketa dilakukan
menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih kecuali ditetapkan lain
oleh para pihak. Dalam perjanjian tersebut harus ada kesepakatan mengebnai
ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase. Apabila jangka
waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, maka arbiter atau majelis
arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila.
1) Diajukan
permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu, misalnya karena
adanya gugatan antara atau gugatan insidentil di luar pokok sengketa, seperti
permohonan jaminan;
2) Sebagai
akibat ditetapkan putusan provisional atau putusan sela lainnya, atau
3) Dianggap
perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan.
Sebaliknya
apabila para pihak tidak menentukan sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase
yang akan digunakan dalam pemeriksaan dan arbiter atau majelis arbitrase telah
terbentuk baik yang ditunjuk oleh para pihak, atau diperiksa dan diputus
menurut ketentuan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999. Pemeriksaan sengketa dalam
arbitrase harus dilakukan secara tertulis tetapi tidak menutup kemungkinan
pemeriksaan sengketa dilakukan secara lisan apabila hal ini disetujui oleh para
pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Arbiter
atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti
disertai dengan terjemahan dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau
majelis arbitrase . dalam pemeriksaan sengketa, para pihak yang bersengketa
diberi kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapat masing – masing dan
para pihak dapat diwakili oleh kuasanya yang dikuasakan dengan kuasa khusus.
Dalam jangka
waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, pemohon harus
menyampaikan surat gugatannya kepada arbiter atau majelis arbitrase. Surat
gugatan tersebut harus memuat sekurang–kurangnya :
v Nama
lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak ;
v Uraian
singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti – bukti ; dalam hal ini
salinan perjanjian arbitrase harus juga diajukan sebagai lampiran ;
v Isi
gugatan yang jelas. Apabila isi gugatan berupa uang, harus disebutkan jumlahnya
yang pasti.
Setelah
menerima surat gugatan dari pemohon, arbiter atau majelis arbitrase
menyampaikan satu salinan gugatan tersebut kepada termohon dengan disertai
perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawabannya secara
tertulis dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya
salinan gugatan tersebut oleh termohon.
Apabila
setelah 14 (empat belas) hari, termohon tidak menyampaikan jawabannya, maka
termohon akan dipanggil untuk menghadap dimuka sidang arbitrase selambat–lambatnya
14 (empat belas) hari sejak dikeluarkannya perintah itu. Kepada termohon akan
diperintahkan untuk menyerahkan salinan jawaban kepada pemohon, arbiter atau
majelis arbitrase memerintahkan agar para pihak atau kuasa mereka menghadap dimuka
sidang arbitrase selambat – lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak
dikeluarkannya perintah itu.
Apabila
selambat – lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan dilakukan, termohon
masih juga tidak datang kemuka persidangan tanpa alasan yang sah, maka
pemeriksaan akan diteruskan tanpa kehadiran termohon dan gugatan pemohon
dikabulkan seluruhnya kecuali apabila gugatan tidak beralasan atau tidak
berdasarkan hukum.
Apabila
para pihak datang menghadap pada hari sidang yang telah ditetapkan, arbiter
atau majelis arbitrase akan mengusahakan perdamaian dan apabila usaha
perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase akan membuat akta
perdamaian. akta perdamaian yang dikeluarkan oleh arbiter atau majelis
arbitrase, bersifat final dan mengikat para pihak. Sebaliknya apabilla usaha perdamaian
yang dilakukan arbiter atau majelis arbitrase tidak berhasil, maka pemeriksaan
terhadap pokok sengketa akan dilanjutkan.
Kepada
para pihak akan diberi kesempatan terakhir untuk menjelaskan secara tertulis pendirian
masing–masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya
dalam jangka wakyu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Arbiter
atau arbitrase juga berhak untuk meminta kepada para pihak guna mengajukan penjelasan
tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam
jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Selama
pemeriksaan sengketa, pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut
serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui
arbitrase, apabila terdapat unsure kepentingan yang terkait dan
keturutsertaanya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui
oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan.
Selama pemeriksaan sengketa atas permohonan satu pihak, arbiter atau majelis
arbitrase dapat mengambil putusan provisional atau putusan sela lainnya untuk
mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa tersebut :
- Penetapan
sita jaminan;
- Memerintahkan
penitipan barang kepada pihak ketiga;
- Menjual
barang yang mudah rusak.
Pemeriksaan
atau sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 ( seratus delapan
puluh ) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk, namun dengan persetujuan
para pihak dan apabila diperlukan, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang,
BIAYA ARBITRASE
Pasal
76 dan Pasal 77 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 telah mengatur ketentuan
biaya arbitrase yang ditentukan oleh arbiter dan pihak yang membayar biaya
arbitrase tersebut. Dikatakan bahwa arbiter bertugas menentukan biaya arbitrase
yang meliputi biaya–biaya sebagai berikut :
- honorarium
arbiter;
- biaya
perjalanan dan biaya lainnya yang dikeluarkan oleh arbiter ;
- biaya
saksi dan / atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan sengketa;
- biaya
administrasi.
