MANAJEMEN
PERPAJAKAN
SILAHKAN KLIK LINK DIBAWAH INI UNTUK MENDOUNLOWD
(PEMILIHAN BADAN USAHA)
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt yang telah senantiasa memberikan rahmat
dan nikmat yang tiada terkira bagi kami. Sehingga dengan nikmat dan rahmat-Nya kami mampu untuk menyelesaikan
makalah sebagai tugas kelompok dalam mata kuliah “Manajemen Perpajakan”.
Terimakasih juga kami sampaikan kepada Bapak, yang telah memberikan tugas
tersebut sehingga kami menjadi semakin mengerti tentang mata kuliah “Manajemen
Perpajakan”, khususnya
pada materi “Pemilihan
Badan Usaha dalam Bentuk PT, CV, dan Perseorangan”. Selanjutnya, terimakasih kepada
teman-teman dari kelompok lain yang telah berkenan mempelajari hasil dari tugas
kami.
Sekian dari kami semoga
bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi semua orang umumnya.
Pekanbaru, 19 September 2017
Tim Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
2.1 LATAR BELAKANG
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan
APBN di Indonesia yang paling besar. Keberadaan pajak secara langsung telah
mempengaruhi jalannya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan-kegiatan usaha di
indonesia. Salah satu unsur objek pajak adalah penghasilan, maka tentu saja
pemungutan pajak ini mencakup bentuk-bentuk usaha baik yang perseorangan maupun
berbentuk badan.
Setiap
perusahaan pasti berharap untuk menjadi salah satu perusahaan yang maju dan
besar. Salah satu faktor yang paling mempengaruhi adalah faktor awal
pendiriannya yaitu pada saat pemilihan
bentuk perusahaan tersebut. Oleh karena itu pemilihan bentuk perusahaan adalah
tahap awal dari pendirian suatu
perusahaan harus dengan benar demi kemajuan perusahaan tersebut.
Untuk memilih bentuk perusahaan, tentunya harus melalui
pertimbangan yang matang dan perlu diperhatikan dengan cermat bagaimana bentuk
perusahaan tersebut.
Bentuk-bentuk usaha di Indonesia sendiri
terdiri dari 3 macam yaitu BUMN, Koperasi dan Swasta. Namun yang tentunya
menjadi objek pajak penghasilan adalah bentuk usaha Swasta, yang mana hal itu
bertujuan semata-mata untuk mencari keuntungan dan menambah kekayaan. Bentuk usaha
Swasta sendiri terbagi 5 yaitu perseorangan, CV(persekutuan komanditer), Firma,
PT(Perseroan Terbatas) dan Yayasan. Di antara semua itu tentunya memiliki
perlakuan pajak yang berbeda-beda. Perusahaan perseorangan yang pemiliknya
hanya satu orang tentu akan mendapat pemungutan pajak yang berbeda dengan
perusahaan yang pemiliknya lebih dari satu orang seperti CV, Firma, PT dan
Yayasan.
Dalam ketentuan umum
perpajakan, Wajib Pajak dapat dibagi dua yaitu Wajib Pajak perorangan dan Wajib
Pajak badan. Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan kepada setiap Wajib Pajak, baik
Wajib Pajak perorangan maupun Wajib Pajak badan atas penghasilan yang
diterimanya dalam setahun. Perbedaan utama antara Wajib Pajak perorangan dan
Wajib Pajak badan dalam penghitungan PPh adalah besarnya tarif pajak. Lapisan
terendah tarif pajak bagi perorangan adalah 5% dan lapisan tertinggi bagi
perorangan adalah 30% sedangkan bagi Wajib Pajak Badan tarifnya 25%.
Penghasilan dalam
pengertian perpajakan memiliki makna yang sangat luas, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang dapat dikonsumsi atau menambah kekayaan. Sehubungan
dengan usaha maka penghasilan sebagai tambahan kemampuan ekonomis adalah laba
usaha, yaitu penerimaan bruto dikurangi biaya-biaya, yang dalam perpajakan
disebut dengan penghasilan neto. Dalam menghitung besarnya laba usaha,
perpajakan mempunyai ketentuan mengenai penghasilan yang diperhitungkan dan
biaya yang tidak dapat dikurangkan yang diatur dalam UU PPh.
Laba usaha yang
diterima oleh badan usaha maupun perorangan itulah yang akan dikenai PPh. Namun
demikian, bagi Wajib Pajak perorangan, sebelum laba dikenakan pajak terlebih
dahulu dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang besarnya
ditetapkan dan bergantung pada jumlah tanggungan keluarganya.
Sebenarnya, pihak
yang memiliki sebuah usaha berbentuk badan adalah juga perorangan sebagai
investor. Hasil yang akan diterima oleh investor sebagai pemilik usaha
merupakan penghasilan kembali yang merupakan Objek PPh bagi perorangan. Namun
karena prinsip usaha adalah “going concern” maka keuntungan dari sebuah badan
usaha tidak selalu langsung dinikmati oleh investor (pemilik) tetapi dapat
ditanamkan kembali untuk memperbesar usaha. Sehingga penghasilan yang diterima
oleh perorangan atas investasinya di badan usaha bisa ditunda sampai keuntungan
tersebut dibagikan ke perorangan.
Selain itu dalam memungut pajak juga
ditentukan dari omzet yang didapat. Semakin besar omzet/penghasilan yang
didapat maka semakin besar pula pajak yang dikenakan. Karena kondisi itulah menyebabkan
terjadi cara-cara yang dilakukan Wajib pajak untuk menghindari pajak atau
meringankan beban pajak pajak yang didapat dengan cara-cara yang tidak
melanggar hukum. Sehingga perencanaan perpajakan (tax planning) dapat digunaan
oleh badan usaha tersebut dalam melakukan kewajiban perpajakannya.
2.2
Rumusan Masalah
1.
Apa saja bentuk usaha di indonesia?
2.
Bagaimana bentuk pemilihan usaha orang pribadi dan badan menurut perpajakan?
3.
Bagaimana pengaruh bentuk usaha untuk alternatif perpajakan?