Beban
biaya arbitrase dipikul pihak yang kalah, kecuali dalam hal tuntutan hanya
dikabulkan sebagian, maka beban biaya arbitrase dipikul kepada para pihak
secara berimbang.
KELEBIHAN DAN
KEKURANGAN ARBITRASE
Badan
arbitrase komersial Internasional ini sekarang menjadi cara penyelesaian
sengketa bisnis yang paling disukai. Alasan–alasan para pengusaha menyukai
badan ini daripada pengadilan nasional bermacam – macam. Yakni :
§ umumnya
pengadilan nasional kurang mendapat kepercayaan dari masyarakat penguasa
(bisnis), sedangkan arbitrase komersial internasional merupakan pengadilan
pengusaha yang eksis untuk menyelesaikan sengketa–sengketa di antara mereka
(kalangan bisnis) dan sesuai kebutuhan mereka.
§ Banyak
pengadilan negara tidak mempunyai hakim–hakim yang berkompeten atau yang
berspesialisasi hukum komersial internasional, sehingga karena keadaan ini pula
mengapa para pihak lebih suka cara arbitrase.
§ Berperkara
melalui arbitrase lebih murah. Sebagai contoh, biaya administratif (untuk
pendaftaran) yang di dalam kerangka arbitrase ICSID adalah US$ 100. Biaya untuk
arbitrator adalah US$ 650 per hari plus biaya – biaya perjalanan dan biaya
hidup lainnya.
§ Berperkara
melalui badan arbitrase tidak begitu formal dan lebih fleksibel. Hakim, dalam
hal ini arbitratornya, tidak perlu terikat dengan aturan – aturan proses
berperkara seperti halnya yang terjadi pada pengadilan nasional.
§ Karena
sifat fleksibilitas dan tidak adanya acara formil–formilan ini nantinya
berpengaruh pula pada para pihak yang bersengketa. Yakni, mereka menjadi tidak
terlalu bersitegang di dalam proses penyelesaian perkara.
§ Melalui
badan arbitrase, para pihak yang bersengketa diberi kesempatan untuk memilih
hakim (arbitrator) yang mereka anggap dapat memenuhi harapan mereka baik dari
segi keahlian atau pengetahuannya pada sesuatu bidang tertentu.
§ Faktor
kerahasiaan proses berperkara dan keputusan yang dikeluarkan merupakan alasan
utama mengapa badan arbitrase ini menjadi primadona para pengusaha.
§ Tidak
adanya pilihan hukum yang kaku dan tidak ditentukan sebelumnya.
§ Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase ini tidak harus melulu diselesaikan menurut proses
hukum (tertentu saja), tetapi juga dimungkinkan suatu penyelesaian secara
kompromi di antara para pihak.
Meskipun
arbitrase menyandang berbagai keuntungan seperti telah dikemukakan di atas,
namun di dalam prakteknya pun ternyata arbitrase memiliki kelemahan–kelemahan
yakni :
§ Untuk
mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan untuk membawanya ke
badan arbitrase tidaklah mudah. Kedua pihak harus sepakat. Padahal untuk dapat
mencapai kesepakatan atau persetujuan itu kadang-kadang memang sulit.
§ Pengakuan
dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing. Dewasa ini, di banyak negara masalah
tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing ini masih menjadi
soal yang sulit.
§ Dalam
arbitrase tidak dikenal adanya preseden hukum atau keterikatan kepada putusan –
putusan arbitrase sebelumnya. Jadi, setiap sengketa yang telah diputus dibuang
begitu saja, meski di dalam putusan tersebut mengandung argumentasi-argumentasi
hukum para ahli – ahli hukum kenamaaan.
§ Arbitrase
ternyata tidak mampu memberikan jawaban yang definitif terhadap semua sengketa
hukum. Hal ini berkaitan erat dengan adanya konsep yang berbeda dengan yang ada
di setiap negara. Bagaimanapun juga keputusan arbitrase selalu bergantung
kepada bagaimana arbitrator mengeluarkan keputusan yang memuaskan keinginan para
pihak.
§ Menurut
Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, SH.,LLM ternyata arbitrase pun dapat berlangsung
lama dan karenanya membawa akibat biaya yang tinggi, terutama dalam hal arbitrase
luar negeri.
ARBITRASE
INTERNASIONAL
Adalah Arbitrase lembaga maupun arbitrase ad-hoc
yang melibatkan pihak dari 2 (dua) negara yang berbeda. Jika Arbitrase
Internasional tersebut merupakan suatu arbitrase lembaga, maka terdapat banyak
arbitrase lembaga seperti itu di dunia ini, yakni arbitrase yang mengkhususkan
diri untuk masalah-masalah Internasional. Seperti:
ü International Chamber of
Commerse (ICC)
ü The International Centre for
Settlement of Investment Diputes (ICSID)
ü London Court of International
Dispute (LCID)
ü Singapore International
Arbitration Centre (SIAC)
EKSEKUSI PUTUSAN
ARBITRASE
- EKSEKUSI SECARA SUKARELA
Adalah: eksekusi yang
tidak memerlukan campur tangan dari pihak ketua Pengadilan Negeri manapun,
tetapi para pihak melaksanakan sendiri secara sukarela terhadap apa-apa yang
telah diputuskan oleh arbitrase yg bersangkutan.