2.3
Tujuan Penulisan
1. Untuk memaparkan mengenai bentuk usaha di
Indonesia.
2. Untuk memaparkan mengenai bentuk pemilihan
usaha orang pribadi dan badan menurut
perpajakan.
3. Untuk memaparkan mengenai pengaruh bentuk
usaha untuk alternatif perpajakan.
BAB II
PEMBAHASAN
Memilih bentuk usaha/business vehicle yang
tepat merupakan hal pertama yang harus diperhatikan oleh investor/pengusaha,
selain untuk menentukan bentuk usaha apa yang dapat memberikan kontribusi
profit paling besar dengan tingkat risiko yang paling rendah. Terkait ketentuan
perpajakan yang berlaku, investor/pengusaha juga harus menentukan bentuk usaha
yang mana yang memberikan kontribusi profit yang paling besar namun dengan
beban pajak yang paling kecil, dan yang paling penting dari pemilihan bentuk
usaha adalah tentu saja untuk mempertimbangkan keberlangsungan usaha dalam
jangka panjang.
Pohan (Zain,
2003:97) memberikan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan
bentuk usaha, diantaranya:
- bagaimana hubungan antara tarif pajak penghasilan
orang pribadi dan tarif pajak penghasilan wajib pajak badan, termasuk
ketentuan khusus yang mengatur hal itu
- pengenaan pajak penghasilan secara berganda, baik
atas laba bruto usaha, maupun penghasilan dari pembagian keuntungan
(dividen) kepada para pemegang sahamnya
- kesempatan untuk menunda pembayaran pajak pada
tarif pajak penghasilan lebih kecil/besar apabila dibandingkan dengan
kesempatan yang terdapat pada tarif pajak penghasilan dari akumulasi
penghasilan perusahaan
- adanya ketentuan mengenai kerugian hasil usaha
neto (kompensasi kerugian) dan kredit investasi yang berlaku bagi bentuk
usaha tertentu
- kemungkinan pengajuan perlakuan khusus terhadap
pajak atas akumulasi laba, pajak atas penghasilan personal, holding
company, dan seterusnya
- liberalisasi ketentuan yang mengatur fringe
benefit dan atau payment in kind.
Secara umum
terdapat empat bentuk usaha yang legal, yaitu:
- partnership yang berupa persekutuan perdata (maatschap), persekutuan komanditer (commanditaire
vennootschap = CV), dan firma;
- perseroan terbatas (PT)
- koperasi, asosiasi, yayasan, dan badan usaha lain
- usaha orang pribadi/individual basis
Fokus
penjelasan tulisan ini hanya akan menekankan pada pemilihan badan usaha
berbentuk usaha orang pribadi (individual basis), CV dan PT. Dan disini
kita hanya mendiskusikan masalah pemilihan bentuk usaha dilihat dari aspek
perpajakannya. Banyak pilihan bentuk usaha yang dapat dipertimbangkan investor,
itu semua akan bermuara pada besarnya pajak yang akan ditanggung.
2.1
USAHA ORANG PRIBADI/ PERSEORANGAN
Warga Negara Indonesia diberikan kebebasan seluas-luasnya
untuk berusaha selama tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.
Untuk melakukan usaha secara pribadi, seseorang tidak memerlukan izin khusus
dalam pendiriannya, karena bukan berupa badan usaha atau badan hukum. Usaha
perseorangan ini bisa dijalankan dengan membuat usaha dagang (UD) atau usaha
lainnya, tanpa harus memiliki nama usaha. Contoh usaha yang dijalankan pun bisa
beragam, dari berdagang, manufaktur skala kecil, jasa, dsb.
Keuntungan yang
diperoleh dari suatu usaha yang dijalankan secara perorangan seluruhnya akan
dinikmati dan masuk ke kantong pribadi perorangan. Keuntungan tersebut akan
dikenai pajak sesuai dengan lapisan tarif pajak perorangan. Jika keuntungan
yang diperoleh di atas Rp500.000.000,00 kelebihannya akan dikenai tarif
tertinggi perpajakan sebesar 30%.
Keuntungan usaha
berupa selisih penerimaan dengan biaya dihitung berdasarkan pembukuan yang
diselenggarakan oleh perorangan. Dalam usaha perorangan tidak dikenal adanya
pemisahan harta usaha dengan harta pribadi perorangan, keseluruhannya adalah
harta miliknya perorangan. Namun demikian untuk keperluan penghitungan
keuntungan usaha tetap harus dibedakan antara harta untuk usaha dengan harta
bukan untuk usaha, sehingga dapat dipisahkan biaya penyusutan harta yang
berhubungan dengan usaha. Karena tidak adanya pemisahan antara harta usaha
dengan harta pribadi maka dari sudut perpajakan kewajiban mendaftar NPWP hanya
melekat pada diri perorangannya. Begitu pula dengan kewajiban melaporkan
pajaknya.
Pengeluaran-pengeluaran
untuk kepentingan pribadi tidak diperkenankan, seperti biaya gaji pemilik,
pengeluaran berupa prive dan sebagainya. Bagi perorangan yang omzet setahunnya
belum melebihi Rp4.800.000.000,00 tidak wajib menyelenggarakan pembukuan,
sehingga keuntungan dihitung dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan
neto. Konsekuensi menggunakan norma penghitungan penghasilan neto adalah tidak
pernah diakui adanya kerugian usaha.
Keuntungan dari
Perseorangan mempunyai keuntungan:
1. Mudah dan murah dalam proses pembentukannya
2. Pemilik perusahaan mengendalian secara
langsung perusahaannya, yang dengan demikian memungkinkan pengusaha untuk
bertindak lanjut cepat
3. Tidak terlalu dipengaruhi oleh peraturan
pemerintahan
4. Pemilik menerima semua keuntungan dan
menanggung semua kerugian usaha
5. Bebas dari pajak penghasilan apabila
pengasilannya masih dibawah PTKP
Kelemahan Perseorangan yaitu Keterbatasa dalam mendapatkan
modal
Dalam
melaksanakan hak dan menjalankan kewajiban perpajakannya, usaha perseorangan:
1. menggunakan nomor pokok wajib pajak (NPWP) orang
pribadi, yaitu pemilik yang sebenarnya dari usaha tersebut untuk keperluan
perpajakan.
2. pengusaha wajib menjalankan pembukuan dalam
menjalankan kegiatan usahanya, namun dalam hal peredaran usaha pengusaha dalam
satu tahun pajak tidak melebihi Rp4,8 miliar, pengusaha boleh tidak melakukan
pembukuan, namun wajib membuat pencatatan. Dalam menghitung penghasilan neto
untuk keperluan perpajakan, pengusaha menggunakan norma. Ketentuan mengenai
pembukuan diatur dalam Pasal 28 UU KUP, ketentuan mengenai norma penghitungan
penghasilan neto diatur dalam Pasal 14 UU PPh dan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak nomor PER-17/PJ/2015.
3. selain boleh dikurangkan dengan biaya-biaya yang dapat
dikurangkan sesuai ketentuan UU PPh, pengusaha juga boleh mengurangkan
penghasilan netonya dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang dihitung
berdasarkan keadaan/status perkawinan Wajib Pajak dan jumlah tanggungannya.
Ketentuan mengenai biaya yang dapat dikurangkan diatur dalam Pasal 6 UU PPh,
ketentuan mengenai PTKP diatur dalam Pasal 7 UU PPh.
4. dalam penghitungan pajak terutang, berlaku tarif pajak
progresif, yaitu tarif pajak yang semakin meningkat seiring besarnya
penghasilan kena pajak. Ketentuan mengenai tarif pajak diatur dalam Pasal 17 UU
PPh.
5. apabila usaha yang dilakukan memenuhi ketentuan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 46/2013, bagi pengusaha
yang dalam satu tahun pajak peredaran usahanya tidak lebih dari Rp4,8 miliar,
pengusaha wajib menghitung pajaknya secara final dengan tariff 1% dari
peredaran usaha setiap bulannya.
Dalam menghitung besarnya pajak penghasilan,
usaha perorangan wajib melakukan pembukuan atau hanya melakukan pencatatan
dengan Norma Penghitungan jika peredaran brutonya kurang dari Rp. 1.800.000.000
(satu miliar delapan ratus juta rupiah).
Terkait dengan
ketentuan perpajakan, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam memilih
bentuk usaha Perseorangan adalah:
1.
Tarif PPh untuk Wajib Pajak Perseorangan
No
|
Batasan Penghasilan kena Pajak
|
% Tarif PPh Progresif
|
1
|
s.d 50 Juta
|
5 %
|
2
|
Lebih 50 juta s.d 250 juta
|
15 %
|
3
|
Lebih 250 Juta s.d 500 Juta
|
25 %
|
4
|
Lebih 500 Juta
|
30 %
|
2.
Pengurang Penghasilan Kena Pajak
Pertimbangan memilih bentuk usaha
perseorangan adalah adanya pegurang penghasilan kena pajak yang hanya diberikan
kepada wajib pajakperseorangan.
Penghasilan Tidak Kena Pajak
No
|
Status
|
PTKT Setahun
|
1
|
Tidak kawin anak 0
|
Rp 54.000.000,-
|
2
|
Kawin Anak 0
|
Rp 58.500.000,-
|
3
|
Kawin
Anak 1
|
Rp 63.000.000,-
|
4
|
Kawin
Anak 2
|
Rp 67.500.000,-
|
5
|
Kawin
Anak 3
|
Rp 72.000.000,-
|
3.
Pertimbangan Kewajiban Pembukuan
Pembukuan adalah salah satu cara yang
dipergunakan oleh wajib pajak untuk dapat mnghitung penghasilan neto yang
berkaitan dengan perhitungan besarnya PPh terutang atas kegiatan usahanya.
Selain menggunakan pembukuan, untuk menghitung penghasilan neto juga dapat
menggunakan norma perhitungan penghasilan neto.
Bagi wajib pajak badan, pembukuan adalah
kewajiban. Untuk wajib pajak peribadi dengan peredaran usaha sampai dengan
4.800.000.000 diberi pilihan untuk menghitung besarnya penghasilan neto dapat
menggunakan pembukuan atau menggunakan norma perhitungan penghasilan.
Kewajiban pembukuan merupakan beban
tersendiri bagi wajib pajak, apalagi jika wajib pajak tidak mempunyai karyawan
yang khusus menangani pembukuan tersebut secara khusus. Biasanya untuk
menghindari kewajiban melaksanakan pembukuan maka wajib pajak biasanya
menggunakan bentuk orang pribadi, yang cukup dilakukan dengan mencaatat
peredaran bruto setialp bulan tanpa harus membuat laporan keuangan.
Wajib pajak pribadi yang memiliki omset
diatas 4.800.000.000 wajib melakukan pembukuan, jika wajib pajak tersebut tidak menyelenggarakan pembukuan dengan benar
maka penghasilan netonya akan dihitung dengan norma khusus dan dikenakan sanki
kenaikan sebesar 50% dari PPh yang kurang atau tidak dibayar.
4.
Pertimbangan kewajiban pemungutan pajak
Wajib pajak badan yang bergerak dibidang
industri semen, rokok, kertas, baja, dan otomotif ditunjuk sebagai pemungut PPh
pasal 22 atas penjualan produknya. Namun pemungutan PPh Pasal 22 tersebut tidak
dikenakan kepada wajib pajak perorangan yang mempunyai industri diatas.
5.
Pertimbangan Pertanggung-jawaban Utang Pajak
Aktiva yang dimiliki oleh wajib pajak perseorangan tidak terpisahkan
dengan aktiva dari kegitan usahanya, sehingga keuntungan yang didapat dari
semua kegiatan usaha dalam bentuk perseorangan itu akan diakuinya sendiri. Sebaliknya
untuk kerugian, semua kesulitan dalam kegiatan usaha dari bentuk perseorangan
sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi wajib pajak. Berbeda halnya dengan
badan usaha yang harus memisahkan aktiva yang dimiliki oleh pemilik dan aktiva
yang dimiliki perusahaan berbentuk badan usaha dimana keuntungan maupun
kerugian akan diakui sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati baik yang
dimasukkan kedalam anggaran dasar atau tidak.