- EKSEKUSI SECARA PAKSA
Adalah: Bilamana pihak
yang harus melakukan eksekusi, tetapi secara sukarela tidak mau melaksanakan
isi putusan tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan upaya-upaya paksa. Dalam hal
ini campur tangan pihak pengadilan diperlukan, yaitu dengan memaksa para pihak
yang kalah untuk melaksanakan putusan tersebut.
Namun, Pengadilan yang berwenang dapat menolak suatu permohonan
pelaksanaan putusan arbitrase, jika:
ü Arbitrase memutus melebihi
kewenangan yang diberikan kepadanya
ü Putusan arbitrase bertentangan
dengan kesusilaan, ketertiban umum
ü Keputusan tidak mengenai
perdagangan (perniagaan, perbankan, penanaman modal, industri, dan Hak Atas
Kekayaan Intelektual)
Bahwa putusan arbitrase internasional/asing dapat di eksekusi di Indonesia,
karena Indonesia telah mengakui dan tunduk kepada the New York Convention, yg
memang mewajibkan negara anggotanya untuk memberlakukan ketentuan yang mengakui
putusan arbitrase asing/Internasional. Yang berwenang melakukan eksekusi
putusan arbitrase internasional/asing adalah di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
D.
PEMBUKTIAN SECARA PERDATA
1.
Pembuktian
Masuk kedalam pembahasan pembuktian, sebelumnya harus
diketahui bagaimana dan apa yang perlu dibuktikan atau objek dari pembuktian
tersebut, didalam pembahasan kali ini, pembuktian dikhususkan pada ranah Hukum
Acara Perdata yang dimana ada kaitannya dengan tugas hakim dalam
mengkonstatirkan peristiwa atau fakta yang diajukan para pihak. Kebenaran yang
diperoleh dari pembuktian berhubungan langsung dengan keputusan yang adil
oleh hakim. Ada hal atau peristiwa yang dikecualikan atau tidak perlu diketahui
oleh hakim, diantaranya :
- Peristiwanya memang dianggap
tidak perlu diketahui oleh atau tidak mungkin diketahui oleh hakim.
- Hakim secara ex officio dianggap
mengenall peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut.
- Pengetahuan tentang pengalaman.
Seperti yang dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata bahwa pembuktian pada umumnya diatur dalam Buku Empat tentang
Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu
hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk
membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian
yang dikemukakan itu.
Terdapat juga hal yang perlu dibuktikan diluar yang telah
dikecualikan diatas, Membuktikan dalam pembahasan hukum acara dikenal mempunyai
arti yuridis. Seperti yang diuraikan Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum
Acara Perdata Indonesia, membuktikan berarti memberi dasar yang cukup kepada
hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang diajukan.
Lebih lanjut Sudikno menjelaskan tujuan pembuktian. Bila
dalam tujuan pembuktian ilmiah adalah semata-mata untuk mengambil kesimpulan,
tujuan pembuktian yuridis adalah untuk mengambil keputusan yang bersifat
definitive, yakni keputusan yang pasti, dan tidak meragukan serta mempunyai
keputusan hukum. Putusan pengadilan harus objektif sehingga tidak ada pihak
yang merasakan terlalu rendah kadar keadilannya dari pihak lainnya.
Lebih dalam mengenai Hukum Pembuktian Positif, dalam acara
perdata diatur dalam HIR dan Rbg, serta dalam BW buku IV. Yang terantum dalam
HIR dan Rbg adalah hokum pembuktian yang materiil maupun formil.
Mengenai apa dan siapa yang dibuktikan dan membuktikan maka
yang harus dibuktikan adalah peristiwanya, hakim dalam proses perdata haruslah
menemukan peristiwanya atau hubungan hukumnya kemudian menerapkan hokum
terhadap peristiwa yang tersebut, kaitan antara peristiwa dan hukum yang ada
tersebut.
Dari peristiwa tersebut yang harus dibuktikan adalah
kebenarannya dimana kebenaran itu haruslah kebenaran formil, yang artinya hakim
tidak boleh melampaui batas yang diajukan oleh yang berperkara, maka hakim
tidak melihat kepada bobot atau isi, akan tetapi kepada luas daripada
pemeriksaan oleh hakim.
Pasal 178 ayat 3 HIR (Ps. 189 ayat 3 Rbg.50 ayat 3 Rv)
melarang hakim untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut, atau
akan meluluskan lebih dari yang dituntut. Yang mencari kebenaran dan menetapkan
peristiwa adalah hakim lalu yang wajib membuktikan atau mengajukan alat alat
bukti adalah yang berkepentingan didalam perkara atau sengketa, berkepentingan
bahwa gugatannya dikabulkan atau ditolak.
Sesuai pasal 283 HIR “Barang siapa beranggapan mempunyai
suatu hak atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak orang
lain, harus membuktikan hak atau keadaan itu (KUH Perdata 1865 ; HIR. 163).