Namun dalam ketentuan perpajakan ada beberapa tanggung jawab bagi badan
usaha yang tidak dapat dipisahkan dengan tanggung jawab pemiliknya yaitu utang
pajak. Harta pemilik modal badan usaha merupakan barang yang dapat disita
apabila terdapat utang pajak dari wajib pajak badan yang tidak dibayar walaupun
telah dilakukan tindakan surat paksa oleh juru sita pajak Negara.
Jika seseorang ingim memutuskan untuk menanamkan modal pada badan usaha
atau berusaha sendiri melalui bentuk perseorangan, selain mempertimbangkan
kemungkinan besarnya laba yang akan diterima juga harus mempertimbangkan
seandainya terjadi kerugian atau mempunyai utang pajak.
Penanggung utang pajak tetap harus dilakukan walaupun pemilik modal badan
usaha tersebut bersifat pasif. Kalau terjadi perrmasalahan dengan utang pajak,
hartanya dapat dimint untuk membayar utng pjak dari badan usah dimmana dia
menanamkan modalnya.
Contoh
Tuan Anas memiliki usaha perdagangan bahan-bahan bangunan. Selama tahun 2015
laporan laba/rugi usaha tuan Anas tersebut adalah:
Peredaran usaha
|
Rp60.000.000.000,-
|
Harga Pokok Penjualan
|
Rp58.800.000.000,-
|
Laba Bruto
|
Rp1.200.000.000,-
|
Biaya Operasi
|
Rp500.000.000,-
|
Laba Usaha Sebelum Pajak
|
Rp700.000.000,-
|
Maka penghitungan besarnya PPh
terutang Tuan Anas selama tahun 2015 adalah sebagai berikut:
Laba Usaha
|
Rp700.000.000,-
|
Penghasilan Tidak Kena Pajak
(K/2) *
|
Rp67.500.000,-
|
Penghasilan Kena Pajak (PKP)
|
Rp632.500.000,-
|
PPh Terutang
5% x Rp50.000.000,- = Rp
2.500.000,-
15% x Rp200.000.000 = Rp30.000.000,-
25% x Rp250.000.000,- = Rp62.500.000,-
30% x Rp132.500.000,- = Rp39.750.000,-
|
Rp134.750.000,-
|
Persentase PPh Terutang terhadap
laba usaha
|
19,3%
|
*) 54.000.000 + 4.500.000 +
(2×4.500.000) = Rp67.500.000
Dari
analisis di atas, ada beberapa hal penting yang perlu di catat :
1.
Beban
pajak yang ditanggung investor melalui persekutuan ternyata lebih kecil
dibandingkan daripada usaha berbentuk PT
2.
Bisnis
perseorangan tersebut bisa memberikan tingkat efisiensi pajak yang jauh lebih
besar dari pada bentuk badan usaha lainnya. Namun kita tidak boleh tergesa-gesa
mengambil keputusan atas dasar pertimbangan ini semata, harus memperhatikan
pertimbangan lainnya.
3.
Pemihan
salah satu entitas bisnis dapat dijadikan referensi dalam pengambilan keputusan
oeh para investor untuk meminimalkan beban pajak. Namun demikian faktor pajak
bukan satu-satunya pertimbangan dalam pengambilan keputusan bisnis. Masih
banyak variabel lain yang harus diperhatikan investor.
2.2
PERSEKUTUAN
KOMANDITER (COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP = CV)
CV merupakan
salah satu bentuk partnership yang paling umum di Indonesia. CV merupakan suatu
persekutuan yang didirikan oleh seorang atau beberapa orang yang mempercayakan
uang atau barang kepada seorang atau beberapa orang yang menjalankan perusahaan
dan bertindak sebagai pemimpin. Dalam pendiriannya, CV cukup didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI,
namun tidak perlu disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Atau Persekutuan
Komanditer (CV) atau Firma pada dasarnya adalah bentuk usaha yang didirikan
oleh dua orang atau lebih yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham. Atas
bentuk usaha tersebut dan bentuk usaha lain yang modalnya tidak terbagi atas
saham-saham mempunyai perlakuan yang sama dari sudut perpajakan.
Anggota perseroan kommanditer ada dua golongan :
1. Persero Pengusaha atau pesero aktif/bekerja. Pesero ini selain
menyerahkan modal ke dalam perseroan, jika perseroan jatuh pailit atau
bangkrut, pesero pengusaha bertanggungjawab penuh atas seluruh harta-harta
pribadinya terhadap hutang-hutang perusahaan.
2. Persero Kommanditer atau pesero diam. Pesero ini hanya menyerahkan
modal ke dalam perseroan dan tidak bertanggung jawab tentang jalannya
perseroan. Jika perseroan jatuh pailit/bangkrut, pesero ini hanya
bertanggungjawab sebesar modal penyertaannya.
Kelebihan
dan kekurangan bentuk usaha CV, sebagaimana diuraikan Santoso dan Rahayu,
(2013:91) antara lain:
Kelebihan
1. relatiif mudah dalam proses pendiriannya
2. kebutuhan akan modal dapat lebih dipenuhi
3. cenderung lebih mudah memperoleh kredit
4. dari segi kepemimpinan, CV relatif lebih baik
5. lebih fleksibel karena bagi sekutu pasif akan lebih
mudah untuk menginvestasikan maupun mencairkan kembali modalnya
6. tidak ada ketentuan memakai nama CV seperti halnya dengan
PT
7. Anggaran dasar tidak perlu mendapat pengesahan dari
Kementerian Hukum dan HAM
Kekurangan:
1. kelangsungan hidup tidak menentu karena banyak
tergantung dari sekutu aktif yang bertindak sebagai sekutu pemimpin CV
2. tanggung jawab para sekutu komanditer yang terbatas
dapat berpengaruh terhadap semangat untuk memajukan perusahaan
3. kewajiban sekutu yang tidak terbatas
4. perlindungan hukumnya masih dianggap minim
Sebagai sebuah badan
usaha maka CV atau Firma berkewajiban untuk mendaftarkan NPWP yang terpisah dengan
kewajiban para pemiliknya. Keuntungan usaha merupakan penghasilannya CV atau
Firma yang akan dikenai pajak dan dilaporkan oleh CV atau Firma sebagai Wajib
Pajak. Sedangkan penghasilan seorang investor dari penanaman modal di CV atau
Firma adalah penghasilan berupa pembagian laba. Jika seorang investor juga
aktif menjalankan usaha, investor dapat saja menerima tambahan penghasilan lain
berupa gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya.
Dalam ketentuan
perpajakan, bergesernya aliran penghasilan dari CV atau Firma kepada pemilik
tidak dianggap sebagai terjadinya aliran penghasilan, sehingga pajak tidak
mengakui adanya pengurangan berupa biaya gaji pemilik di CV atau Firma.
Sebaliknya penerimaan berupa gaji oleh pemilik tidak dianggap sebagai adanya
penghasilan bagi si pemilik. Demikian juga atas pembagian laba yang diterima
oleh pemilik.
Pajak memandang bahwa
antara anggota atau pemilik dengan CV atau Firma diperlakukan sebagai satu
kesatuan dalam penghitungan PPh atas keuntungan usaha. Satu kesatuan dalam hal ini
adalah tambahan kemampuan ekonomis dari usaha CV atau Firma hanya akan dikenai
PPh satu kali yaitu di CV atau Firma.
Dengan demikian
antara CV dengan usaha perorangan memiliki persamaan perlakuan perpajakan yaitu
keuntungan usaha sama-sama diperlakukan sebagai satu kesatuan dengan
penghasilan pemiliknya. Hanya bedanya keuntungan usaha perorangan dikenai pajak
di sisi perorangan sebagai WPOP sedangkan keuntungan usaha CV dikenai pajak di
sisi CV sebagai WP badan.
Keduanya sama-sama
tidak diperkenankan memperhitungkan pengurangan biaya berupa gaji pemilik dan
pembagian keuntungannya. Dipandang dari sudut penghematan pajak, CV memiliki
keunggulan jika dibandingkan dengan usaha perorangan yaitu dari sisi tarif
pajak. Sebagaimana dijelaskan di atas, tarif pajak bagi CV adalah 28% sedangkan
tarif pajak perorangan tertinggi adalah 30%. Dengan demikian dengan membentuk
CV dapat timbul penghematan pajak sebesar 2%.
Dipandang dari sudut
penghematan pajak, CV memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan usaha perorangan
yaitu dari sisi tarif pajak
Secara umum
ketentuan perpajakan terkait CV diantaranya:
1. CV merupakan subjek pajak badan dalam negeri. Dalam UU
PPh dijelaskan pengertian subjek pajak badan, bahwa subjek pajak badan adalah
sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan
usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
2. Karena CV merupakan subjek pajak badan, maka CV harus
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak (PKP)
3. Selain harus mendaftarkan NPWP dan/atau PKP atas nama
CV, CV juga harus menyelenggarakan pembukuan.
4. Laba yang didistribusikan kepada sekutu tidak dikenai
pajak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh yang
menyebutkan bahwa bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak
investasi kolektif dikecualikan sebagai objek pajak
5. Gaji yang dibebankan oleh CV kepada para sekutu tidak
dapat menjadi pengurang sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PPh
6. Dalam mengitung PPh nya CV menggunakan tarif tunggal
25% atau 12,5% apabila memenuhi ketentuan Pasal 31E UU PPh.
Atas keuntungan CV
dikenakan pajak penghasilan badan dengan tarif pasal 17 undang-undang Pajak
Penghasilan (sama dengan PT). Pembagian keuntungan kepada pemegang saham
(pesero) tidak bisa dibebankan sebagai biaya CV, tidak dipotong PPh pasal 23
dan bagi yang menerima bukan sebagai obyek pajak. Dengan kata lain, Pajak
penghasilan hanya dikenakan pada Perusahaan (Badan) saja dan tidak ada double
taxation.
Contoh
CV Aurora bergerak dalam usaha perdagangan besar, laba rugi tahun 2015
menunjukkan informasi sebagai berikut:
Peredaran usaha
|
Rp60.000.000.000,-
|
Harga Pokok Penjualan
|
Rp58.800.000.000,-
|
Laba Bruto
|
Rp1.200.000.000,-
|
Biaya Operasi (tidak termasuk gaji
para sekutu)
|
Rp500.000.000,-
|
Laba Usaha Sebelum Pajak
|
Rp700.000.000,-
|
Penghitungan besarnya PPh terutang adalah sebagai berikut:
Laba Usaha Sebelum Pajak
|
Rp700.000.000,-
|
PPh Terutang Tarif x
25%
|
Rp175.000.000,-
|
Laba Bersih Setelah Pajak
|
Rp525.000.000
|
Persentase PPh Terutang terhadap
laba usaha
|
25%
|
Pada saat laba usaha dibagikan kepada para sekutu tidak lagi dikenai Pajak.
2.3
PERSEROAN
TERBATAS ( PT)
Dalam
tatanan ketentuan perundangan di Indonesia, pendirian dan pengelolaan PT diatur
dalam undang-undang Republik Indonesia No. 1 tahun
1995 yang telah mengalami perubahan menjadi UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Untuk mendirikan sebuah
perusahaan berbentuk PT, berdasarkan akte notaris yang didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI,
diperlukan adanya pengesahan dari Kementrian Hukum dan HAM.PT merupakan badan
hukum yang merupakan persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar dan seluruhnya terbagi atas saham
dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh UU serta peraturan pelaksanaannya
(Pohan, 2015:54).
Berbeda dari usaha
berbentuk CV atau Firma, Perseroan Terbatas (PT) adalah bentuk usaha yang
modalnya terdiri atas saham-saham. Kepada pemilik biasanya diberikan sertifikat
atau tanda kepemilikan atas sahamnya di perusahaan. Saham yang dimiliki
tersebut dikenal sebagai surat berharga (marketable securities) yang dapat
diperjualbelikan kepada pihak lain. Keuntungan yang diperoleh pemegang saham
adalah hanya dari pembagian keuntungan atau dividen saja, meskipun dalam
beberapa kasus –dan sebenarnya tidak dibenarkan secara aturan–, ada beberapa
pemegang saham yang merangkap juga sebagai pengurus yang ikut aktif menjalankan
roda usaha sehingga kepadanya juga diberikan penghasilan lain berupa gaji.