Selanjutnya mengenai beban pembuktian, kedua belah pihak,
baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama
penggugat yang wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedang tergugat
berkewajiban membuktikan kebenaran bantahannya. Dalam hal ini ada beberapa
teori tentang beban pembuktian yang dapat merupakan pedoman bagi hakim.
- Teori Pembuktian yang bersifat
menguatkan belaka (bloot affirmatief)
Teori ini mengemukakan sesuatu harus
membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau menyangkalnya. Dasar hokum teori
ini adalah pendapat bahwa hal hal yang negative tidak mungkin dibuktikan (negativa
opn sunt probanda).
Teori ini menggambarkan suatu proses
perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hokum subjektif atau bertujuan
memepertahankan hokum subjektif, dan siapa yang mengemukakan atau mengaku
mempunyai sesuatu hak harus membuktikannya.
Teori ini berdasarkan pada pasal
1865 BW “Pasal 1865 Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau
menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu
hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan
itu.”
Teori ini mengajukan tuntutan hak
atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan
ketentuan-ketentuan hokum objektif terhadap peristiwa yang diajukan.
Menurut teori ini mencari kebenaran
suatu peristiwa didalam peradilan merupakan kepentingan publik.
Asas audi et alteram atau
juga asas kedudukan proseusuil yang sama daripada para pihak di muka hakim yang
merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.
Selanjutnya mengenai alat pembuktian diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1866, Alat pembuktian meliputi : bukti
tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah. Pembahasan mengenai
macam alat bukti akan dibahas di poin kedua ditambah pemeriksaan setempat dan
saksi ahli.
2.
Alat
Bukti
Pada bagian ini akan dibicirakan
mengenai alat bukti, yang meliputi pengertian jenis dan perkembangannya.
- Pengertian Alat Bukti dan Perkembangannya.
Alat
bukti ( bewijsmiddel ) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya,
yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan keterangan
tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan
penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang
paling sempurna pembuktiannya.
Jadi,
para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil gugat dan
dalil bantahan sesuai fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan jenis atau alat
bukti tertentu. Hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia saat ini adalah
masih berpegang pada jenis alat bukti tertentu saja.
Para
pihak yang terkait dalam persidangan (hakim-tergugat-penggugat) tidak bebas
menerima-mengajukan alat bukti dalam proses penyelesaian perkara. Undang-undang
telah menentukannya secara enumerative apa saja yang sah dan bernilai sebagai
alat bukti, dengan kata lain hukum pembuktian yang berlaku disini masih
bersifat tertutup dan terbatas.
Namun
di beberapa Negara seperti Belanda, telah terjadi perpindahan pola pembuktian
yang sekarang telah berubah menjadi hukum pembuktian kea rah system terbuka.
Dalam hukum pembuktian di pengadilan tidak lagi ditentukan secara enumerative
lagi. Kebenaran tidak saja dapat diperoleh melalui bukti-bukti tertentu
saja melainkan dapat pula diperoleh dari alat bukti apapun asal dapat diterima
secara hukum kebenarannya dan tidak mertentangan denga kepentingan umum.
Artinya alat bukti yang sah dan dibenarkan sebagai alat bukti tidak disebutkan
satu persatu.
Namun
demikian, oleh karena sampai sekarang hukum pembuktian di Indonesia ini belum
mengalami pembaharuan seperti yang terjadi di beberapa Negara lainnya, para
pihak yang berperkara maupun hakim masih berpegang pada system lama karena
sampai sekarang pengadilan belum berani melakukan terobosan menerima alat bukti
baru, diluar yang disebutkan Undang-Undang.
Menurut Sistem HIR, dalam hukum acara perdata hakim terikat
pada alat-alat bukti yang sah, yang artinya hakim hanya boleh memutuskan
perkara melalui alat bukti yang telah ditentukan sebelumnya oleh undang-undang.
Alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang adalah : alat bukti
tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan
sumpah (ps. 164 HIR, ps. 1866 KUH Perdata).
a.
Alat bukti tertulis
Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu
peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal
beberapa macam alat bukti tertulis diantaranya sebagai berikut.
Pertama adalah surat ialah sesuatu yang memuat tanda-tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah
pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu
surat sebagai akta dan bukan akta, sedangkan akta sendiri lebih
lanjut dibagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.
Kedua adalah akta ialah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda
tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang
dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi untuk dapat dibuktikan menjadi akta
sebuah surat haruslah ditandatangani.
·
Akta
otentik ialah
‘akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau
dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat’ (ps. 1868 KUH
Perdata). Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik
dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat
umum. Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap - tidak berwenang
atau bentuknya cacat maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata : akta tersebut tidak
sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik; namun akta yang
demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta dibawah tangan.
·
Akta
dibawah tangan
ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan
dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang
berkepentingan. Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata,
yang mana menurut pasal diatas, akata dibawah tangan ialah :
· Tulisan atau akta yang
ditandatangani dibawah tangan,
· Tidak dibuat atau ditandatangani
pihak yang berwenang.