Kelebihan
dan kelemahan PT sebagaimana diuraikan oleh Santoso dan Rahayu (2013:100-101)
adalah sebagai berikut :
Kelebihan
- kewajiban dan tanggung jawab terbatas
- masa hidup abadi
- efisiensi manajemen karena adanya pemisahan
antara pemilik dan pengurus
- modal dapat diperoleh dengan menjual saham
Kekurangan
- kerumitan perizinan dan organisasi
- besarnya biaya pengorganisasian perusahaan
- bidang usaha PT relative susah diubah karena
harus mengubah akta pendirian dan sulit mengubah investasi yang telah
ditanamkan
- hubungan antarperorangan lebih formal dan
terkesan kaku
Perpajakan memandang
bahwa antara pemegang saham dengan PT adalah dua Wajib Pajak yang berbeda dan
terpisah. Sehingga jika ada pengalihan kekayaan atau harta baik berupa sumber
daya atau resources dari perusahaan kepada pemilik dianggap telah terjadi arus
mengalirnya penghasilan. Dengan demikian dividen yang diterima oleh pemegang
saham dianggap sebagai penghasilan yang akan dikenai pajak. Sebaliknya karena
dividen itu dihitung dari laba setelah pajak, maka di sisi perusahaan dividen
tersebut tidak berpengaruh terhadap besarnya keuntungan usaha atau laba usaha
yang dikenai pajak. Bisa dikatakan bahwa atas keuntungan atau laba usaha akan
dikenai pajak di PT dan ketika keuntungan atau laba tersebut dibagi kepada para
pemegang saham akan dikenai pajak lagi di pemegang saham (perorangan).
Beberapa
ketentuan perpajakan terkait PT diantaranya:
- sama seperti CV, PT juga merupakan subjek pajak
dalam negeri berbentuk badan
- PT juga wajib menyelenggarakan pembukuan
- PT harus mendaftarkan NPWP dan/atau pengukuhan
PKP atas nama PT
- Pengenaan pajak pada PT terjadi dua kali, yaitu
pada saat diakui sebagai laba usaha oleh PT dan pada saat laba usaha
tersebut dibagikan kepada para pemegang saham dalam bentuk dividen,
dikenai PPh Final sesuai Pasal 4 ayat (3) UU PPh dan Pasal 17 ayat (2c)
sebesar 10%
- Gaji yang dibayarkan kepada para pemegang saham
dan komisaris dapat dibiayakan oleh PT
- Penghitungan PPh terutang mengikuti tarif Pasal
17 UU PPh atau Pasal 31E UU PPh.
Pembagian dividen kepada
pemegang saham (pesero) tidak bisa dibebankan sebagai biaya perusahaan,
dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 15% dan sebagai kredit pajak bagi
pihak yang dipotong (tidak final). Dengan demikian terdapat double taxation.
Contoh
PT Angkasa bergerak sebagai distributor mainan anak yang terbuat dari bahan
yang aman dan berkualitas. Laba/rugi PT Angkasa tahun 2015 menunjukkan
informasi sebagai berikut:
Peredaran usaha
|
Rp60.000.000.000,-
|
Harga Pokok Penjualan
|
Rp58.800.000.000,-
|
Laba Bruto
|
Rp1.200.000.000,-
|
Biaya Operasi
|
Rp500.000.000,-
|
Laba Usaha Sebelum Pajak
|
Rp700.000.000,-
|
Penghitungan PPh terutang PT Angkasa adalah:
Laba Usaha Sebelum Pajak
|
Rp700.000.000,-
|
PPh Terutang (PPh Badan) Tarif x
25%
|
Rp175.000.000,-
|
Laba Bersih Setelah Pajak
|
Rp525.000.000,-
|
Pada saat laba usaha dibagikan kepada para pemegang saham, dikenai PPh atas
dividen sebesar 10%, yaitu:
Laba usaha yang akan dibagikan
sebagai dividen
|
Rp525.000.000,-
|
PPh atas dividen (Pasal 17
ayat(2c) UU PPh
|
Rp52.500.000,-
|
Sehingga total pajak terutang oleh PT dan persentasenya terhadap peredaran
usaha dapat dihitung sebagai berikut:
Jumlah PPh terutang
|
Rp227.500.000,-
|
Persentase PPh Terutang terhadap
laba usaha
|
32,5%
|
2.4
PEMILIHAN BADAN USAHA
Berdasarkan
contoh-contoh di atas, dapat kita bandingkan besarnya PPh terutang yang harus
ditanggung oleh masing-masing bentuk usaha sebagai berikut:
Uraian
|
PT
|
CV
|
Usaha Perorangan
|
Peredaran Usaha
|
Rp60.000.000.000,
|
Rp60.000.000.000,
|
Rp60.000.000.000,
|
Laba Usaha
|
Rp700.000.000,-
|
Rp700.000.000,-
|
Rp700.000.000,-
|
PPh Terutang
|
Rp227.500.000,-
|
Rp175.000.000,-
|
Rp134.750.000,-
|
Persentase PPh Terutang terhadap
laba usaha
|
32,5%
|
25%
|
19,3%
|
A.
Pemilihan antara bentuk
usaha persekutuan komanditer (Commanditaire Vennootschap = CV) atau Perseroan Terbatas (PT)
Perseroan komanditer (CV) maupun PT
adalah dua bentuk badan usaha yang berorientasi pada profit motive yang sangat
diminati oleh para pengusaha.Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih
antara CV dengan PT yaitu:
1.
Pengakuan Biaya gaji bagi pemiliknya
Bagi perusahaan yang
berbentuk perseroan komanditer (CV) yang modalnya tidak terbagi atas saham,
biaya gaji yang dibayarkankepada anggota atau pemilik CV tersebut bukan
merupakan biaya. Sedangkan untuk perseroan terbatas (PT) yang modalnya tidak
terbagi atas saham maupun yang tidak terbagi atas saham, biaya gaji pemilik
tersebut diakui sebagai biaya.
Dengan adanya
perbedaan atas pengakuan gaji bagi pemiliknya antara CV ataupun PT yang
modalnya tidak terbagi atas saham, sehingga hal terbeut bisa dijadikan pertimbangan
badan usaha mana yang akan dipilih.
Bagi Pemilik CV
ataupun PT yang ikut melaksanakan kegiatan usaha, baik sebagai direktur maupun
komisaris mendapatkan gaji atau sejenisnya, tentu memilih bentuk PT disbanding
CV, karena dengan dapat dikurangkannya pembayaran gaji atau sejenisnya kepada
pemilik hal tersebut akan membuat laba kena pajak perusahaan lebih rendah.
Gaji dari pemilik CV
yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai pembagaian
keuntungan, tentu saja pengakuan penghasilannya diakui oleh pemilik CV
tersebut, sedangkan untuk PT selain harus diakui oleh orang pribadi pemilik PT,
Penghasilan tersebut pajaknya sudah dihitung pada saat pembayaran gaji.
Contoh:
Tuan A adalah pemilik
CV. Maksi y bang modalnya tidak terbagi atas saham. Ia sekaligus sebagai
direkturnya dan mendapat gaji Rp. 400.000.000 untuk setahun. Bagaimana
erbandinngan PPh terutang perusahaan itu menggunakan bentuk PT. Penghasilan
kena pajak CV. Maksi adalah Rp. 500.000.000,- setelah memperhitungkan gaji Tuan
A tersebut.
Besarnya PPh terutang dihitung sebagai
CV dan sebagai PT adalah sebagai berikut:
Keterangan
|
Bentuk PT
|
Bentuk CV
|
Selisih
|
Penghasilan Bersih
|
500.000.000
|
500.000.000
|
0
|
Koreksi Gaji
|
0
|
400.000.000
|
400.000.000
|
Penghasilan Kena Pajak
|
500.000.000
|
900.000.000
|
400.000.000
|
PPh terhutang
|
95.000.000
|
215.000.000
|
120.000.000
|
Dari perhitungan diatas tampak bahwa PPh terutang bentuk usaha CV lebih
Besar dibandingkan dengan bentuk usaha PT.
2.
Perlakuan keuntungan
Keuntungan yang
didapat oleh badan udaha, apabila dibagikan kepada pemegang saham berupa
deviden akan terutang PPh. Namun bagi wajib pajak berbentuk CV akan modalnya
tidak dibagikan atas saham maka atas deviden yang dibagikan tidak terutang PPh.
Sedangkan bagi PT yang sahamnya dimiliki oleh badan usaha termasuk koperasi
yang aktif atas pembagian devidennya tidak dipotong PPh.
Dari pertimbangan itu
apabila wajib pajak mendirikan usaha dalam bentuk perseroan terbatas CV maka
lebih menguntungkan kalau modalnya tidak dijual bebas dalam bentuk saham. Demikian
pula apabila bentuk usahanya berupa Perseroan Terbatas, maka pemegang saham
cenderung berupa badan usaha yang jumlahnya tidak banyak tetapi modalnya
rata-rata 25 %
Contoh:
Keseluruhan laba
bersih CV. Maksi yang telah menjadi laba ditahan sebesar Rp. 500.000.000,-
dibagi sebagai deviden kepada pemegang anggotanya.
Bagaimana perbandingan
PPh terhutang atas deviden yang dibagikan oleh CV. Maksi disbanding kalau CV.
Maksi sebagai PT. dan yang menerima deviden adalah sama yaitu Tuan A.
Keterangan
|
Bentuk PT
|
Bentuk CV
|
Selisih
|
Deviden
|
500.000.000
|
500.000.000
|
0
|
PPh Terutang
|
75.000.000
|
0
|
75.000.000
|
Dari perhitungan tersebut
tampak besarnya PPh terutang atas deviden jauh lebih tinggi kalau berbentuk PT
B. PERBANDINGAN BEBAN PAJAK PENGHASILAN ANTARA PT, CV, DAN
PERSEORANGAN
Walaupun masing-masing
bentuk usaha tersebut di atas mempunyai karakter yang berbeda-beda beserta
keunggulan dan kelemahannya, penulis akan mencoba memberikan perbandingan atas
beban pajak untuk masing-masing bentuk usaha. Supaya perbandingan beban pajak
ini dapat dilakukan secara obyektif, penulis mencoba memberikan asumsi-asumsi
pendapatan, pembebanan biaya dan pembagian keuntungan yang sama untuk
masing-masing bentuk usaha tersebut, seperti yang ada di tabel 1 dibawah ini:
Tabel 1: Perbandingan Beban Pajak Penghasilan
untuk Penjualan Rp. 1,5 Miliar
Asumsi:
*1) Norma Penghitungan Untuk Pedagang Eceran 30% dari Peredaran Bruto
*2) Beban Usaha 80% dari Penjualan
*3) PTKP K/3 = Rp. 18.000.000
*4) Semua laba dibagikan dalam bentuk dividen, dipotong PPh Pasal
23 dengan tarif 15%
Dari Tabel 1 di atas,
terlibat bahwa total Beban PPh Terutang terendah adalah usaha perorangan dengan
pembukuan sebesar Rp. 40.500.000, sedangkan total Beban PPh Terutang terbesar
adalah pada usaha perorangan dengan Norma penghitungan sebesar Rp. 78.000.000.
Hal ini terjadi karena secara umum Norma Penghitungan menetapkan margin
keuntungan usaha yang lebih besar (30%) daripada keuntungan usaha sebenarnya
(20% dengan pembukuan). Pada prakteknya, usaha perorangan/orang pribadi
mengalami dilemma, jika menggunakan Pencatatan peredaran bruto (yang
mudah/sederhana) dengan Norma penghitungan, Persentase keuntungan yang
sebenarnya masih jauh lebih kecil daripada % Keuntungan yang diterapkan dalam
Norma penghitungan. Sebaliknya, jika mau melakukan pembukuan, masih sulit dan
membutuhkan biaya yang cukup besar.