· Secara khusus ada akta dibawah
tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh paling sedikit dua pihak.
·
Akta
pengakuan sepihak
ialah akta yang bukan termasuk dalam akta dibawah tangan yang bersifat partai ,
tetapi merupakan surat pengakuan sepihak dari tergugat. Oleh karena bentuknya
adalah akta pengakuan sepihak maka penilaian dan penerapannya tunduk pada
ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata. Dengan demikian harus memenuhi syarat :
·
Seluruh
isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si penandatangan;
·
Atau
paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang disebut
didalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.
Selanjutnya ada penambahan alat bukti tertulis yang
sifatnya melengkapi namun membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti
aslinya, diantaranya adalah alat bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat
bukti fotokopi. Namun kembali ditegaskan kesemuanya alat bukti pelengkap
tersebut membutuhkan penunjukan barang aslinya.
b.
Alat bukti kesaksian
Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR
dan 1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan
tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan
dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang
dipanggil dalam persidangan.
Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah
kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang
diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.
c.
Alat bukti persangkaan
“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau
oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu
peristiwa yang tidak diketahui umum”, pasal 1915 KUH Perdata. Kata lain dari
persangkaan adalah vermoedem yang berarti dugaan atau presumptive.
d.
Alat bukti pengakuan
Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal
174-176 dan KUH Perdata pasal 1923-1928.
Pengakuan merupakan sebuah keterangan sepihak, karenanya tidak diperlukan
persetujuan dari pihak lawan.
Pengakuan merupakan pernyataan yang tegas, karena pengakuan
secara diam-diam tidaklah member kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu
peristiwa, pada hal alat bukti dimaksudkan untuk memberi kepastian kepada hakim
tentang kebenaran suatu peristiwa.
e.
Alat bukti sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau
pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang
memberi keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong.
Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam
persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat
bukti lain.
f.
Pemeriksaan setempat
Salah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum pembuktian
adalah pemeriksaan setempat, namun secara formil ia tidak termasuk alat bukti
dalam Pasal 1866 KUH Perdata. Sumber formil dari pemeriksaan setempat ini
adalah ada pada pasal 153 HIR yang diantaranya memiliki maksud sebagai berikut
:
·
Proses
pemeriksaan persidangan yang semestinya dilakukan diruang sidang dapat dipindahkan
ke tempat objek yang diperkarakan.
·
Persidangan
ditempat seperti itu bertujuan untuk melihat keadaan objek tersebut ditempat
barang itu terletak.
·
Dan
yang melakukannya adalah dapat seorang atau dua orang anggota Majelis
yang bersangkutan dibantu oleh seorang panitera.
g.
Saksi ahli/Pendapat ahli
Agar maksud pemeriksaan ahli tidak menyimpang dari yang
semestinya, perlu dipahami dengan tepat arti dari kata ahli tersebut yang
dikaitkan dengan perkara yang bersangkutan. Secara umum pengertian ahli adalah
orang yang memiliki pengetahuan khusus dibidang tertentu. Raymond Emson
menyebut, “specialized are as of knowledge”.
Jadi
menurut hukum seseorang baru ahli apabila dia :
·
Memiliki
pengetahuan khusus atau spesialisasi
·
Spesialisasi
tersebut dapat berupa skill ataupun pengalaman
·
Sedemikian
rupa spesialisasinya menyebabkan ia mampu membantu menemukan fakta melebihi
kemampuan umum orang biasa (ordinary people).
Dari pengertian diatas tidak semua orang dapat
diangkat sebagai ahli. Apalagi jika dikaitkan dengan perkara yang sedang
diperiksa, spesialisasinya mesti sesuai dengan bidang yang disengketakan.
E.
KASUS MESUJI
KRONOLIGIS
KASUS SENGKETA TANAH MESUJI
Latar
belakang
Sengketa lahan sampai saat ini masih tetap
menjadi fenomena global termasuk tentunya di Indonesia.Sengketa lahan di
Indonesia secara umum dapat dilihat dari beberapa pendekatan yang terjadi di
lapangan yaitu warga,BPN,perusahaan swasta. Adapun persoalan sengketa lahan
lebih dipicu oleh perebutan tanah dan rendahnya kesadaran warga sekitar lokasi
tersebut. Secara konseptual maupun praktis pemahaman tentang sengketa lahan
jika dicermati seringkali terjadi kesalahan. Pada tataran konseptual,
paradigma,pendekatan, dan metodologi yang digunakan selama ini masih berpijak
pada out comes indicators, sehingga kurang memperhatikan aspek serta
sebab-sebab yang mempengaruhinya. Masyarakat di lihat hanya sebagai korban
pasif dan objek penelitian, dan bukannya sebagai manusia yang memiliki
“sesuatu“ yang dapat digunakan, baik dalam mengidentifikasi kondisi
kehidupannya maupun usaha-usaha perbaikan yang dilakukan oleh mereka
sendiri.Pada tataran praktis, kebijakan dan program pengentasan sengketa lahan
belum sepenuhnya menyentuh akar penyebab sengketa tersebut. Akibatnya,
program-program tersebut tidak mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat, sehingga
sulit mewujudkan aspek keberlanjutan dari program penanggulangan lahan
tersebut. Untuk itu perlu dilakukan koreksi secara mendasar beberapa hal yang
menjadi landasan pengambilan kebijakan pada masa lalu, antara lain : masih
bersifat parsial, berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro, kebijakan yang
terpusat, lebih bersifat karikatif, bernuansa jangka pendek dan tidak struktural,serta
memposisikan masyarakat sebagai objek Untuk itu diperlukan tindakan kebijakan
atau program untuk mengatasi akar persoalan. Pembangunan yang berbasiskan
pemberdayaan merupakan pilihan utama untuk mengatasi persoalan dasar termasuk
masalah sengketa lahan. Program yang berbasiskan pemberdayaan masyarakat harus
dilaksanakan secara multi sektoral, khusus di bidang pertanahan reforma agraria
merupakan salah satu wujud dari kebijakan tersebut. Reforma agraria melakukan
proses pengentasan ini dengan mengupayakan rakyat memiliki aset berupa tanah
yang dapat dikelola dan di miliki serta mempunyai akses untuk memberdayakan
asetnya. Rakyat dalam hal ini khususnya petani harus mempunyai tanah dan
mempunyai akses pada modal, teknologi, pasar, manajemen dan seterusnya. Selain
itu, petani juga harus mempunyai alat-alat produksi, kapasitas dan kemampuan.
Itu semua dapat terwujud bila dilaksanakan reforma agraria,yang secara garis
besar didefinisikan sebagai land reform dengan salah satu programnya
redistribusi tanah(pembagian tanah). Mungkin yang di alami Desa Seri Tanjung di
Provinsi Lampung, serta di Desa Sodong di Provinsi Sumatera Selatan lebih akrab
di panggil Mesuji.kali ini tidak jauh beda dimana ada suatu kegagalan dalam
reforma argaria yang terjadi di Mesuji yang menjadi perbincangan hangat di
masyarakat indonesia dan BPN sendiri yang menyangkut sengketa lahan warga dan
perusahaan.
Rumusan masalah
Dari
latar belakang di atas tentunya akan timbul berbagai macam pertanyaan. Adapun
rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
Apa penyebab terjadinya peristiwa Mesuji?
bagaimana
tanggapan BPN terhadap kasus Mesuji?
Bagaimana
tragedi Mesuji dalam pandangan HAM?
Bagaimana
penyelesaian kasus Mesuji?
Bagaimana
menuju reforma agraria pada kasus Mesuji?
Permasalahan
Reforma agrarian
Dalam pengertian terbatas, reforma agraria
dipandang sebagai land reform, dengan salah satu programnya yaitu redistribusi
tanah (pembagian tanah),hal inilah yang menyebabkan mengapa agrarian reform dan
land reform sering kali dianggap identik. Berbagai pihak dengan sudut pandang
yang sangat beragam memberikan pengertian yang berbeda-beda mengenai reforma
agraria. Menurut Wiradi (2001), reforma agraria adalah penataan ulang struktur
pemilikan dan penguasaan tanah beserta seluruh paket penunjang secara lengkap.Paket
penunjang tersebut adalah adanya jaminan hukum atas hak yang
diberikan,tersedianya kredit yang terjangkau, adanya akses terhadap jasa-jasa
advokasi,akses terhadap informasi baru dan teknologi, pendidikan dan latihan,
dan adanya akses terhadap bermacam sarana produksi dan bantuan
pemasaran.Setiawan (2001), memandang bahwa inti dari reformasi agraria adalah
land reform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah yang
harus diikuti dengan dukungan modal produksi di tahap awal, perbaikan di dalam
distribusi barang-barang yang diperlukan sebagai input pertanian, perbaikan
didalam sistem pemasaran dan perdagangan hasil pertanian, penyuluhan pertanian
yang diperlukan untuk membantu para petani memecahkan masalah teknis yang
dihadapinya dan program penunjang lainnya.Senada dengan pengertian tersebut di
atas,
Penyebab peristiwa Mesuji
Peristiwa di Desa Sungai Sodong dipicu oleh
konflik tanah. Dimana pada tahun 1997 terjadi perjanjian kerjasama antara PT
SWA dengan warga, terkait dengan 564 bidang tanah seluas 1070 ha milik warga
untuk diplasmakan. Perjanjian tersebut untuk masa waktu 10 tahun, setelah itu
akan dikembalikan lagi kepada warga. Selama kurun waktu 10 tahun, setiap
tahunnya warga juga dijanjikan akan mendapat kompensasi. Namun hingga saat ini
perusahaan ternyata tidak memenuhi perjanjian tersebut. Akhirnya pada bulan
april 2011 masyarakat Sungai Sodong mengambil kembali tanah tersebut melalui
pendudukan.Tidak juga mengembalikan tanah tersebut, perusahaan malah menuduh
pendudukan tanah warga tersebut sebagai gangguan.