Secara umum (seperti
ilustrasi di Tabel 1), total beban pajak PT akan selalu lebih besar dari CV
ataupun perorangan, karena adanya tambahan PPh pasal 23 yang harus dipotong
dari dividen yang dibayarkan oleh PT, sedangkan pembagian hasil untuk CV tidak
dikenakan pajak (bukan obyek pajak). Maka motivasi sesorang untuk lebih memilih
bentuk usaha PT dari pada CV adalah factor-faktor lain selain factor pajak.
Tabel 2: Perbandingan Beban Pajak Penghasilan Dengan Penjualan Rp. 3 Miliar
Asumsi :
*a) Beban Usaha 80% dari
Penjualan
*b) PTKP K/3 = Rp.
18.000.000
*c) Semua laba dibagikan
dalam bentuk dividen dengan tarif 15%
Dari Tabel 2 di atas
terlihat bahwa total beban pajak penghasilan terkecil adalah CV sebesar Rp. 450.000.000,
diikuti Usaha Perorangan Rp. 479.600.000 dan yang terbesar adalah PT sebesar
Rp. 652.500.000. Dengan demikian perbedaan besarnya total beban pajak yang
dibayar oleh usaha perorangan dan PT/CV tergantung pada besarnya Penghasilan
kena pajak (laba). Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan tarif PPh
pasal 17 untuk badan (dengan tariff maximum 25%) dan orang pribadi (dengan
tariff maximum 30%).
PPh pasal 23 yang
dipotong oleh PT atas dividen yang dibagikan sebesar 15% adalah tidak final,
sehingga besarnya tariff efektif akan tergantung pada besarnya penghasilan
pemegang saham (sebagai perorangan). Contoh: jika penghasilan kena pajak
pemegang saham (perorangan) diluar dividen ini sudah mencapai Rp. 200.000.000,
maka tariff efektif atas dividen ini menjadi 35% sehingga total beban pajak
atas PT menjadi lebih besar lagi.
BAB
III
KESIMPULAN
5.1
Kesimpulan
Pilihan bentuk usaha ternyata
berpengaruh terhadap aspek PPh yang akan dihadapi oleh seorang investor. Kajian
dari tiga pilihan apakah usaha perorangan, badan usaha yang modalnya tidak
terbagi atas saham seperti CV atau Firma atau PT ternyata menunjukkan bahwa
pilihan bentuk usaha yang tidak terbagi atas saham memiliki keuntungan pajak
tersendiri. Keuntungan tersebut jika dibandingkan dengan usaha perorangan
adalah pengenaan tarif pajak tertinggi yang lebih rendah dibandingkan tarif
pajak tertinggi perorangan. Jika dibandingkan dengan bentuk PT maka keuntungan
CV atau Firma adalah tidak dikenakannya pajak ganda (double tax) atas pembagian
laba atau dividen.
Kajian di atas tentunya hanya memandang
dari sudut perpajakan khususnya PPh dengan kondisi apapun bentuk usaha yang
dipilih memberikan hasil yang sama bagi seorang investor. Secara lebih mendalam
tentu pertimbangan pemilihan bentuk usaha tidaklah sesederhana itu. Banyak
aspek lain yang perlu dipertimbangkan, seperti aspek tanggung jawab pemegang
saham, aspek kemudahan akses ke pihak lain seperti bank, dan lain sebagainya.
Namun demikian sudut pandang aspek pajak ini setidaknya dapat dijadikan sebagai
salah satu pertimbangan dalam memilih bentuk usaha.
Usaha bisnis dapat
dilaksanakan dalam berbagai bentuk. Pembagian atas tiga bentuk Badan Usaha
tersebut bersumber dari Undang – Undang 1945 khususnya pasal 33. Di Indonesia
kita mengenal 3 macam bentuk badan yaitu Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ),
Koperasi dan Swasta. Bentuk badan usaha swastadapat dibagi kedalam beberapa
macam : Perseorangan, Firma, Perserikatan Komanditer (CV), Perseroan Terbatas
(PT), Yayasan Pilihan bentuk badan usaha yang tersedia secara umum adalah
berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Kommanditer (CV) atau Perorangan
(Pribadi). Secara umum (seperti ilustrasi di Tabel 1), total beban pajak PT
akan selalu lebih besar dari CV, karena adanya tambahan PPh pasal 23 yang harus
dipotong dari dividen yang dibayarkan oleh PT, sedangkan pembagian hasil untuk
CV tidak dikenakan pajak (bukan obyek pajak). Sedangkan (seperti ilustrasib
tabel 2) perbedaan besarnya total beban pajak yang dibayar oleh usaha
perorangan dan PT/CV tergantung pada besarnya Penghasilan kena pajak (laba).
Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan tariff PPh pasal 17 untuk badan
(dengan tariff maximum 30%) dan orang pribadi (dengan tariff maximum 35%).
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa pajak bukanlah satu-satunya alasan dalam pemilihan bentuk usaha, namun
pemilihan bentuk usaha yang tepat dapat memberikan penghematan pajak.
5.2 Saran
Pajak
bukanlah satu-satunya alasan dalam pemilihan bentuk usaha, namun pemilihan
bentuk usaha yang tepat dapat memberikan penghematan pajak. Sehingga dalam
melakukan penghematan tersebut bisa dengan cara perencanaan pajak agar
kewajiban perbajakan dapat dilakukan oleh wajib pajak dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1983
tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan undang undang nomor 16 tahun 2009
Undang-undang republic Indonesia nomor 36 tahun 2008
tentang perubahan keempat atas undang undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak
penghasilan
Pohan, chairil anwar. 2003. Manajemen perpajakan.
Gramedia pustaka utama
Santoso, imam dan ning rahayu (2013. Corporate tax
management, mengulas upaya pergelolaan pajak perusahaan secara konseprual-praktikal.
Ortax
Nasikhudin. (2016. Artikel. Mengulas tentang memilih
badan usaha yang tepat bagi perencanaan pajak. Ortax