Tanggapan BPN terhadap kasus Mesuji
Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak tegas dan
tidak prorakyat dalam menyelesaikan sengketa lahan sawit milik warga yang
diklaim PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) Mesuji Lampung. Konflik yang
terjadi karena tuntutan warga tidak dapat dipenuhi pihak PT BSMI.
“Warga menuntut 7.000 hektare lahannya lepas dari PT BSMI, tapi BPN tidak
menetapkannya. Maka, terjadilah konflik,” kata Dasrul Djabar, salah seorang
anggota Komisi III DPR RI, dalam rapat di Mapolda Lampung. Rapat membahas kasus
Mesuji Lampung ini digelar bersama Pemerintah Provinsi dan Polda Lampung.
Menurut Dasrul, ketidaktegasan BPN sangat dipertanyakan semua pihak untuk
menyelesaikan sengketa lahan warga yang terjadi sudah sejak lama. Hal ini
terbukti, BPN menyatakan tidak sanggup untuk melakukan pengukuran ulang lahan
yang diklaim PT BSMI dan lahan warga.
Tragedi Mesuji dalam pandangan HAM
Menurut beberapa kalangan di dalam kasus
sengketa lahan perhutanan di Mesuji ini terdapat banyak sekali pelanggaran HAM.
Selain dalam peristiwa pembantaian, di dalam kehidupan masyarakat
sehari-harinya pun banyak hak mereka yang terampas. Peristiwa itu telah memakan
korban jiwa, yang secara otomatis melanggar hak asasi manusia yang tercantum
dalam UUD ’45 pasal 28A. Selain itu, penyerobotan lahan warga yang dilakukan
oleh perusahaan-perusahaan, juga telah merenggut hak warga untuk hidup tenang
dan bertempat tinggal. Karena penyerobotan lahan itu, warga kini harus
mengungsi di tenda-tenda pengungsian yang jauh dari standar kelayakan hidup
manusia.
Perusahaan-perusahaan yang menjadi sorotan
berbagai pihak, disinyalir telah melakukan berbagai pelanggaran HAM. Menurut
kalangan yang tertentu, mereka menyewa dan melatih orang-orang dan membentuknya
menjadi sebuah tim khusus (PAM Swakarsa), pasukan untuk membela kepentingan
mereka. Pasukan bentukan mereka tidak segan-segan menganiaya warga yang dinilai
macam-macam kepada perusahan. Tentu saja ini sangat meresahkan warga, karena
jika warga melawan dan memberikan respon atas tindak-tanduk perusahaan yang
merugikan warga keselamatan mereka terancam. Bahkan ada isu kuat bahwa aparat
juga terlibat dan membacking perusahaah. Hal ini sangat disayangkan, mengingat
aparat seharusnya membela kepentingan warga. Sementara perusahaan sendiri
mengklaim bahwa mereka tidak membentuk PAM Swakarsa, apalagi meminta bantuan
Brimob.
Penyelesaian kasus Mesuji
Sejak dilaporkannya kasus Mesuji ke DPR, ada
beberapa tindakan yang sudah dilakukan oleh pemerintah. Dengan instruksi dari
Presiden, Menko Polhukam Djoko Suyanto dan Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo
membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Mesuji yang diketuai oleh
Denny Indrayana yang merupakan wakil Menkum HAM. Tim tersebut akhirnya berhasil
mengantongi beberapa fakta baru mengenai peristiwa Mesuji, hasil dari
investigasinya ke lokasi kejadian. Ada beberapa keterangan yang disampaikan
TGPF ke media, yaitu:
- TGPF menyimpulkan bahwa video
yang menggambarkan peristiwa Mesuji itu bukanlah rekayasa. Hal ini
dikuatkan dengan bukti hasil investigasi mereka, yang ternyata ada
kesamaan tempat antara tempat-tempat di video dengan tempat di lokasi
kejadian. Namun ada pula beberapa tempat yang tidak ditemukan di Sodong.
Bahkan masyarakat sekitar sendiri banyak yang tidak mengenali tempat
terjadinya peristiwa sadis tersebut.
- Pada tanggal 30 Desember 2011,
TGPF memanggil perwakilan dari tiga perusahaan yang ada di tempat
kejadian, di kecamatan Mesuji. Tiga perusahaan itu adalah PT. Silva
Inhutani, PT Sumber Wangi Alam, dan PT. Barat Selatan Makmur Investindo.
- Pada hari yang sama, setelah
melakukan pertemuan dengan pihak perusahaan, TGPF segera mendiskusikan
hasilnya dengan pihak pembuat kebijakan, diantaranya Badan Pertanahan
Nasional, Kehutanan, dan Kepolisian.
Selain itu, investigasi lain juga dilakukan oleh komisi hukum DPR dipimpin oleh
wakil Komisi III, Aziz Syamsuddin. Investigasi tidak hanya dilakukan di Mesuji
dan Sodong, namun juga daerah-daerah lain yang juga memiliki konflik
pertanahan. Fokus penyelidikan mereka adalah mengenai masalah HTI (Hutan
Tanaman Industri), karena ternyata banyak HTI areal kehutanan yang diberi ijin
oleh perhutanan, tapi tidak digunakan untuk tanaman hutan, tapi tanaman sawit
dan singkong, yang jelas-jelas hal tersebut menyalahi aturan. Sedangkan di
Mesuji dan Sodong sendiri masalah utamanya adalah mengenai lahan plasma yang
tidak diberikan oleh perusahaan kepada masyarakat yang tidak sesuai dengan yang
diperuntukkan, yaitu 7000 hektar.
Aslinya banyak pihak
yang mendesak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan reformasi
agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Direktur Program Imparsial, Al Araf
menilai pembaharuan dan reformasi agraria bisa menjadi jalan keluar konflik
kekerasan di dalam sektor agraria tersebut. Menurut Al Araf di dalam detikcom,
konflik dan kekerasan dalam sektor agraria seperti di Mesuji dan Bima akan
terus berlangsung sepanjang pembaharuan agraria dan reformasi agraria yang
menjadi mandat TAP MPR No 9 tahun 2001 tidak dijalankan pemerintah. Dewan Perwakilan
Daerah juga mendesak pemerintah agar menata kembali kebijakan reformasi
agraria. Ketua DPD Irman Gusman di dalam Kompas.com mengatakan kebijakan
tersebut harus berpihak kepada petani dan kelompok tani harus diterapkan secara
sistematis. Irman mengungkapkan, pada masa Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I,
sebenarnya telah dirancang program land reform yang meliputi lahan seluas 1,8
juta hektar.
Menuju reforma argaria
Pemerintah segera
melakukan audit menyeluruh kebijakan pemberian konse si dan konsekuensinya pada
ketersediaan tanah pertanian dan permukiman untuk rakyat miskin perdesaan.
Prinsipnya, badan-badan pemerintahan berkewajiban melindungi, menghormati, dan
memenuhi hak-hak warga negaranya termasuk di dalamnya hak atas tanah, hak atas
hidup yang layak, sebagai bagian dari hak ekonomi,sosial, dan budaya. Pemenuhan
hak-hak tersebut secara progresif merupakan kewajiban negara, dan
sebaliknya,membiarkan terjadinya perampasan-perampasan tanah oleh
perusahaan-perusahaan raksasa merupakan suatu bentuk pelanggaran hak asasi
manusia by omission, yang terjadi karena negara abai pada upaya melindungi
warganya dari pelanggaran HAM yang dilakukan perampasan tanah.
Sementara itu, penggunaan kekerasan oleh aparat Negara kepada korban jelas
merupakan pelanggaran HAM yang langsung, by commission. Menggunakan perspektif
keadilan transisional (transitional justice) untuk penyelesaian konflik
agrarian semacam kasus Mesuji akan memungkinkan kita memahami konfl ik agraria
ini sebagai suatu tanda dari krisis agraria yang meluas. Pemerintah mestinya
secara sungguh- sungguh bisa memahami kecenderungan konsentrasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta kekayaan alam itu pada
perusahaan-perusahaan raksasa.
Di lain pihak,
memperhatikan perhitungan mengenai kebutuhan akan tanah untuk permukiman dan
usaha pertanian rakyat miskin perdesaan. Pemerintah seharusnya mempunyai
gambaran mengenai ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah serta kekayaan alam di seluruh wilayah kabupaten dan
provinsi. Hanya dengan gambaran itulah pemerintah bisa merancang program
reforma agraria yang menyeluruh. Inpres tentang Reforma Agraria sebagaimana
diusulkan TGPF seharusnya diefektifkan untuk menyiapkan gambaran dan desain
itu.
Kesimpulan
Dari berbagai kondisi yang telah diuraikan maka dapat diambil beberapa
kesimpulan yaitu :
1. Dukungan reforma agraria terhadap kasus Mesuji merupakan keberhasilan
pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan sangat diperlukan sehingga modal
penting kepemilikan ( property right ) terhadap aset/tanah yang dimiliki oleh
masyarakat akan dapat dimanfaatkan sebagai modal suatu usaha perekonomian
melalui pemberian berbagai akses produksi dan ekonomi.
2. Untuk menjaga dan mengawal program pemberdayaan masyarakat di bidang
pertanahan dalam kasus mesuji secara berkelanjutan diperlukan pola kemitraan
yang saling menguntungkan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah,swasta,
perbankan dan dunia usaha.
Saran
Saran kami hendaknya dilakukan melalui pengkajian yang matang dan terencana
dengan jelas dalam masalah ini, dengan dasar hukum, peraturan dan petunjuk
pelaksanaan yang juga jelas, serta dibarengi dengan perbaikan-perbaikan dan
jika perlu melalui perubahan yang menyeluruh terhadap UUPA. Jika tidak,
reformasi agraria kali ini, akan kembali berada dalam bayang-bayang konflik
pertanahan atau bahkan akan menjadi pintu munculnya konflik-konflik pertanahan
baru yang dimana pemberdayaan masyarakat tentang pertanahan tidak akan berjalan
dengan baik sesuai harapan untuk kesejahteraan rakyat dan pemberdayaan
masyarakat tentang pertanahan.
Daftar Pustaka
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang - Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang Nomor 2
Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum